Ramadhan, Perppu Ciptaker, dan Banalitas Demokrasi  

Ramadhan harus jadi tradisi kebangsaan restorasi solidaritas politik

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Selasa (28/2/2023). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menuntut pemerintah segera mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : A Fahrur Rozi, aktif di Distrik HTN Institute Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta  

 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Awal Ramadhan  diwarnai dengan kegaduhan publik soal nasib buruk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja yang akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 21 Maret 2023.

Sejak Pemerintah menerbitkan Perppu Ciptaker dengan dalih ‘kegentingan yang memaksa’ pada Desember lalu, publik harap-harap cemas kepada DPR sebagai harapan terakhir.

Keresahan publik yang sejak lama tertahan akhirnya meledak ketika DPR mengetok palu pengesahan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang. Ekspresi kecewaan dan kemarahan rakyat banyak ditemui di media sosial, mulai yang bentuknya sindiran hingga blak-blakan.

Sejatinya, pengaturan Cipta Kerja dalam produk perundang-undangan adalah hal yang dipaksakan, tidak an sich. Hal itu bisa dilihat dari jejak perjalanan pengaturan Ciptaker yang meniscayakan problem dalam setiap agendanya, mulai metode yang dipakai, alur pembentukan, hingga pengesahan.

Saat muncul wacana rancangan undang-undang (RUU) omnibus law pengaturan ketenagakerjaan dan entitas pekerja buruh dari perundang-undangan yang ada, hal itu kemudian memunculkan persoalan legisme prosedur beracara. Tidak ambil pusing dengan legalitas beracara, DPR tetap paksa RUU yang ada dilanjut hingga pengesahan.

Alhasil, pada 2020 Mahkamah Konstitusi (MK) menerima laporan uji formil UU Ciptaker. Dengan alasan kecacatan formil karena tidak ada legalitas metode kompilasi atau kodifikasi dalam pembentukan hukumnya ( rechvorming), akhirnya MK memutus UU Ciptaker inkontitusional bersayarat. MK memberikan waktu kepada Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan formil sebelum UU Ciptaker kembali sah secara konstitusional.

Alih-alih melakukan perbaikan terhadap catatan dari MK; mencukupi meaningful participation dan metode omnibus law, Pemerintah menempuh jalan pintas dengan menjadikan kegentingan memaksa sebagai dalih permainan single executive menerbitkan Perppu Ciptaker. Tidak ada alasan pembenaran secara doktrin dan tata berhukum kita ketika melihat bagaimana Perppu Ciptaker diterbitkan.

Pertama, tidak memenuhi syarat kegentingan sebagaimana batasan yang termuat pada Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 tentang indikator keabsahan suatu Perppu diterbitkan.

Kedua, bentuk relasi yang timpang antara calon penanam modal dan pekerja buruh. Sejumlah pasal-pasal jelas menegasikan kesataraan hak yang otonom dan eksploitasi besar-besaran untuk kerja sistem human capital. 

Baca juga: Pujian Rakyat Negara Arab untuk Indonesia Terkait Piala Dunia U-20, Terhormat!

Dalam taraf berlanjut, kecacatan berhukum yang dipertontonkan itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan yuridis dari DPR sebagai lembaga yang berhak mengesahkan.

Mereka ngotot-ngototan kendati hal itu menciderai nilai demokrasi, norma konstitusi, dan amanat reformasi. Akibatnya, momentum Ramadhan  yang seyogyanya menjadi kesempatan untuk merajut ulang kesatuan, tindakan hukum pengesahan itu telah mewarnai Radaman dengan corak kegaduhan.

Demokrasi yang banal

Fenomena Perppu Ciptaker yang dipertontonkan kepada publik sebanarnya tidak ubahnya sebuah pertunjukan dari banalitas demokrasi saat ini. Ada dua episteme distruktif yang menggejala pada tubuh demokrasi di sini. Pertama adalah kemunculan klientelisme struktural, dan kedua adalah otoritarianisme politik.

 

Klientelisme bukan hal yang baru dalam realitas demokrasi kita. Ia secara sederhana adalah gambaran suatu transaksi politik yang dibangun berdasar pada kesepahaman pilihan elektoral.

Ia satu rumpun dalam spektrum yang menggmabarkan premanisme politik, money politics, patronase politik, atau politik transaksional. Klientelisme selalu melibatkan patron-klien, pertukaran yang terlembaga (quid pro quid), dan kontrak yang kontinuitas (Stokes, 2013, Hicken, 2011).

Dalam relasi struktural antara Pemerintah dan DPR, Perppu Ciptaker seolah menjadi bahan tawar dalam membangun klientelisme struktural. Koalisi partai politik dalam kompetisi demokrasi di masa lalu ternyata merupakan awal terbukanya transaksi bagi klientelisme di masa depan.

Patron (Pemerintah) dalam kuasa eksekutif telah membuka relasi klientelisme struktural dengan kuasa parlemen sebagai klien (DPR). Yang jelas terlihat dari bentuk relasi seperti ini adalah perjuangan kepentingan dengan sistem pertukaran yang kontingen. 

Kedua, secara bersamaan, kita melihat gejala otoritarianisme politik. Hal itu dihadapkan pada kondisi di mana perangkat demokrasi menjadi semakin terasing dalam gerak birokrasi Pemerintah.

Kita menyaksikan bagaimana fatwa akademik berseluncur dengan bebas mengawal gerak Perppu Ciptaker, mulai yang bentuknya masukan hingga kritikan. Tapi hal demikian tidak memberikan efek sektoral perbaikan sama sekali. 

Pemerintah tetap dengan tekadnya untuk mengesahkan pengaturan soal Ciptaker. Tekad itu mendorong mereka membuka interpretasi baru spektrum hukum ihwal syarat penerbitan Perppu hingga birokrasi pembahasan kilat peraturan kendati menabrak prosedur pembuatan dan pengundangan.

Pelbagai oposisi dan suara kontra ditekan seminimalis mungkin. Faktanya, otoritarianisme politik itu mengendap dari bagaimana pemerintah menggunakan perangkat demokrasi, termasuk hukum, secara banal dengan kehendak suka-suka.

Baca juga: Ottoman Bantu Irlandia Negeri Non-Muslim yang Dilanda Kelaparan dan Begini Balas Budinya

Tidak heran jika publik meluapkan kekecewaan luar biasa hingga memunculkan kegaduhan politik kendati di awal-awal bulan Ramadhan.

Pasalnya, atas kepentingan pembangunan, agenda hijau investasi diperjuangkan dengan cara banalisasi demokrasi. Mereka menggunakan kuasa dan perangkat politik yang ada untuk menstimulus agenda kepentingan.

Ramadhan sebagai momentum

Ramadhan harus menjadi semacam tradisi kebangsaan untuk merestorasi solidaritas politik dalam keguyuban demokrasi. Sebenarnya hal yang hilang dari diskurus bernegara saat ini adalah perbincangan publik.

Di satu sisi, Perppu Ciptaker sebanarnya merupakan pertunjukan rivalitas politik antara penguasa dan warga negaranya. Sehingga suatu kebijakan dan tindakan politik tidak pernah menemukan titik pertautan karena interpretasinya dibawa pada horison kutub yang saling bersebarangan.

 

Untuk itu, Pemerintah saat ini perlu melakukan safari politik berhadapan langsung dengan rakyat.  Dengan memanfaatkan tradisi seperti buka bersama (bukber) atau pertemuan dalam ruang-ruang majelis dapat tercipta solidaritas politik dalam pembangunan demokrasi di masa depan. Yang terpenting Pemerintah bisa mengembalikan perbincangan publik yang sempat hilang.  

 
Berita Terpopuler