Gubernur Khofifah Kagumi Arsitektur Bangunan Masjid Jami' Sumenep

Gubernur Khofifah berharap masjid Jami' Sumenep jadi sumber kearifan Islam

Dokumen
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Belum lama ini Khofifah meresmikan Masjid Jami' Sumenep.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, SUMENEP -- Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengagumi desain arsitektur yang memadukan budaya Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura di Masjid Jami' Kabupaten Sumenep, sehingga masjid yang didirikan pada tahun 1779 hingga 1787 itu memiliki daya tarik tersendiri.

Baca Juga

"Masjid ini juga menjadi simbol akulturasi dan toleransi budaya di Pulau Madura," katanya seusai melaksanakan shalat tarawih di masjid itu, Ahad (2/4) malam.

Gubernur bersama Bupati Sumenep Achmad Fauzi dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Jatim dan Pemkab Sumenep, malam itu melanjutkan rangkaian safari Ramadhan dengan melaksanakan shalat tarawih.

Masjid yang terletak di Jalan Trunojoyo Nomor 184, Dalem Anyar, Bangselok, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep ini juga menjadi salah satu bangunan dari 10 masjid tertua di Nusantara.

Konon, Masjid Jami' ini didirikan pada masa pemerintahan Panembahan Somala, yakni Penguasa Negeri Sungenep XXXI yang saat ini disebut Sumenep.

Masjid Jami' ini merupakan salah satu bangunan pendukung Karaton Sumenep yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi keluarga Karaton dan masyarakat. Masjid Panembahan Somala ini dibangun setelah pembangunan Kompleks Keraton Sumenep, dengan arsitek yang sama, yakni Lauw Piango.

Secara garis besar, arsitektur bangunan masjid Jami' Sumenep dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura. Salah satunya nampak pada pintu gerbang atau pintu masuk utama masjid yang corak arsitekturnya bernuansa kebudayaan Tiongkok.

"Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep ini mengingatkan kita pada bentuk tembok besar di China yang terbuat dari tembok besar yang memanjang, melambangkan kekokohan dan keagungan," kata Khofifah.

Tidak hanya itu, pada dinding mimbar, mihrab dan maksurah pada masjid ini dilapisi dengan keramik porselen dari China. Model interior masjid juga mencerminkan nuansa dan pengaruh China yang kental.

Sedangkan bangunan utama masjid ini hampir keseluruhannya dipengaruhi budaya Jawa pada bagian atapnya dan budaya Madura pada pewarnaan pintu utama dan jendela masjid.

"Ada simbol akulturasi dan bukti toleransi yang tinggi tercermin di masjid Panembahan Somala ini, bahwa toleransi ini memang harus terus kita semai," ucap Khofifah.

Selain memiliki corak dan arsitektur dari pengaruh berbagai budaya, Masjid Jami' Sumenep ini juga memiliki filosofi tinggi.

Salah satunya adalah pagar tembok dengan pintu gerbang berbentuk gapura sebagai pintu utama masjid yang memiliki makna agar para jamaah lebih berhati-hati dalam menjalankan ibadah shalat. Kemudian pintu Masjid Jami' yang berbentuk gapura.

Kata gapura ini diambil dari Bahasa Arab 'ghafura' yang artinya tempat pengampunan, sehingga diharapkan masyarakat yang beribadah bisa memohon ampun kepada Allah dan mendapatkan ampunan-Nya.

"Dengan demikian, selain sarat akan nilai estetika, dan unsur budaya yang kental, masjid ini juga memiliki filosofi tinggi," tutur Khofifah.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur perempuan pertama di Jatim ini juga membagikan 850 kantong beras kepada jemaah salat tarawih Masjid Jami' Sumenep yang masing-masing menerima 3 kg beras.

 

Ziarah ke Makam Para Raja Sumenep

Usai menjalankan salat tarawih, Gubernur Khofifah melanjutkan rangkaian Safari Ramadhan di Kabupaten Sumenep dengan berziarah ke Asta Tinggi yang terletak di dataran tinggi Kabupaten Sumenep, yakni di Jalan Asta Tinggi, Temor Lorong, Kebunagung, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep.

Dalam bahasa Madura, Asta Tinggi juga disebut dengan Asta Raja atau 'makam pangradja', baik dari keturunan maupun kerabatnya. Makam tersebut milik Pangeran Anggadipa dan menjadi makam pertama di kompleks pemakaman Asta Tinggi.

Pangeran Anggadipa sendiri merupakan putra dari Adipati Jepara yang diutus oleh Kerajaan Mataram untuk menjaga dan mengatur pemerintahan Kerajaan Sumenep ketika terjadi kekosongan pemimpin.

Makam Asta Tinggi dibangun sekitar tahun 1750 Masehi dengan areal kompleks makam berukuran 112,2 meter x 109,25 meter.

Kawasan pemakaman Asta Tinggi rencana awalnya dibuat oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II.

Selain sebagai peristirahatan terakhir raja-raja dari dinasti kerajaan Sumenep dan keturunannya, Asta Tinggi ini juga menyimpan banyak sejarah dan hal menarik.

Di antaranya adanya empat kubah besar yang menaungi makam dan menjadi ikon utama yang disebut Asta Induk.

Setiap kubah tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir raja-raja dari dinasti Sumenep beserta istri-istrinya, yaitu Kubah Pangeran Panji Pulang Jiwo, Kubah Panembahan Sumolo, Kubah Tumenggung Tirtonegoro, Kubah Pangeran Djimat alias Pangeran Akhmad atau Kanjeng Aryo Cokronegoro.

"Jadi disini adalah makam dari para raja dan istri-istri dari raja Sumenep," katanya.

Sementara itu arsitektur bangunan yang ada di makam tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan Belanda, Arab, China maupun Jawa. Namun yang masih nampak menonjol adalah kebudayaan Hindu.

"Ziarah ke Asta Tinggi Sumenep itu selain sebagai wisata spiritual tetapi juga bernilai sejarah yang sangat kental," kata gubernur.

Ziarah ke Pesarean Batu Ampar Pamekasan

Sebelum melakukan safari Ramadhan ke Kabupaten Sumenep, melaksanakan shalat tarawih dan ziarah ke makan raja-raja di Sumenep, Gubernur Khofifah juga melakukan ziarah ke makam penyebar agama Islam di Pesarean Batu Ampar, di Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan.

Pesarean Batu Ampar terletak di Dusun Batu Ampar, Desa Pangbatok, Kecamatan Proppo, sekitar 22 kilometer ke arah barat Kota Pamekasan.

Nama Batu Ampar ini berasal dari Bahasa Madura yaitu 'Bato' yang berarti batu dan 'Ampar' yang berarti berserakan namun teratur seperti halnya permadani yang dihamparkan.

Di kompleks makam ini terdapat 6 makam aulia atau wali Allah yang dalam Bahasa Madura disebut Bujuk. Mereka adalah makam Syekh Abdul Manan (Bujuk Kosambi), Syekh Basyaniyah (Bujuk Tumpeng), Syekh Abu Syamsudin (Bujuk Lattong), Syekh Husen, Syekh Moh. Romli dan Syekh Damanhuri.

Syekh Abdul Manan (Bujuk Kosambi) salah satu ulama yang dimakamkan di Pesarean Batu Ampar ini adalah putra dari Sayyid Husein, seorang ulama Bangkalan. Diceritakan, Syekh Abdul Manan ini mengasingkan diri atau uzlah di bawah pohon Kosambi di hutan daerah Batu Ampar untuk mendekatkan diri kepada Allah usai Syeikh Husen wafat terbunuh akibat kesalahpahaman dengan Raja Bangkalan kala itu.

Sementara Sayyid Husein adalah cucu dari Sunan Ampel dan putra dari Sunan Bonang, dan ia merupakan leluhur dari bujuk-bujuk atau masyayikh yang berada di Batu Ampar, Proppo, Pamekasan.

Di Batu Ampar ini kemudian Syekh Abdul Manan mendirikan padepokan kecil untuk mengajarkan pemuda setempat ilmu agama dan mendekatkan diri kepada Allah.

 

Dan di Pesarean Batu Ampar ini seolah tidak pernah sepi dari orang-orang yang mengkhatamkan Alquran, selama 24 jam selalu ada yang membaca Alquran.

 
Berita Terpopuler