Mundurnya Brigjen Asep Guntur dan Pernyataan tak Senada Pimpinan KPK

Asep Guntur mundur diduga terkait polemik kasus dugaan korupsi di Basarnas.

Republika/Thoudy Badai
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bersama Direktur Penindakan Asep Guntur (kiri) dalam sebuah konferensi pers. Asep Guntur baru-baru ini mengajukan pengunduran diri dari KPK.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Ali Mansur, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga

Penetapan status tersangka terhadap dua anggota aktif TNI yakni, Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto oleh KPK pada pekan lalu memicu reaksi Mabes TNI. Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.

"Dari tim kami terus terang keberatan, kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri. Namun, saat press conference (KPK) ternyata statement itu keluar bahwa Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya HA ditetapkan sebagai tersangka," kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023).

Seusai konferensi pers, Danpuspom beserta rombongan pejabat TNI kemudian mengunjungi Gedung Merah Putih KPK di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Seusai pertemuan antara pejabat TNI dan pimpinan KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak lewat konferensi persnya mengakui adanya kekhilafan dalam proses hukum kasus di Basarnas.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Johanis.

Johanis mengatakan, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 mengatur sistem peradilan di Indonesia ada empat, yakni Peradilan Militer, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama. Dia menyebut, karena dalam kasus Basarnas melibatkan prajurit aktif TNI, maka harus diserahkan kepada pihak militer.

"Oleh karena itu, kami dari jajaran lembaga pimpinan KPK beserta jajaran sudah menyampaikan permohonan maaf melalui pimpinan-pimpinan dan Puspom untuk disampaikan kepada Panglima. Dan ke depannya tidak ada lagi permasalahan seperti ini," sambung dia.

Tak lama setelah pernyataan Johanis Tanak di hadapan pers itu, pesan singkat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Asep Guntur melalui Whatsapp beredar pada Jumat (28/7/2023) sore. Asep menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatan sebagai bentu pertanggungjawaban.

"Sebagai pertanggungjawaban saya selaku Direktur Penyidikan dan Plt Deputi Penindakan, dengan ini saya mengajukan pengunduran diri karena tidak mampu mengemban amanah sebagai Direktur Penyidikan dan Plt. Deputi Penindakan. Surat resmi akan saya sampaikan hari Senin," kata Asep dikutip dari pesan singkatnya yang beredar.

“Apa yang saya dan rekan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum lakukan semata-mata hanya dalam rangkaian penegakan hukum untuk memberantas korupsi,” sambung dia.

Pada Senin (31/7/2023), Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan Brigjen Asep Guntur Rahayu mengajukan pengunduran diri dari jabatan Direktur Penyidikan sekaligus Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

"Betul, informasi yang kami terima bahwa yang bersangkutan akan mengajukan surat dimaksud kepada pimpinan," ungkap Ali Fikri dalam kepada awak media, Senin.

Namun demikian, kata Ali Fikri, permohonan pengunduran diri Asep Guntur diterima atau ditolak tergantung dari keputusan pimpinan KPK. Tapi dia memastikan pimpinan lembaga antirasuah tersebut mendukung penuh langkah tim penyidik dalam menangani kasus kasus korupsi suap pengadaan barang di Basarnas tahun anggaran 2021-2023.

"Begitupun penting juga kami sampaikan bahwa pimpinan mendukung penuh langkah dan upaya yang telah dilakukan tim penyelidik dan penyidik dalam rangkaian proses penanganan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas ini," tegas Ali Fikri.

 

Berbeda dengan Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK yang lain, Alexander Marwata menegaskan bahwa dirinya tak menyalahkan penyelidik maupun penyidik KPK terkait OTT perkara suap di Basarnas. Menurut Marwata, jika ada kesalahan dalam penetapan status tersangka pada kasus ini, itu merupakan kekhilafan pimpinan KPK.

"Saya tidak menyalahkan penyelidik/penyidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai denfan kapasitas dan tugasnya. Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," kata Alex dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/7/2023).

Alex menjelaskan, dalam kegiatan tangkap tangan itu, KPK sudah mendapatkan setidaknya dua alat bukti, yaitu keterangan para pihak yang tertangkap dan barang bukti berupa uang, serta bukti elektronis berupa rekaman penyadapan percakapan. Artinya, jelas dia, dari sisi kecukupan alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. 

"Dalam gelar perkara yang dihadiri lengkap oleh penyelidik, penyidik penuntut umum, pimpinan dan juga diikuti oleh penyidik dari Puspom TNI tidak ada yang menolak/keberatan untuk menetapkan lima orang sebagai tersangka. Semua diberi kesempatan berbicara untuk menyampaikan pendapatnya," jelas Alex.

Dia mengungkapkan, dalam gelar perkara atau ekspose juga disimpulkan agar oknum TNI yang terlibat dalam kasus ini, penanganannya diserahkan ke Puspom TNI. Oleh karena itu, KPK tidak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama anggota TNI yang diduga sebagai pelaku.

"Secara substansi/materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Secara administratif nanti TNI yang menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK," ungkap Marwata.

 

KPK didera persoalan - (Republika/berbagai sumber)

 

Seperti diketahui, pada Rabu (26/7/2023), KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka atas dugaan menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas dalam rentang waktu 2021-2023. Penetapan tersangka jenderal bintang tiga itu menyusul OTT yang dilakukan oleh KPK.

Ada lima tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini, yakni Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto dari kalangan TNI. Tersangka lainnya, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.  

Menurut anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap anggota aktif TNI sah. Namun setelah itu, proses hukumnya harus dilakukan oleh Pusat Polisi Militer (POM) TNI.

"Jadi dalam kasus KPK yang melakukan OTT terhadap anggota TNI aktif ya sah-sah saja dengan catatan penangkapan tersebut dilakukan secara spontan tanpa perencanaan. Lalu setelah penangkapan, harus langsung diserahkan ke POM TNI," ujar TB Hasanuddin lewat keterangannya, Senin (31/7/2023).

Ia mencontohkan, bila dalam proses OTT tersebut membutuhkan waktu untuk penyelidikan terlebih dahulu, maka perlu melakukan koordinasi dan melibatkan POM TNI. Sebab, proses hukum selanjutnya seperti pengembangan kasus dan juga penetapan tersangka anggota TNI aktif harus dilakukan oleh POM TNI.

Hasanuddin melanjutkan, sesuai undang-undang, terdapat empat jenis pengadilan di Indonesia, yakni pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Adapun pengadilan umum tidak bisa mengadili anggota TNI aktif.

TNI memiliki ketentuannya sendiri dalam memproses hukum anggotanya. Terutama dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang mengatur penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif.

"Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, peradilan militer masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum," ujar TB Hasanuddin.

"Kondisi ini dikuatkan oleh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu selama Undang-Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, maka tetap tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," sambungnya.

Kendati demikian, ia mendukung proses hukum yang melibatkan oknum anggota TNI aktif harus dilakukan secara transparan dan terang benderang. "Proses hukum harus dilanjutkan dan dilakukan secara transparan dan dibuka ke publik," ujarnya.

 

Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

 

 
Berita Terpopuler