Bagaimana UU Prancis Mengizinkan Polisi untuk Menembak?

Penembakan mematikan oleh petugas polisi pada Selasa adalah insiden ketiga tahun ini.

AP
Kerusuhan terjadi di Prancis setelah remaja bernama Nahel ditembak mati oleh polisi pada Selasa (27/6/2023) di daerah pinggiran Paris, Nanterre, setelah dia melanggar undang-undang lalu lintas
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kekerasan dengan senjata api sangat jarang terjadi di Prancis. Pada Selasa (27/6/2023), publik Prancis dikejutkan oleh penembakan polisi terhadap seorang remaja berusia 17 tahun hingga tewas. Remaja itu diidentifikasi sebagai Nahel M yang merupakan keturunan Afrika Utara.

Baca Juga

Penembakan mematikan oleh petugas polisi pada Selasa adalah insiden ketiga tahun ini. Juru bicara polisi mengatakan, pada 2022 kepolisian mencatat 13 orang tewas karena tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Mereka tewas karena melawan petugas saat kendaraan mereka dihentikan akibat melanggar lalu lintas.

Menurut penghitungan kantor berita Reuters, ada tiga pembunuhan serupa yang terjadi pada 2021 dan dua pembunuhan pada 2020. Kemudian tidak ada insiden pada 2019, dan enam insiden pada 2018 dan 2017. Sejak 2017 sebagian besar korban adalah orang kulit hitam atau keturunan Arab.

Ombudsman hak asasi manusia Prancis membuka penyelidikan atas kematian Nahel. Ini adalah penyelidikan keenam atas insiden serupa pada 2022 dan 2023.

Sejak 2017, undang-undang Prancis mengizinkan polisi menggunakan senjata api mereka dalam lima skenario berbeda yaitu pertama, ketika nyawa atau keselamatan fisik mereka atau nyawa individu lain terancam.

Kedua, ketika suatu tempat atau orang-orang di bawah perlindungan mereka diserang. Ketiga, ketika mereka tidak dapat mencegah seseorang yang kemungkinan akan mengancam nyawa atau keselamatan fisik mereka atau orang lain untuk melarikan diri.

Kemudian skenario keempat yaitu ketika mereka tidak dapat menghentikan kendaraan yang pengemudinya telah mengabaikan perintah untuk berhenti dan cenderung menimbulkan risiko bagi nyawa atau keselamatan fisik mereka atau orang lain, dan kelima, jika ada alasan untuk percaya itu akan mencegah pembunuhan atau percobaan pembunuhan.

Kelompok hak asasi manusia telah mengkritik undang-undang tahun 2017. Mereka mengatakan, undang-undang itu memperluas kerangka hukum yang berbahaya ketika seorang petugas dapat menggunakan senjata api.

Seorang peneliti di Sociological Research Center for Law and Criminal Justice Institutions (CESDIP), Fabien Jobard mengatakan kepada Reuters, ada ambiguitas dalam undang-undang tersebut.

“Undang-undang ini mengacaukan teks yang sangat jelas yang menyatakan bahwa (petugas polisi) tidak dapat menggunakan senjata api mereka kecuali untuk melindungi nyawa mereka atau nyawa orang lain,” kata Jobard.

 
Berita Terpopuler