Serangan Jenin Usai, Warga Palestina Alami Trauma  Kronis

Warga Jenin selalu dihantui ketakutan yang sama akibat serangan militer Israel.

AP/Majdi Mohammed
Seorang wanita Palestina berjalan di jalan yang rusak di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Rabu, (5/7/2023).
Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, JENIN – Setiap pagi, Fatima Salahat (54), ibu dari empat anak, bangun pukul 07.00. Lalu, ia keluar kamar dan melenggang ke dapur di rumahnya, kamp pengungsi Jenin, Tepi Barat. Bersama suaminya, Zeid, ia mengawali harinya dengan mendengarkan lagu favorit bersama. 

Yakni, lagu yang dinyanyikan ikon musik Lebanon, Fairuz. Selalu lagu yang sama, diputar berulang kali. ‘’The Way of Our Love, itu lagi favoritnya,’’ kata Zeid seorang paramedis yang kini berusia 56 tahun, seperti diberitakan Aljazirah, Senin (10/7/2023). 

Namun sekarang, ia menyatakan telah kehilangan momen bahagia itu bersama istrinya. Sebab, saat ini Fatima tergolek di ranjang rumah sakit. Dokter di rumah sakita mengatakan, ia hampir tak bisa bicara atau berjalan setelah mengalami serangan panik.

Kepanikan dialami Fatima saat pasukan Israel menyerang Jenin pada 3 Juli lalu. Serangan terdahsyat ke kamp itu dalam kurun 20 tahun. Lebih dari 1.000 tentara Israel dikerahkan, roket dan drone menyerang rumah dan infrastruktur publik. 

Pada hari kedua serangan, Fatima mulai menunjukkan gejala serangan panik. Ia menjadi cepat marah, gugup, dan secara konstan dalam keadaan hyperalert hingga ia mencapai titik puncaknya, kemudian dilarikan ke rumah sakit umum di Jenin. 

Setelah serangan berakhir, warga Jenin bukan hanya mendapati puing-puing rumah mereka yang hancur, tetapi juga mengalami timbunan emosi setiap serangan Israel terjadi. Trauma yang berlapis-lapis, terus menumpuk. 

"Di Barat, mereka menyebutnya post-traumatic stress disorder atau PTSD. Saya mempertanyakan penggunaan istilah tersebut sebab di Palestina, kami tak pernah berada dalam kondisi ‘post’,’’ kata Samah Jabr, kepala unit kesehatan mental Palestinian. 

Serangan terakhir yang terjadi di kamp Jenin yang dihuni 11.200 orang itu, ujar sejumlah ahli, menambah lapisan trauma kolektif. Warga dewasa di Jenin menuturkan selalu dihantui ketakutan yang sama akibat serangan militer Israel yang berlangsung selama berpuluh tahun. 

Para remaja, yang baru saja mengalami serangan agresif di kehidupan mereka yang masih muda, kini minta didampingi jika hendak ke kamar mandi dan menolak untuk tidur sendiri. "Trauma terus berlangsung. Ini kronis, dari generasi ke generasi," jelas Jabr.

Serangan gencar memengaruhi jiwa......

Ia mengingatkan, serangan gencar juga memengaruhi jiwa warga Palestina sebab ribuan orang yang mengevakuasi diri dari kamp di tengah malam dengan mengenakan baju yang melekat di badan, mengingatkan mereka pada peristiwa nakba. 

Nakba yang berarti bencana, mengacu pada 750 ribu warga Palestina yang terpaksa meninggalkan kotanya bersamaan dengan pendirian Israel pada 1948. Kamp Jenin berdiri pada 1953 untuk pengungsi dari 50 desa dan kota di utara Palestina, terutama Haifa dan Nazareth. 

Sejak saat itu, kamp ini selalu menjadi target serangan militer Israel. Selama intifada pada 2002, pasukan Israel menyapu seluruh bagian kamp dan membunuh 52 warga Palestina dalam kurun 10 hari pertempuran. Saat itu, 23 tentara Israel tewas. 

"Ini nakba ketiga saya," kata penduduk kamp Jenin, Afaf Bitawi (66), menggambarkan serangan Israel pekan lalu. Ia mengalami kejadian pada 1948, juga menyaksikan dampak pendudukan Israel, mengingat setiap detail serangan 2002 yang membuat rumahnya tinggal puing. 

"Pertanyaan yang sama, mestikah saya meninggalkan rumah dan berisiko ditembak penembak jitu atau saya keluar dumah dan takut buldoser akan menghancurkan rumah saya?" tanya Bitawi, menggambarkan perasaannya saat serangan terakhir ke Jenin. 

Palestinian Central Bureau of Statistics menyatakan, lebih dari setengah orang di Tepi Barat yang berusia di atas 18 tahun mengalami depresi. Sedangkan di Gaza, mereka yang mengalami hal sama dan pada usia yang sama jumlahnya 70 persen. 

 

 
Berita Terpopuler