Akankah Kemelut Politik Thailand Kembali Terjadi?

Harus ada perlawanan terhadap usaha untuk menghancurkan demokrasi.

EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Pemimpin Partai Move Forward dan kandidat PM Pita Limjaroenrat (tengah) saat acara di Bangkok, Thailand, Ahad (9/7/2023).
Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Pita Limjaroenrat, yang diharapkan menjadi perdana menteri Thailand, mendapat dua serangan besar sekaligus. Ini muncul menjelang pemungutan suara di parlemen untuk memilih perdana menteri baru pada Kamis (13/7/2023). 

Para pendukung Pita, kebanyakan mereka adalah pemilih muda yang menentang keterlibatan raja dan militer dalam politik, menyerukan aksi massa pada Rabu (12/7/2023) atas upaya penjegalan Pita menjadi perdana menteri.

Para aktivis gerakan aksi massa yang menuntut perubahan pasal 112 mengenai penghinaan terhadap raja dan menentang pemerintahan militer, mendesak para pendukungnya kembali ke jalan pada Rabu waktu setempat, paling tidak di lima kota termasuk Bangkok. 

‘’Harus ada perlawanan terhadap usaha untuk menghancurkan demokrasi. Apapun putusannya, biarkan semua orang tahu, pertarungan baru saja dimulai’’ kata pemimpin aksi massa, Anon Nampa dalam tulisan tangan yang diunggah di akun Twitter, Rabu. 

Kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya kembali kemelut politik di Thailand, menyusul perpecahan politik dalam kurun dua dekade. Insiden terakhir adalah kudeta militer yang kemudian menjadikan Thailand dipimpin pemerintahan militer. 

Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand menyatakan menerima gugatan dari seorang pengacara atas kemenangan Pita dan partai yang dipimpinnya Move Forward. Pita selama ini mendorong amendemen undang-undang yang melarang menghina raja.

Keterlibatan raja dalam politik dianggap Pita dan para pendukungnya akan menyingkirkan pemerintahan demokratis yang menjadikan raja sebagai kepala negara. Pengajuan gugatan ke MK hanya beberapa jam dari putusan komisi pemilu. 

Komisi pemilu merekomendasikan bahwa MK mendiskualifikasi Pita sebagai anggota parlemen. Ini merujuk gugatan bahwa Pita tak punya kualifikasi mengikuti pemilu pada 14 Mei lalu. Sebab ia saat itu memiliki saham di sebuah perusahaan media. Menurut aturan, itu tak boleh. 

Belum ada indikasi.....

Belum ada indikasi jelas perkembangan di MK maupun komisi pemilu akan mengadang Pita dalam kontestasi pemilihan perdana menteri baru pada Kamis, besok. Ia harus mendapatkan lebih dari setengah dari seluruh suara di parlemen. 

Untuk memperoleh dukungan parlemen guna menjadi perdana menteri, Pita mesti mendulang suara dari kelompok konservatif di Senat yang menentang perubahan pasal 112 undang-undang pidana, yang menetapkan hukuman 15 tahun penjara bagi penghina raja. 

Pita menyatakan rekomendasi komisi pemilu bahwa dia didiskualifikasi merupakan tindakan yang tak adil dan ia mempertanyakan waktu pemberian rekomendasi itu. ‘’Ini terburu-buru, sehari sebelum pemilihan perdana menteri. Mestinya ini tak terjadi,’’ katanya. 

Dalam wawancara televisi, bersamaan dengan pengumuman MK, Pita menekankan usulan amendemen pasal 112 bukan berarti merendahkan monarki. Namun, masih banyak yang menolak adanya penghapusan hukuman bagi penghina raja. 

Pita didukung koalisi delapan partai yang menguasai 312 kursi di majelis rendah parlemen Thailand. Ia berharap semua berjalan mulus meski masih membutuhkan 64 suara lagi baik dari partai rival di majelis rendah maupun anggota Senat yang ditunjuk junta. Ini tantangan. 

Dan tantangan lain mengemuka. Politisi Partai Demokrat, Chaichana Dechdecho menyatakan, 25 anggota parlemen dari Demokrat tak akan mendukung Pita dalam pemungutan suara di parlemen besok. Alasannya, Partai Demokrat tak setuju dengan amendemen pasal 112. 

Senator Jetn Sirathranon rekomendasi komisi pemilu agar Pita didiskualifikasi menjadi anggota parlemen, memangkas dukungan terhadap dirinya dalam pemungutan suara menjadi perdana menteri di parlemen besok. 

 
Berita Terpopuler