Pengakuan Mengejutkan Pendeta Evangelis Soal Perlakuan Ottoman Terhadap Gereja Yunani

Penguasa Ottoman tak menutup gereja Orthodox selama berkuasa di Yunani

Ilustrasi gereja. Penguasa Ottoman tak menutup gereja Orthodox selama berkuasa di Yunani
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejak fungsinya dipulihkan kembali menjadi masjid pada 24 Juli 2020 lalu —setelah 86 tahun diubah menjadi museum oleh Mustafa Kemal Ataturk—kontroversi Hagia Sophia belum kunjung surut.

Baca Juga

Di tengah beragam kontroversi itu, muncul suara lain yang sangat menarik perhatian, yang seolah menggemakan pernyataan pembesar Byzantium dari abad ke-15 silam, beberapa saat sebelum Konstantinopel dibebaskan oleh Sultan Muhammad Alfatih.

Suara lain itu datangnya bukan dari dunia Islam, tapi justru dari Yunani, negara yang pemerintah dan penduduknya merupakan yang paling kesal dengan pengembalian fungsi Aya sofya menjadi masjid.

Dan, suara itu pun bukan disampaikan orang kebanyakan, kalang an akademisi perguruan tinggi, atau politisi. Tapi, justru dari lidah Evangelos Papanikolaou, seorang pendeta Kristen Orthodox Yunani.

Berkata Evangelos Papanikolaou, "Ada yang berkata 'daripada melihat mitra Latin, lebih baik saya melihat turbannya orang Turki'. Saya tidak ingin melihat keduanya. Tapi, jika terpaksa harus memilih, saya lebih memilih Turki daripada orang Latin." Pernyataan itu antara lain dikutip kantor berita Turki, Anadolu Agency, sedangkan videonya yang berdurasi sekitar dua menit, menyebar luas di media sosial.

Sekadar infomasi, turban maupun mitra adalah penutup kepala. Turban adalah nama tutup kepala khas Turki. Sedangkan mitra adalah tutup kepala mirip mahkota yang biasa dipakai para pemimpin gereja.

Baik Gereja Katolik Latin yang berpusat di Vatican, Gereja Orthodox Timur, Gereja Anglikan, dan gereja-gereja lain di Suriah, Armenia, hingga Koptik- Mesir (Gereja Katolik Timur).

Dalam videonya yang viral, itu, Evangelos Papanikolaou tampak sedang berpidato di mimbar. Terkait Hagia Sophia, Imam Gereja Analipseos —yang terletak di kawasan Rafina, dekat ibukota Yunani, Athena— itu, berkata, "Sekarang Hagia Sophia… yang kalian ratapi keadaannya… terima kasih Tuhan…."

Pendeta berjanggut lebat itu kemudian membuka lembaran arsip, dan berkata dengan nada tinggi, "Sekarang coba katakan, sebelumnya, dalam 24 jam terakhir, berapa jumlah turis yang masuk Hagia Sophia dengan pakaian terbuka? Banyak sekali! Ada yang pakaian dalamnya terlihat, ada yang memakai rok pendek… Karena, itu sebelumnya adalah museum. Dan, dengan kurang ajarnya turis-turis itu masuk ke dalamnya."

Setelah Hagia Sophia kembali menjadi masjid, Evangelos Papanikolaou pun menandaskan, "Namun sekarang, saat masuk ke dalam (Hagia Sophia), anda harus melepaskan alas kaki. Bukankah ini penghormatan? Apakah anda akan memasukinya dengan pakaian terbuka lagi? Tidak! Anda akan memasukinya dengan pakaian yang panjang dan penutup kepala. Jangan kita lihat itu sebagai kutukan, melainkan melihatnya sebagai koreksi."

Alhasil, terhadap orang-orang yang mengatakan bersedih karena Hagia Sophia diubah dari museum menjadi masjid, Evangelos Papanikolaou justru mengatakan, "Seandainya tidak ada orang Turki yang menjaga Hagia Sophia, maka pastilah Hagia Sophia sudah runtuh saat ini. Siapa yang dari dulu merawat bangunan besar ini? Orang Turkilah yang selama ini menjaganya."

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Sejak awal khotbahnya, Evangolos Papani kolaou mengatakan, "Di mana ada orang Turki, maka tempat itu akan menjadi lebih baik. Ini memalukan, akan tetapi memang begitu adanya." Pernyataannya yang melawan arus itu, dikontraskannya dengan kondisi ketika Yunani diperintah Raja Otto I, yang justru memperlakukan Kristen Orthodox Yunani secara tidak adil. Evangelos Papanikolaou pun mengukit beberapa kasus.

Dulu, kata dia, di Pulau Kreta (pulau terbesar di Yunani, yang terletak di Laut Mediterania—red), terdapat sistem gereja yang baik. Saat Turki Usmani (Ottoman) menguasai wilayah tersebut, kata dia, orang Turki tidak pernah menutup satu pun gereja di sana, dan semua orang bebas hidup berdasarkan keyakinannya. 

 

Namun, saat wilayah tersebut direbut dari Ottoman, Raja Otto I justru banyak memerintahkan penutupan gereja, merampas peninggalannya yang berharga, dan menjualnya untuk kepentingan pemerintah.

Hal inilah yang membuat Evangelos Papa nikolaou kemudian membuat pernyataan menohok itu: "Ada yang berkata 'daripada melihat mitra Latin, lebih baik saya melihat turbannya orang Turki'. Saya tidak ingin melihat keduanya. Tapi, jika terpaksa harus memilih, saya lebih memilih Turki daripada orang Latin."

Sekadar informasi, Raja Otto I yang disebut-sebut oleh Evangelos Papanikolaou adalah raja pertama Kerajaan Yunani. Raja Otto I memerintah pada 1832–1862. Raja Otto I bukanlah orang Yunani, dan bukan pula penganut Kristen Orthodox Yunani atau Kristen Orthodox Timur. Raja Otto adalah seorang Khatolik. Lalu, mengapa Raja Otto bisa naik takhta?

Ceritanya, pada 1821 —saat itu Ottoman diperintah Sultan Mahmud II— bangkit perjuang an orang Yunani untuk memerdekakan diri dari Ottoman. Perjuangan yang berlarutlarut tersebut, kemudian menghasilkan pem berian otonomi bagi Yunani pada 1828.

Otonomi tersebut diakui oleh sejumlah negara barat yang saat itu mulai tampil sebagai kekuatan baru dalam percaturan dunia, yaitu Inggris, Prancis, dan Rusia. Namun, status otonomi Yunani di bawah Ottoman tersebut hanya bertahan dua tahun. Pada 1830, Yunani berhasil mendapatkan kemerdekaannya.

Semula, yang diperkirakan naik tahta memimpin negara baru itu adalah seorang bangsa wan Yunani bernama Ioannis Kapodistrias, yang kebetulan sudah menjadi gubernur Yunani sejak 1827.

Namun, dia terbunuh pada 1831. Pada 1832, Perjanjian London memutuskan Yunani berbentuk kerajaan. Namun, ra janya didrop dari luar. Yang menjadi raja pertama adalah Pangeran Otto Friedrich Ludwig dari Bavaria, yang kemudian bergelar Raja Otto I.

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Di bawah Raja Otto I, kondisi Yunani justru semakin tidak menentu. Gereja Orthodox Yunani dilepaskan dari Gereja Orthodox Timur yang berpusat di Istanbul. Karena, dalam tra disi Byzantium, raja merupakan bagian kepe mimpinan gereja.

Setelah dipisahkan, urusan gereja itu pun diserahkan kepada pihak Rusia, namun raja mempertahankan hak vetonya atas keputusan sinode para uskup. Namun, hal itu menimbulkan kecemasan di kalangan penduduk Yunani, karena mereka menilai seorang raja Katolik yang menjadi bagian dari kepala Gereja Orthodox, justru akan melemahkan Gereja Orthodox, apalagi ratunya (Ratu Amalia) adalah seorang Protestan.

 

Selain itu, Yunani terlilit utang dari bankbank Inggris, antara lain bank-bank milik Rotshchild, yang akhirnya berdampak pada warga Yunani. Mereka kemudian dikenakan pajak yang lebih tinggi dibanding jizyah yang mesti mereka bayarkan kepada Ottoman. Ke pemilikan tanah di Yunani juga terkonsentrasi ke tangan segelintir elite.

Hasilnya, orang miskin di Yunani makin bertambah. Berbagai ketidakpuasan itu melahirkan revolusi 1843 yang menuntut perubahan konstitusi dan kudeta 1862 yang membuat Raja Otto jatuh, digantikan Raja George   

 
Berita Terpopuler