Apa Hukum Orang Tua Memaksa Anak Gadisnya Menikah?

Pernikahan tidak dianggap sah kecuali ada walinya.

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Sejumlah pengantin membawa buket bunga usai mengikuti nikah massal juara di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (14/5/2023). Pemerintah Provinsi Jawa Barat memfasilitasi kegiatan nikah massal gratis yang sah secara agama dan hukum untuk 300 calon pengantin.
Rep: Muhyiddin Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memelihara keturunan merupakan salah satu tujuan syariat. Karena itu, Islam mensyariatkan pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keturunan, khususnya bagi orang yang sudah dianggap layak dan memenuhi ketentua yang sudah ditetapkan dalam pandangan Islam.

Baca Juga

Dalam Islam, pernikahan tidak bisa dilakukan sembarangan, tapi harus tunduk pada aturan main yang sudah ditentukan. Di antara ketentuannya adalah adanya wali. Menurut Mazhab Syafi’I, wali menjadi salah satu rukun nikah.

Karena itu, pernikahan tidak dianggap sah kecuali ada walinya. Sebagaimana disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar,

“Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah tidak sah tanpa wali.”

Namun, di sinilah kemudian muncul permasalahan, bagaimana jika seorang ayah memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah dengan pilihan sanga ayah karena dipandang sepadan (kufu’), padahal di sisi lain si gadis sudah punya pilihan lain yang ia anggap juga layak?

 

 

Menjawab hal itu, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Mahbub Ma’afi menjelaskan bahwa dari kasus seperti itu, maka biasanya akan muncul ketidakharmonisan hubungan anak dan ayahnya.

Menukil pendapat Mazhab Syafi’i dalam kitab Kifayah al-Akhyar, Kiai Mahbub mengungkapkan,

 

“Dan disunahkan dimintai izinnya gadis yang sudah dewasa karena adanya hadits (yang menjelaskan hal itu).” (Kifayah al-Akhyar, Surabaya-Dar al-‘ilm, Juz II, hlmn 44).

Dalam bukunya yang berjudul "Tanya Jawab Fiqih Kedeharian" terbitan Qafila, Kiai Mahbub menjelaskan bahwa disunahkan bagi seorang ayah untuk meminta persetujuan kepada anak gadisnya yang sudha dewasa. Pandangan ini karena didasarkan kepada hadits berikut:

“Dan perempuan yang masih gadis (sebaiknya) dimintai izin, sedangkan izinnya adalah keterdiamannya.” (HR Muslim).

 

Menurut Kiai Mahbub, hal ini juga pernah dibahas dalam Muktamar ke-5 NU di Pekalongan pada 7 September 1930. Hasil keputusan tersebut membolehkan, tetap makruh, sepanjang tidak ada kemungkinan akan timbulnya bahaya. Keputusan ini didasarkan pada kitab Tuhfah al-Habib.

 

“Adapun sekadar ketidaksukaan wanita tanpa hal yang dharuri (terpaksa), maka tidak berpengaruh (terhadap sahnya pernikahan). Akan tetapi dimakruhkan bagi walinya untuk mengawinkannya sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Umm. Disunahkan meminta izin kepada gadis jika memang sudah dewasa berdasarkan hadits Muslim: ‘Seorang ayah harus meminta persetujuan dari anaknya yang masih perawan’. Hadis ini dipahami sebagai ‘sunah’ demi menghargai perasaan.”

 
Berita Terpopuler