Enam Pelajaran dari Kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom

Nabi Luth diutus ke kaum Sodom.

Bab-Edh-dhra, lokasi ditemukannya reruntuhan kota Sodom dan Gomoroh
Rep: Muhyiddin Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keponakan Nabi Ibrahim, Nabi Luth, diutus oleh Allah SWT untuk bedakwah di tengah-tengah masyarakat Sodom dan Gomora, di sekitar Laut Mati. Umatnya adalah homoseksual, yang menghasilkan segala macam dosa lainnya. Akibatnya, mereka dihukum dan dilenyapkan dari muka bumi.

Baca Juga

Kisah tentang Nabi Luth dan kaumnya disajikan dalam surah-surah Alquran. Di antaranya, di dalam surah al-A'raf (80-84), Hud (74-83), al-Hijr (58-77), al-Anbiya' (74-75), al-Shuara' (160-175), al-Naml (54-58), al-Ankabut (28-35), al-Saffat (133-138), al-Qamar ( 33-40), dan al-Tahrim (10).

Ada sejumlah pelajaran yang dapat diambil dari kisah dakwah Nabi Luth dan kaum Sodom. Berikut ini adalah lima pelajaran dati kisah Nabi Luth dan kaumnya, sebagaimana dilansir dari aboutislam, Rabu (12/7/2023):

1. Homoseksualitas sebagai kejahatan tercela

Homoseksualitas adalah salah satu kejahatan yang paling tercela. Karakternya sedemikian rupa sehingga mengarah pada serangkaian kejahatan lain yang sama mengerikannya. Ia melanggar fitrah (sifat manusia), menghina perintah-perintah agama, bekerja melawan hukum alam, dan menjadikan dirinya sebagai agen kepalsuan dan kesesatan.

Homoseksualitas adalah ibu dari semua amoralitas. Sebagai kutukan keberadaan, itu harus dihadapi secara langsung. Ini adalah bentuk penyimpangan eksistensial yang kehadirannya tidak dapat ditoleransi.

Kaum Nabi Luth yang melakukan homoseksualitas dihukum dengan berbagai hukuman. Allah menghujani mereka dengan hujan batu, membalikkan rumah mereka, dan menyebabkan mereka ditelan bumi.

2. Tipu daya setan

Kejahatan tidak mengenal batas ketika Iblis memberontak melawan Allah. Setan bersumpah bahwa dia tidak akan berhenti untuk menipu dan menyesatkan manusia. Menghancurkan umat manusia menjadi objek keberadaannya.

Beberapa strategi Setan atau Iblis yang paling dapat diterapkan adalah kecerdikan, tipu muslihat, dan tipu daya. Kaum Luth juga menyerah pada tipu daya Setan dan kelemahan jiwa mereka sendiri. Mereka membiarkan diri mereka dibutakan dan dilumpuhkan, dan ditipu untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya.

Itu lah sebabnya Nabi Luth terus-menerus mengingatkan mereka. Dia selalu mengingatkan kepada mereka. “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)?” (QS al-A’raf ayat 80).

Nabi Luth mengatakan kepada kaumnya bahwa alasan kejahatan mereka adalah fakta bahwa mereka tidak takut dan menaati Allah. Perintah-perintahnya tidak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka lebih suka tunduk dan mengikuti otoritas palsu setan dan diri mereka yang dibesar-besarkan. Mereka adalah mainan dalam rencana iblis.

3. Pelembagaan Kejahatan

Kejahatan kaum Luth dilembagakan, dalam arti begitu meluas sehingga dianggap sebagai hal yang wajar. Ini kemudian berkembang menjadi konvensi atau norma sosial yang mapan. Itu menjadi bagian dari arus utama masyarakat.

Bisa dikatakan, homoseksualitas dinasionalisasi dan merupakan manifestasi budaya. Tampaknya tepat sekitar waktu itu pelembagaan kejahatan telah berkembang sepenuhnya. Karena itu lah Nabi Lurh mencela kaumnya karena melakukan kekejian dan mempraktekkan kejahatan mereka bahkan dalam dewan dan pertemuan umum mereka.

Allah berfirman, “Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (Qs Al 'Ankabut ayat 29).

Nabi Luth juga mengkritik mereka karena melakukan perbuatan asusila homoseksual mereka secara terbuka, sehingga mereka dapat melihat satu sama lain saat melakukannya. Begitu asyiknya mereka dengan “tradisi” mereka, sehingga mereka melakukan perampokan di jalan raya. Kemudian, yang menjadi bagian dari kejahatan itu juga pemerkosaan.

4. Tirani Mayoritas (Tirani Massa)

Tirani mayoritas adalah di mana pihak mayoritas mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Nah, apa yang terjadi pada Nabi Luth dan beberapa pengikutnya adalah kasus terburuk dari tirani mayoritas. Meskipun mereka berada di jalan yang benar, mereka harus menderita.

Mereka tidak menikmati hak maupun status dalam masyarakat. Satu-satunya "kejahatan" mereka adalah bahwa mereka minoritas dan berbeda. Oleh karena itu, kaum Sodom berencana untuk mengusir Nabi Luth, anggota keluarganya yang beriman dan sekelompok kecil orang beriman, dari rumah dan kota mereka secara bersamaan.

Allah SWt berfirman, “Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Lut dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci.” (QS An-Naml ayat 56).

5. Luth dan kebebasan berkeyakinan

Sambil mengajak kaumnya ke jalan Allah, Nabi Luth menyampaikan gagasan tentang kebebasan. Kebebasan berkeyakinan menjadi prioritasnya. Dia menganut gagasan bahwa tidak ada paksaan, atau manipulasi, dalam agama.

Idealnya, tugas  Nabi Luth ada dua. Pertama, untuk menyampaikan dan mengajarkan risalah ilahi secara bebas. Kedua, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif di mana orang akan dapat dengan bebas menerima atau menolak risalah tersebut.

Dia tahu bahwa hanya di lingkungan yang bebas kebenaran bisa berkembang dan kepalsuan bisa terungkap dan dikalahkan. Nabi Luth sering menargetkan pemikiran dan pola perilaku kaumnya sebagai penghalang menuju kebebasan. Orang-orang mengira mereka bebas dan baik-baik saja. Namun, sedikit yang mereka tahu bahwa mereka adalah budak kebodohan dan dosa liar mereka.

Nabi Luth ingin membebaskan dan mencerahkan mereka melalui pesan monoteistik Islam (tauhid), dan melalui ketundukan serta pengabdian mereka hanya kepada Allah. Dia selalu memberi tahu mereka bahwa dia bagi mereka hanyalah seorang utusan yang dapat dipercaya.

Allah SWT berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS Asy-Syu'ara' Ayat 163-164).

Bahwa istrinya, terlepas dari segalanya, tidak mempercayai prinsip-prinsip yang disampaikan Nabi Luth. Alquran juga menggunakan hal tersebut sebagai simbol kebebasan, yang harus dibarengi dengan tanggung jawab.

 

 

 
Berita Terpopuler