Anak SMA Masuk Sekolah Pukul 05.00, P2G Singgung Masalah Esensial Pendidikan NTT

Pelajar di dua SMA di NTT diwajibkan masuk mulai pukul 05.00 Wita.

ANTARA/Rivan Awal Lingga
Pelajar melintas di depan sekolah (Ilustrasi). Kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 Wita dinilai tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta kebijakan masuk sekolah mulai pukul 05.00 Wita di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipertimbangkan kembali. P2G menilai kebijakan Pemprov NTT itu seperti tidak melalui kajian akademis terlebih dulu,.

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, dan pedagogis di balik kebijakan tersebut. Aspek geografis juga perlu dipertimbangkan mengingat banyak di NTT yang jarak antara rumah siswa atau guru dengan sekolah cukup jauh, bahkan ada yang lebih dari lima kilometer.

Baca Juga

Bahkan, menurut Satriwan, kebijakan ini juga tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT. Sebab, hingga saat ini masih terdapat banyak masalah.

Beberapa masalah di antaranya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi sebesar 37,8 persen berdasarkan data Kemenkes pada 2021. Sementara itu, indeks pembangunan manusia (IPM) NTT 65,28, menduduki peringkat ke-32 dari 34 provinsi berdasarkan data BPS pada 2021.

Selain itu, masih banyak ruang kelas di sekolah dalam kondisi rusak. Berdasarkan data NPD Kemdikbudristek pada 2021, ada 47.832 kelas yang rusak.

Lantas, 66 persen SD belum dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum dan berakreditasi C, dan 56 persen SMK belum berakreditasi C. Di sisi lain, ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, yaitu antara Rp 200 ribu sampai Rp750 ribu per bulan.

"Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal," kata Satriwan di Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat menjelaskan kebijakan tersebut hanya berlaku untuk SMA 1 dan SMA 6. Ini menjadi langkahnya untuk menyiapkan siswa di kedua sekolah menengah atas itu agar dapat menembus perguruan tinggi negeri (PTN) ternama atau sekolah kedinasan.

 
Berita Terpopuler