Penderita Penyakit Kardiovaskular Perlu Cek Risiko Obstructive Sleep Apnea

Obstructive Sleep Apnea dapat menyebabkan saturasi oksigen turun.

www.freepik.com
Pria sedang tidur (ilustrasi). Sekitar 34 persen laki-laki usia pertengahan, yakni 45-59 tahun, didiagnosis Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau kolapsnya jalan napas saat tidur.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengidap penyakit kardiovaskular perlu menjalani pemeriksaan untuk mendeteksi Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau kolapsnya jalan napas saat tidur. Ini penting guna mencegah keparahan penyakit.

"Berdasarkan pedoman saat ini, kalau ada penyakit kardiovaskular seperti orang dengan gangguan irama, hipertensi, jantung koroner, sebaiknya OSA-nya dicek meski tidak merasa, pastikan ada OSA atau tidak," kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, M Yamin, dalam diskusi daring, Senin (13/3/2023).

Yamin menjelaskan bahwa OSA dapat menyebabkan saturasi oksigen turun sehingga tidur menjadi terganggu. Kondisi tersebut terjadi pada 40-80 persen pasien dengan hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan strok.

Yamin menyebut, sekitar 34 persen laki-laki dan 17 persen wanita usia pertengahan, yakni 45-59 tahun didiagnosis OSA. Adapun gejala OSA biasanya ditandai dengan rasa mengantuk sepanjang hari, merasa lemas dan tidak segar, mendengkur saat tidur, sering terbangun saat tidur, hingga sulit berkonsentrasi.

Namun, Yamin mengatakan tak sedikit pasien yang tidak merasakan bahwa dirinya mengalami OSA. Orang yang mengidap penyakit kardiovaskular sebaiknya tetap memiliki kewaspadaan dengan memeriksakan diri.

Baca Juga

Menurut Yamin, OSA akan memperberat komplikasi pada penyakit kardiovaskular. Dengan melakukan pemeriksaan diharapkan penyakit kardiovaskular dapat lebih mudah diatasi dan tidak menyebabkan komplikasi.

"Sekitar 80 persen hipertensi yang mandek, enggak turun-turun tekanan darahnya, itu ternyata punya gangguan tidur, jadi dengan melakukan pengobatan OSA-nya, maka pengobatan penyakit berkaitan dengan jantung akan menjadi lebih mudah," ujar Yamin yang berpraktik di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa OSA itu ada kaitannya dengan hipertensi sebagai faktor risiko, bukan penyebab. Mengobati OSA tidak berarti pengobatan hipertensinya langsung berhenti.

"Sebab faktor risiko hipertensi itu kan banyak sekali," kata Yamin.

Untuk itu, Yamin mengingatkan bahwa pengobatan OSA hendaknya dilakukan secara sinkron bersamaan dengan pengobatan dan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular.

 
Berita Terpopuler