SD Inpres, Kualitas Diejek Jokowi, Malah Antarkan Ekonom AS Raih Nobel

Pemerintahan Soeharto sepanjang 1973-1979, membangun 61.807 gedung SD baru.

Antara/Handi Virawan
Sejumlah siswa sekolah dasar mengikuti pelajaran di SD Inpres Wanggemalo, Distrik Kombay, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, Senin (12/6/2023).
Rep: Erik PP/Dessy Suciati Saputri/M Subarkah Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat jawaban tidak terduga ketika ditanya tentang mandor atau pengawas asing ikut terlibat dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jokowi menilai, penggunaan pengawas asing untuk menjaga kualitas barang yang dihasilkan.

"Mandor apa, beda loh mandor sama pengawas. Memang sudah diusulkan dalam rapat kalau hanya satu, dua untuk urusan kualitas barang nanti yang dihasilkan," kata Jokowi di Pasar Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2023).

Jokowi menjelaskan, pelibatan pengawas asing dalam proyek IKN juga sekaligus untuk menarik investor asing. Menurut dia, pemerintah tak ingin hasil pembangunan IKN  malah tak sesuai harapan. Jokowi pun membandingkan, tidak ingin hasil IKN seperti gedung Sekolah Dasar Inpres pada era Presiden Soeharto.

Baca Juga

Baca: Bukan Mandor, Jokowi tak Masalah Pengawas Asing di Proyek IKN

Ketika berkuasa, salah satu program Soeharto adalah mempercepat pendidikan dengan membangun masif SD Inpres di seluruh pelosok negeri. "Ndak-ndak ya karena kita ingin menaikan level kualitas kita. Jangan nanti hasilnya nanti kayak SD Inpres, mau?" kata Jokowi.

Sementara itu, program SD Inpres di Indonesia ternyata mendapatkan pengakuan dunia. Solusi pengentasan kemiskinan melalui pendidikan yang dijalankan Soeharto mendapatkan pengakuan hadiah nobel.

Hal itu setelah trio warga Amerika Serikat (AS), yaitu Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer meraih nobel bidang ekonomi pada 2019. Ketiga ekonom tersebut mendapatkan penghargaan tertinggi atas hasil penelitian mereka terkait kemiskinan global.

Penelitian SD Inpres yang berbuah Nobel ...

Esther Duflo yang meraih nobel pada usia 46 tahun menjelaskan tentang penelitiannya terkait kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendirikan SD Inpres pada era 1973 hingga 1978. Duflo pun mengutip data Bank Dunia, sepanjang 1973-1974 hingga 1978-1979, Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru.

Kala itu, setiap sekolah mampu menampung sekitar 500 siswa. Presiden Soeharto mengeluarkan lebih dari 500 juta dolar AS atau setara 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 1973.

Hasil Duflo diterbitkan menjadi jurnal berjudul 'Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment' pada 2000. The Financial Express melaporkan, Duflo menjelaskan, pembangunan SD Inpres merupakan program pembangunan gedung sekolah terbesar di Indonesia sepanjang sejarah.

Duflo menyimpulkan, pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia dua sampai enam tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun pendidikan lebih banyak untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Program SD Inpres, menurut Duflo, juga mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Peningkatan itu diterjemahkan ke dalam kenaikan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut hitungannya, efek pembangunan SD Inpres sukses 'meningkatkan ekonomi' Indonesia kala itu. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.

"Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program," kata Duflo saat menerima nobel ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT).

 
Berita Terpopuler