Masyarakat Padang Besi Gelar Tradisi Malamang Menyambut Ramadhan

Malamang adalah tradisi memasak ketan dalam bambu.

Republika/Febrian Fachri
Warga Kelurahan Padang Basi, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, melaksanakan tradisi Malamang, Kamis (16/3/2023) untuk menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H. Masyarakat Padang Besi Gelar Tradisi Malamang Menyambut Ramadhan
Rep: Febrian Fachri Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Berbagai tradisi dilaksanakan masyarakat untuk menyambut bulan suci Ramadhan di Sumatra Barat. Salah satunya tradisi Malamang. Tradisi ini digelar oleh masyarakat RW 5 Kelurahan Padang Besi, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Kamis (16/3/2023).

Lamang merupakan salah satu makanan tradisional Minangkabau, yakni makanan yang terbuat beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang.

"Bahan yang kita siapkan beras ketan dan santan. Diberi garam lalu dimasukkan ke dalam buluh (bambu)," kata warga Padang Besi, Vivi Sofiani.

Hal pertama dilakukan ibu-ibu peserta Malamang ini adalah memasukkan daun pisang ke dalam bambu talang yang sudah dilubangi. Di samping itu, ada juga ibu-ibu yang merendam ketan di dalam air. Lalu menyiapkan santan yang dicampuri garam secukupnya.

Setelah itu, ketan diaduk dengan santan di dalam wadah. Setelah merata, ketan tersebut dimasukkan ke dalam bambu. Di saat ibu-ibu memasukkan ketan ke dalam bambu, ada juga beberapa orang warga yang menyiapkan tempat pembakaran. Setelah semuanya siap, bambu yang sudah diisi ketan dijejerkan di atas api yang tidak terlalu besar selama empat jam.

Baca Juga

Setelah matang, bambu tersebut dibelah dengan pisau. Lalu, isi ketan yang sudah terselimuti daun pisang dikeluarkan. Setelah itu tinggal membuat jadi potongan kecil untuk dipindahkan ke dalam piring. Lamang khas Minang pun siap disantap.

Vivi menyebut masyarakat Padang Besi terutama kalangan ibu-ibu sudah diajari cara memasak lamang dari orang tuanya sejak kecil. Dan kegiatan Malamang ini rutin dilakukan di hari-hari besar termasuk untuk menyambut Ramadhan.

Ketua RW 5 Kelurahan Padang Besi Zulfi Azwar mengatakan kegiatan Malamang ini selain untuk melaksanakan tradisi, juga sebagai ajang silaturahim sesama warga. Selama proses memasak lamang, warga saling bergotong royong sekaligus bercengkrama. Setelah lamang matang, nanti akan dibagikan kepada seluruh warga. Sehingga silaturahim antar warga terjalin dengan baik.

"Juga ajang saling bermaafan supaya kita menjalani bulan suci Ramadhan dalam keadaan bersih," ujar Zulfi.

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang Muhammad Nasir mengatakan tradisi Malamang ini mulai diperkenalkan ulama besar asal Pariaman, Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1704). Syekh Burhanuddin kerap dijamu masyarakat setiap kali dia berdakwah.

Namun, saat itu ia ragu dengan kehalalan makanan yang disuguhkan masyarakat. hal ini karena masyarakat masih suka memakan olahan daging dari hewan-hewan yang tidak boleh dimakan, seperti tikus dan ular.

Syekh Burhanuddin lalu berinisiatif mencontohkan memasak nasi dalam ruas bambu yang dilapisi daun. Karena nasi tidak tahan lama, lalu diganti dengan ketan atau beras pulut.

"Cara masak Syekh Burhanuddin tersebut lalu ditiru oleh orang-orang di sekitar surau tempat ia mengajar. Begitulah ceritanya. Itulah asal mula lamang," ujar Nasir.

Namun, lamang juga ditemukan sebagai makanan tradisional di Riau, Bengkulu, Jambi, Malaysia, Suku Dayak, dan beberapa daerah lainnya. Bagaimana pula asal usulnya, apa terkait juga dengan Syekh Burhanuddin, lain pula pasal pembahasannya.

Bagaimana lamang berubah menjadi tradisi tak banyak sumber yang bisa dirujuk. Budayawan Emha Ainun Najib (2018) mengatakan terkait asal-usul penciptaan tradisi apapun bisa ‘dibisa-bisakan’, ‘disambung-sambungkan’, dan bisa dicocokkan.

Namun, merujuk kepada perkembangan hantaran dalam acara kekerabatan, maka diduga kuat lamang menjadi salah satu bentuk perubahan yang sifatnya menambah dalam hantaran adat di Minangkabau.

 
Berita Terpopuler