Masa Jabatan Kepala Desa akan Langsung Bertambah Seusai UU Desa Disahkan

Kepala desa incumbent langsung ditambah tiga tahun menjadi sembilan tahun menjabat.

Republika/Thoudy Badai
Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah mealakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya. Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat panitia kerja (Panja) penyusunan draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Baca Juga

Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menjelaskan, aturan tersebut langsung berlaku usai revisi UU Desa disahkan menjadi undang-undang. Artinya, seorang kepala desa yang sebelumnya menjabat enam tahun dalam satu periode, akan ditambah masa kepemimpinannya selama tiga tahun.

"Pada saat UU ini berlaku, satu, kepala desa dan badan permusyawaratan desa yang masih menjabat pada periode pertama dan kedua menghabiskan sisa masa jabatan sesuai UU ini dan dapat mencalonkan diri satu periode lagi. Dua, kepala desa dan badan permusyawaratan desa yang masih menjabat pada periode ketiga, menghabiskan sisa masa jabatan sesuai dengan UU ini," ujar Supratman dalam rapat panitia kerja (Panja) penyusunan revisi UU Desa, Selasa (27/6/2023).

Dalam UU Desa yang berlaku saat ini, kepala desa memegang jabatan selama enam tahun yang terhitung sejak tanggal pelantikan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 Ayat 1.

Selanjutnya, kepala desa dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Periode kepala desa tersebut diatur dalam Pasal 39 Ayat 2.

Sementara dalam revisi UU Desa, akan dilakukan perubahan di Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 39 yang terkait persyaratan, pemilihan, dan masa jabatan kepala desa. Terkait masa jabatan kepala desa diatur dalam Pasal 39 Ayat 2.

Perubahan Pasal 39 Ayat 2 akan mengubah masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun untuk satu periode sejak tanggal pelantikannya. Adapun maksimal masa jabat kepala desa adalah selama dua periode.

Sebelumnya, Sebanyak enam fraksi menyetujui usulan tersebut untuk dimasukkan ke dalam draf revisi UU Desa. Sedangkan Fraksi Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) belum menyatakan sikapnya karena tak hadir dalam rapat panitia kerja (Panja) penyusunan draf tersebut.

"Ini adalah hal-hal yang sangat dinanti-nantikan kepala desa, maka tentu kami dari Golkar ingin bersuara bahwa apa yang diperjuangkan oleh kades yang ingin memangkas dari tiga jadi dua (periode), tapi masa berlakunya jabatannya jadi sembilan tahun dari enam tahun, maka kami bisa menyetujui," ujar anggota Baleg Fraksi Partai Golkar, Supriansa.

Fraksi PDIP juga menyetujui hal tersebut, karena usulan tersebut merupakan hasil rapat kerja nasional (Rakernas) III yang digelar pada awal Juni. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepakat masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dengan maksimal kepemimpinan selama dua periode.

Namun, anggota Baleg Fraksi PKB Ibnu Multazam meminta agar adanya aturan yang lebih detail terkait pasal tersebut berlaku surut atau tidak setelah revisi UU Desa disahkan. Semntara itu, Fraksi Partai Keadilan Serjahtera (PKS) setuju dengan usulan tersebut dan undang-undangnya langsung berlaku kepada kepala desa yang sedang memimpin.

"Kalau kades itu baru enam tahun, baru tiga tahun (memimpin), ya tambah kita enam tahun. Kita selesaikan saja, tidak usah kita tunda, jadi UU ini kita ketok, kita berlakukan. Jadi transisi gampang, jadi berlaku surut dia," ujar anggota Baleg Fraksi PKS Almuzzammil Yusuf.

 

 

Selain masa jabatan kepala desa, Baleg DPR juga memasukkan usulan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) nomor 561, yang mengatur bahwa dana desa sebesar Rp 2 miliar dari dana transfer daerah. Awalnya, alokasi dana desa adalah sebesar 15 persen dari dana transfer daerah.

Namun, empat fraksi di Baleg menolak, yakni Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka mengusulkan agar dana desa langsung ditetapkan Rp 2 miliar per desa.

"Kalau kita menetapkan sistem dengan persentase, ini kan ada sebuah ketidakpastian. Kalau memang tujuan dan orientasinya ini adalah untuk dana desa sebagai pengembangan, pembangunan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan desa, kalau ini ada nominal, ini desa udah bisa merencanakan," ujar anggota Baleg Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo dalam rapat panitia kerja penyusunan draf revisi UU Desa, Selasa (27/6/2023).

Dengan ditetapkannya angka Rp 2 miliar, desa bisa merencanakan program dan pembangunannya sesuai dengan anggaran yang diterima. Sehingga akan ada keberlanjutan program dalam satu masa kepemimpinan kepala desa.

"Jadi lebih terarah, terukur, dan kemudian itu bisa terkontrol. Jadi saya dari Fraksi Golkar setelah kami keluar sebentar tadi, saya lebih mendukung kepada gagasan dengan ditetapkan nominal 2 miliar," ujar Firman.

Sementara itu, anggota Baleg Fraksi PAN Desy Ratnasari menjelaskan bahwa persentase 15 persen menghadirkan ketidakpastian anggaran bagi desa. Karena, besar atau kecilnya dana desa sebesar 15 persen tentu tergantung dari tinggi atau rendahnya dana transfer daerah.

"Kalau misalkan APBN-nya lagi naik, ya 15 persen udah keburu dipatok dibagi-bagi, 20 persen untuk pendidikan, lalu kemudian 10 persen kalau tidak salah untuk kesehatan. Ini udah keburu dipatok lagi 15 persen untuk dana desa, walaupun nanti ini dibilang dari dana transfer daerah," ujar Desy.

"Oleh karena itu, sesungguhnya ketika muncul nilai 1 miliar itu atau 2 miliar itu sebagai satu usulan, bukan sebagai patokan jika memang disetujui," sambungnya.

Ketua Baleg Supratman Andi Agtas memutuskan, usulan dana desa sebesar Rp 2 miliar akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam draf revisi UU Desa. Adapun disetujui atau tidaknya, tergantung pembahasannya nanti bersama pemerintah.

Sementara itu dalam rapat sebelumnya, dalam draf revisi UU Desa terdapat perdebatan terkait dana desa yang meningkat menjadi 15 persen, dari 10 persen. Sebab, peningkatan anggaran juga harus berdampak pada bertambahnya tugas perangkat desa.

Di samping itu, alokasi dana desa masuk dalam mandatory spending atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Hal tersebut seperti alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Bertambahnya dana desa juga berpotensi berimplikasi terhadap pengalihan fungsinya. Sebab pada dasarnya, semua memiliki tujuan yang sama untuk mewujudkan desa sebagai pusat pertumbuhan atau menjadi basis kesejahteraan.

Anggota Baleg Fraksi Partai Golkar Supriansa juga mempertanyakan sumber dana desa sebesar 15 persen yang berasal dari dana transfer daerah. Sebab, dana transfer daerah terdiri dari enam jenis, yakni dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, dana keistimewaan, dan dana desa.

"Apakah semuanya itu (dana transfer daerah) diambil 15 persen, nah ini harus jelas juga yang dimaksud ini (berasal dari dana transfer daerah). Kalau kita tidak jelas, bisa langsung melompat ke dana yang ke enam (dana desa) yang tadi saya bacakan," ujar Supriansa.

 

Kontoversi Jabatan Kepala Desa - (Rep)

 

 
Berita Terpopuler