Menhan Taiwan: Cina Ambil Pelajaran dari Konflik Rusia-Ukraina

Jika Beijing hendak menyerang Taipei, harus dilakukan dengan cepat dan berhasil.

AP/Wally Santana, File
FILE - Pemandangan dari puncak Gunung Bi setinggi 220 meter (670 kaki) menghadap ke bawah pada landasan tunggal bandara yang menjorok ke laut di Beigan di gugusan pulau Matsu, lepas pantai utara Taiwan, 22 Agustus 2012. Taiwan
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng mengatakan, Cina telah mengambil pelajaran dari konflik Rusia-Ukraina. Pelajaran yang dimaksud adalah, jika Beijing hendak menyerang Taipei, harus dilakukan dengan cepat dan berhasil.

Baca Juga

"Perang Rusia-Ukraina telah membawa pelajaran besar bagi mereka (militer Cina). Mereka pasti akan mencari kecepatan," kata Chiu kepada awak media di parlemen Taiwan, Jumat (24/2/2023).

Kendati demikian, dia menegaskan, kalaupun Cina merencanakan serangan kilat, mereka bakal menghadapi kesulitan. Sebab pasukan Cina harus menyeberangi Selat Taiwan jika hendak menguasai Taipei. “Mereka masih harus mengatasi ini. Itu tidak akan secepat satu atau dua pekan,” ujar Chiu.

Chiu pun menegaskan, Taiwan tidak akan gentar menghadapi militer Cina. “Saya sudah mengatakannya sebelumnya, segera setelah senjata berbunyi, kami akan terus berjuang sampai akhir. Tapi kami benar-benar tidak akan memprovokasi,” ucapnya.

Menteri Luar Negeri Cina Qin Gang  meminta negara-negara tertentu agar tidak menyamakan atau menyejajarkan posisi Taiwan dengan Ukraina. Qin menyatakan, negaranya sangat mengkhawatirkan eskalasi konflik di negara bekas Uni Soviet tersebut.

“Cina sangat khawatir dengan eskalasi konflik Ukraina dan kemungkinannya lepas kendali. Kami mendesak negara-negara tertentu untuk segera berhenti mengobarkan api, berhenti menyalahkan Cina dan berhenti menggembar-gemborkan 'Ukraina hari ini, Taiwan besok’," ujar Qin dalam sambutannya saat melancarkan “Prakarsa Keamanan Global” Presiden Cina Xi Jinping yang baru, Selasa (21/2/2023) lalu, dilaporkan Bloomberg.

Dalam beberapa hari terakhir, Cina mengintensifkan upayanya menarik perbedaan antara Taiwan dan Ukraina. Pada saat bersamaan, Beijing pun menolak klaim Amerika Serikat (AS) yang menyebut mereka mempertimbangkan untuk memasok persenjataan ke Rusia guna mendukung perangnya di Ukraina.

Saat perang di Ukraina pecah pada 24 Februari 2022 lalu, sempat timbul kekhawatiran bahwa Cina bakal mengikuti langkah Rusia terhadap Taiwan. Akhir Januari lalu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg mengatakan, Cina mengamati dengan cermat perang Rusia di Ukraina. Dia memperingatkan tentang sikap agresif Cina terhadap Taiwan.

“Jika Presiden (Rusia Vladimir) Putin menang di Ukraina, ini akan mengirimkan pesan bahwa rezim otoriter dapat mencapai tujuan mereka melalui kekerasan. Ini berbahaya. Apa yang terjadi di Eropa hari ini bisa terjadi di Asia Timur besok,” kata Stoltenberg dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Tokyo, 31 Januari lalu, dilaporkan Bloomberg.

Jepang juga memiliki kekhawatiran jika Cina memutuskan untuk menyerang Taiwan. Sebab hal itu bakal berdampak pada keamanannya sendiri. Stoltenberg mengatakan NATO dan Jepang sepakat bahwa keamanan translantik dan Indo-Pasifik sangat terkait satu sama lain. “Apa yang terjadi di kawasan ini penting bagi NATO,” ujarnya.

Cina telah berulang kali mengerahkan kapal perang dan jet tempurnya ke wilayah Taiwan. Mereka kerap melewati garis tengah Selat Taiwan sepanjang 160 kilometer yang  diketahui mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun Taiwan berulang kali menyatakan bahwa ia adalah negara merdeka dengan nama Republik Cina. Taiwan selalu menyebut bahwa Beijing tidak pernah memerintahnya dan tak berhak berbicara atas namanya. Situasi itu membuat hubungan kedua belah pihak dibekap ketegangan dan berpeluang memicu konfrontasi.

 

 
Berita Terpopuler