Kasus 'Pengajian Seks' Oknum Pesantren, Apa yang Harus Dilakukan?

Polisi menetapkan pelaku pengajian seks sebagai tersangka

Republika/Prayogi
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi) Polisi menetapkan pelaku pengajian seks sebagai tersangka
Rep: Rossi Handayani, Rizky Suryarandika Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA –  Pengamat Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah mengatakan, warga pesantren harus bisa lebih peduli apabila terlihat ada penyimpangan yang terjadi di lingkungan sekolah. 

Baca Juga

Hal ini dapat dilakukan agar masalahnya tidak semakin membesar dan merugikan ke depannya.

"Saya concern pertama terhadap bagaimana warga pesantren. Dalam hal ini Ustadz-ustadz, siswanya sendiri itu harus punya kepedulian dalam pengertian ketika ada hal-hal penyimpangan itu seharusnya segera dilaporkan sehingga tidak menjadi membesar, semakin membesar semakin banyak korbannya," kata Jejen pada Sabtu (26/5/2023).

Dia mengungkapkan, semestinya ada pengawasan internal yang berjalan, sebab tidak semua warga pesantren menjadi pelaku kekerasan seksual atau pun kekerasan lainnya. Untuk itu perlu adanya keberanian untuk berbicara dan melaporkan tindak penyimpangan.

"Kedua tentu saja di eksternal ya, aspek pemerintah saya kira pemerintah dan juga bersama masyarakat di sekitar Pesantren harus punya evaluasi terhadap keberadaan pesantren-pesantren yang tentu saja membutuhkan kerja yang terstruktur, sistematis sehingga bisa dideteksi sedini mungkin kalau ada pesantren yang menyimpang tadi ya kekerasan seksual atau kekerasan apapun," ucap Jejen.

Baca juga: Pimpinan Ponpes Gelar Pengajian Seks Masuk Surga Renggut Keperawanan 41 Santriwati

Sementara itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam tindak kekerasan seksual yang diduga terjadi di Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Aksi bejat itu diduga dilakukan oleh LMI (43 tahun) dan HSN (50) yang merupakan pimpinan ponpes.

Kedua pelaku diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023. Selanjutnya, tiga orang korban telah membuat laporan polisi atas perbuatan bejat tersebut.

"Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, dalam keterangannya, Kamis (25/5/2023). 

Nahar mengatakan kasus ini terjadi dengan modus di antaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks”. Tindakan ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi dan patut dihukum berat. 

Bahkan, terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16 – 17 tahun. 

“Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, tidak hanya melindungi anak, tetapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya," ujar Nahar.

Pelaku terancam hukuman maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar berharap penegakan hukum kasus ini juga dapat menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

"Ini agar hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual," ujar Nahar. 

Selain itu, Nahar berharap kepolisian dapat terus mendalami kasus ini, termasuk dapat membuka layanan pengaduan bersama. Hal ini untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan. 

"Kami terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS ini," kata Nahar.

 

 
Berita Terpopuler