Tragedi Kanjuruhan Renggut 135 Nyawa, Vonis 1-1,5 Tahun Penjara Terdakwa Dipertanyakan

"Artinya tidak ada keseriusan persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya."

ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Terdakwa Suko Sutrisno (kiri) dan terdakwa Abdul Haris (kanan) mengadiri sidang perkara tragedi Stadion Kanjuruhan Malang di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Pada sidang pembacaan vonis Kamis (9/3/2023), keduanya divonis 1 dan 1,5 tahun penjara. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Wilda Fizriyani, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga

Pada Kamis (9/3/2023), Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membacakan vonis terdakwa Tragedi Kanjuruhan. Hingga berita ini diturunkan, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan Security Officer Arema FC Suko Sutrisno divonis bersalah dengan hukuman masing-masing 1,5 tahun dan 1 tahun penjara.

Menurut majelis hakim, terdakwa Abdul Haris terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kelalaian hingga menyebabkan 135 korban meninggal dunia, dan 600 lebih luka-luka pada pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 silam. 

"Menjatahukan pidana kepada terdakwa 1 tahun 6 bulan. Abdul Haris terbuti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati luka dan luka sedimikian rupa" kata Hakim Ketua Achmad Sidqi saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (9/3/2023).

Haris dinilai melanggar Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP dan Pasal 360 ayat (2) KUHP juncto Pasal 103 ayat 1 juncto Pasal 52 Undang-Undang nomor 11 tahun 2022. Hakim Achmad Sidqi pun mengungkapkan sejumlah pertimbangan yang menberatkan hukuman terdakwa. Di mana Haris dinilai kurang mengantisipasi kondisi darurat yang timbul dalam sepak bola.

"Sehingga mengakibatkan banyak suporter trauma menyaksikan sepak bola khususnya di Kota Malang," ujarnya.

Sedangkan hal yang meringankan yakni karena Haris dinilai sudah meneruskan permintaan Kapolres Malang kala itu yakni AKBP Ferli Hidayat, untuk memajukan jadwal pertandingan demi alasan keamanan. Meskipun, alasan itu tidak dipenuhi karena berbenturan dengan kepentingan bisnis semata karena LIB terikat kontrak dengan Indosiar.

"Hal itu sangat disayangkan sebab LIB telah menempatkan pemain-pemain, officer, sebagai objek dan mengabaikan keselamatan mereka," kata hakim.

Hal meringankan lainnya, peristiwa itu terjadi karena dipicu turunya suporter dari tribun. Terdakwa juga disebut telah ikut berpartisipasi membantu meringankan penderitaan korban dan keluaraga korban. Selain itu, terdakwa juga belum pernah dipidana, dia juga lama mengabdi di dunia sepak bola.

Menyikapi putusan putusan tersebut, baik terdakwa maupun jaksa menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu, sebelum memutuskan banding atau tidak. Putusan hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa, di mana terdakwa sebelumnya dituntut 6 tahun 8 bulan penjara.

Untuk Suko, majelis hakim menilai terdakwa melanggar Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP dan Pasal 360 ayat (2) KUHP juncto Pasal 103 ayat 1 juncto Pasal 52 Undang-Undang nomor 11 tahun 2022.

Hakim Achmad Sidqi pun mengungkapkan sejumlah pertimbangan yang memberatkan hukuman terdakwa. Di mana Suko dinilai kurang mengantisipasi kondisi darurat yang timbul dalam sepak bola.

"Sehingga mengakibatkan banyak suporter trauma menyaksikan sepak bola khususnya di Kota Malang," ujarnya.

Menyikapi putusan putusan tersebut, baik terdakwa Suko maupun tim jaksa menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu, sebelum memutuskan banding atau tidak. Putusan hakim terhadap Suko juga lebih ringan dari tuntutan jaksa, 6 tahun 8 bulan penjara.

Putusan Pengadilan PN Surabaya yang hanya memutuskan pidana 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Ketua Panpel Arema FC, Abdul Harris mendapatkan respons dari korban tragedi Kanjuruhan melalui tim pengacara. Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan (Tatak), Imam Hidayat mengatakan, vonis lebih rendah tersebut sebenarnya sudah diprediksi sejak awal.

"Artinya tidak ada keseriusan persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya," kata Imam saat dikonfirmasi Republika, Kamis (9/3/2023).

Menurut Imam, vonis ini dapat diubah apabila jaksa mengajukan banding. Maka itu, pihaknya masih menunggu apakah jaksa akan melakukan banding atau tidak. Jika tidak melakukannya, maka ini membuktikan bahwa keadilan di Tragedi Kanjuruhan tidak pernah didapatkan oleh keluarga korban sehingga sangat disayangkan.

Berdasarkan situasi tersebut, maka Imam pun mendorong Presiden Joko Widodo segera turun tangan. Pihaknya menuntut adanya keadilan yang dapat diterima para korban Tragedi Kanjuruhan. Dia dan para korban tidak ingin usaha yang telah dilakukan untuk menuntut keadilan menjadi sia-sia.

Imam juga turut menyinggung terdakwa lain yang akan mendapatkan vonis dalam waktu dekat. Para terdakwa tersebut diketahui mendapatkan tuntutan penjara tiga tahun. Jika melihat fenomena vonis Abdul Harris, maka pihaknya khawatir para terdakwa justru akan dibebaskan.

"Maka itu, boleh usul bebaskan saja semua terdakwa di Pengadilan Negeri negeri Surabaya. Lebih baik kita fokus model laporan B tentang (pasal) 338 maupun (pasal) 340," kata dia menambahkan.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menilai, vonis tersebut secara kemanusiaan tak setimpal dengan 135 korban jiwa dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

"Kelihatanya tidak berimbang, secara kemanusiaan hukuman tersebut kurang setimpal dengan jumlah korban nyawa yang diakibatkan," ujar Dede saat dihubungi, Kamis (9/3/2023).

Kendati demikian, Komisi X menghormati keputusan pengadilan tersebut. Dalam hal ini hanya keluarga korban yang bisa meminta banding. "Tentu ini menjadi catatan penting bagi pengadilan peristiwa keolahragaan," ujar Dede.

"Tetap, semua harus bertanggung jawab dan harapannya Ketua (Umum) PSSI yang baru mengawal ini," sambungnya.

 

 

 

 

 

Kejanggalan proses persidangan Tragedi Kanjuruhan di PN Surabaya sebelum disoroti oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Padahal, vonis dari PN Surabaya diharapkan pihak keluarga korban dapat memenuhi rasa keadilan dan menjadi pembelajaran.

Temuan kejanggalan ditemukan dalam proses pemantauan sejak 20 Januari hingga 23 Februari 2023. Perwakilan LBH Malang, Daniel Siagian menjelaskan, tim menemukan beberapa fakta kejanggalan secara umum seperti dibatasinya media massa dalam melakukan siaran langsung selama proses persidangan berjalan.

Timnya menilai hal tersebut termasuk tindak pembatasan atas kebebasan pers dan hak publik dalam melakukan pemantauan persidangan proses kanjuruhan. "Padahal ketentuan acara pidana menegaskan bahwa persidangan terbuka untuk umum," kata Daniel kepada wartawan di Kota Malang, Senin (27/2/2023).

Kejanggalan kedua, yaitu dialihkannya proses peradilan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Hal ini seharusnya tidak terjadi mengingat locus wilayah hukum peristiwa berada di Kabupaten Malang.

Berikutnya, yakni diiterimanya perwira aktif anggota kepolisian (Bidkum Polda Jawa Timur) sebagai penasihat hukum tiga terdakwa kepolisian. Menurut dia, keterlibatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Kemudian juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan bertetangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang POLRI.

Daniel juga menemukan kejanggalan ketika puluhan saksi-saksi yang dihadirkan JPU dan penasihat hukum terdakwa banyak berasal dari institusi kepolisian. Tidak hanya dari jajaran Polres Kabupaten Malang tetapi juga hingga Polda Jawa Timur.

Selain itu, pihaknya juga menilai sangat minimnya keterlibatan keluarga korban, korban dan saksi mata sebagai saksi dalam persidangan. Dari puluhan saksi yang diperiksa, hanya satu keluarga korban (inisial DA) yang dihadirkan dalam persidangan.

Kejanggalan selanjutnya, yaitu sikap/perilaku hakim yang cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi dalam pembuktian. Padahal berdasarkan ketentuan Acara Pidana dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan hakim harus menguji. Bahkan, harus menggali kebenaran materiil dalam perkara yang menyebabkan meninggalnya 135 nyawa dan ratusan korban lainnya luka-luka.

Di samping itu, tim juga menemukan kejanggalan saat perilaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang cenderung pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dalam pemeriksaan saksi di persidangan. Contohnya, saat saksi yang berasal dari keluarga korban (DA), JPU hanya menanyakan hasil otopsi kedua anak (NDR dan NR) keluarga korban. JPU tidak berusaha menggali penyebab (kausalitas) dari kematian korban.

Kejanggalan lainnya, yakni tindakan JPU yang tidak mendalami untuk menanyakan dan menggali secara detail mengenai kausalitas matinya salah satu keluarga korban (DA). Ditambah lagi, pemeriksaan tersebut berlangsung tidak lebih dari 30 menit.

"Dan pertanyaan JPU hanya mengkonfirmasi soal hasil otopsi salah satu korban," ucapnya.

Selain kejanggalan secara umum, tim pemantau dari Koalisi Masyarakat Sipil juga menemukan kejanggalan lain di masing-masing keterangan para saksi dan terdakwa. Ditambah lagi, mereka juga mengkritisi tuntutan penjara tiga tahun yang diterima tiga terdakwa yang berasal dari unsur kepolisian. Tindakan ini jelas menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran HAM tidak serius diadili bahkan mengarah pada bentuk impunitas. 

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan untuk bersikap pro-aktif memeriksa dugaan pelanggaran kode etik terhadap perilaku hakim dan jaksa dalam proses persidangan tragedi Kanjuruhan. Lalu mendesak Komnas HAM untuk lebih pro-aktif untuk mendalami keterlibatan pelaku level atas dalam pertanggungjawaban komando pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Kanjuruhan. 

Tim Pemantau LBH Malang, Ahmad Khoirul mengungkapkan, terdapat beberapa keluarga korban yang sangat berharap bahwa tragedi tersebut dapat memberikan pelajaran yang berharga. Tidak hanya itu, keluarga korban juga sempat membandingkan dengan tragedi pembunuhan Brigadir J. Persidangan kasus ini dapat diakses oleh publik melalui siaran langsung.

Keluarga korban menilai tindakan demikian sangat berbeda ketika persidangan tragedi Kanjuruhan dijalankan di Surabaya. Padahal jumlah korban di peristiwa ini sangat berbeda jauh, yakni 135 orang meninggal dunia.

"Jadi mengapa tidak dapat disiarkan atau diakses terbuka oleh publik terutama keluarga korban," ucapnya.

Kritikan juga ditunjukkan mengenai lokasi persidangan yang dipindahkan ke Surabaya. Hal ini jelas menimbulkan kontra bagi keluarga mengingat tragedi Kanjuruhan terjadi di Malang. Apalagi keluarga korban menjadi tidak mengetahui jalannya persidangan dengan baik.

 

 

Enam Tersangka Tragedi Kanjuruhan - (infografis republika)

 
Berita Terpopuler