Bank Indonesia Prediksi Suku Bunga AS Naik jadi 5,5 persen

Penyebab kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yakni masih tingginya laju inflasi

Dok. Republika
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Bank Indonesia (BI) memprediksi Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen pada Juli 2023.
Rep: Novita Intan Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memprediksi Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen pada Juli 2023. Adapun prediksi ini ini didasari oleh analisa perkembangan ekonomi Amerika Serikat dan mencermati pernyataan-pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell dan anggota bank sentral AS yang lain.

Baca Juga

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan berbagai situasi ekonomi di Amerika Serikat berpotensi membuat fed fund rate masih akan meningkat. "Otoritas terkait di sana sudah mulai meredakan keketatan likuiditas di sini kemudian FFR yang kami perkirakan terminalnya 5,25 persen ada kemungkinan baseline kami Juli nanti naik menjadi 5,5 persen,” ujarnya saat konferensi pers, Kamis (22/6/2023).

Perry menyebut penyebab kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yakni masih tingginya laju inflasi. Adapun laju inflasi Amerika Serikat dikarenakan pasokan yang sulit meningkat dan permintaan tidak bisa dikendalikan, hanya dengan kenaikan suku bunga, terutama inflasi sektor jasa.

"Kenaikan permintaan AS dulu-dulunya  komoditas barang makanan, tapi kemudian sekarang semakin didominasi oleh kenaikan permintaan jasa," ucapnya.

Menurutnya laju inflasi Amerika Serikat juga memengaruhi pasar tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan pembatasan imigrasi, sehingga permintaan tenaga kerja tidak terpenuhi.

"Amerika serikat tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja," ucapnya. 

Akibat ketidakpastian ekonomi global yang semakin meningkat, Bank Indonesia turut khawatir dengan situasi dunia yang semakin memburuk terutama ketegangan Amerika Serikat dan Cina. 

"Memang perkembangan itu demikian cepat yang terjadi khususnya di AS dan Cina," ucapnya.

(Persoalan di Amerika Serikat disebabkan oleh....)

 

Persoalan di Amerika Serikat, menurut Perry, disebabkan oleh tingginya permintaan pasca kencangnya vaksinasi dan pelonggaran aktivitas masyarakat. Hal ini ternyata tak bisa disambut oleh ketersediaan pasokan, apalagi ada ketegangan politik dengan Cina.

"Ini juga terganggu dengan ketegangan baik perdagangan dengan Cina," ucapnya.

Situasi tersebut mendorong lonjakan inflasi di Amerika Serikat, ditambah dengan perang Rusia dan Ukraina yang meletus pada Februari 2022. Tercatat inflasi Amerika Serikat yang tadinya hanya dua persen menjadi sembilan persen secara year on year, bahkan setelah dilakukan kenaikan suku bunga acuan secara agresif, inflasi tak kunjung turun.

"Karena tadi supply-nya susah naiknya, demand-nya tidak hanya bisa dikendalikan oleh kenaikan suku bunga," ucapnya.

Sementara itu, menurut Perry, ekonomi Cina ternyata tidak sesuai perkiraan. Meskipun sejak awal tahun, negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut sudah mulai melonggarkan kebijakan pengetatan mobilitas akibat pandemi covid-19.

 

"Ekonomi Cina juga tidak sekuat perkiraan. Inflasi yang rendah juga akan mendorong China mengambil keputusan pelonggaran suku bunga acuan,” ucapnya.

 
Berita Terpopuler