Dukungan Eliezer Kembali ke Jadi Polisi dan Konsekuensinya Bagi Polri Menurut Ahli

Whistleblowing diyakini akan menjadi budaya jika Eliezer kembali berkarier di Polri.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer saat menjalani sidang vonis dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Richard Eliezer penjara selama 1 tahun 6 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa penunutut umum sebelumnya yakni penjara 12 tahun.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Fauziah Mursid, Antara

Baca Juga

Desakan agar Bharada Richard Eliezer dipecat dari kepolisian kini berubah menjadi dukungan agar Eliezer bisa kembali berkarier di Korps Bhayangkara. Hal itu setelah anggota Brimob 24 tahun itu dijatuhi vonis ringan dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J,

 

“Jadi kami dari Kompolnas merekomendasikan kepada Polri agar terhadap, karena sudah terpidana, terhadap terpidana Bharada Eliezer (Richard) ini, tetap bisa dipertahankan sebagai anggota Polri. Dan tetap bisa kembali ke kepolisian setelah menjalani masa pidananya. Tetapi dengan mekanisme yang prosedural melalui sidang kode etik yang dilaksanakan oleh Propam Polri,” kata Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto, Jumat (17/2/2023) lalu.

Wahyu mengacu pada Peraturan Polri (Perpol) 7/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik (KEP dan KKE) Polri. Wahyu menjelaskan dalam Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 Perpol 7/2022 memberikan dasar hukum bagi sidang KKEP untuk menghasilkan keputusan non-PTDH (tidak dipecat) terhadap Richard.

Pasal 107 aturan internal kepolisian itu mengatur soal dua jenis sanksi terhadap anggota kepolisian, yang melakukan pelanggaran kode etik profesi. “Sanksinya itu berupa saksi etika, atau sanksi administratif,” terang Wahyu.

Dalam hal ini, kata Wahyu, semua pihak dapat sepakat, bahwa perbuatan Richard terbukti di pengadilan melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Yang itu artinya, kata Wahyu, juga adalah pelanggaran terhadap kode etik sebagai anggota kepolisian sebagai pelaku pelanggaran tindakan tercela. 

Pasal 108 huruf a, menerangkan tentang sanksi etika tersebut meliputi perbuatan yang dilakukan dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Dalam huruf b, sanksi etika bagi pelanggar diwajibkan meminta maaf tertulis di hadapan mahkamah etik (KKEP), dan juga permintaan maaf kepada Kapolri sebagai pemimpin tertinggi di kepolisian.

Pada huruf c, dijelaskan soal kewajiban pelanggara etika mewajibkan anggota kepolisian itu menjalani masa rehabilitasi, pembinaan mental, dan penguatan profesinya sebagai anggota Polri selama 1 bulan. Pasal selanjutnya, menyangkut soal lima jenis sanksi adiminstratatif terhadap anggota Polri yang melanggar etika profesinya.

Pasal 109 ayat (1) huruf a, sanksi adminstratif tersebut dalam bentuk mutasi demosi selama 1 tahun. Pada huruf b, menghukum pelanggar dengan penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun, atau paling lama 3 tahun.

Huruf c, menghukum pelanggar dengan penundaan pendidikan paling singkat 1 tahun, dan paling lama 3 tahun. Huruf d, dengan menghukum pelanggar ditempatkan khusus selama 30 hari kerja. Dan terakhir pada huruf e, hukuman administratif berupa pemecatan atau sanksi PTDH.

“Dalam kasus Richard ini, dapat dipertahankan sebagai anggota Polri dengan tidak memberikan sanksi administratif berupa PTDH, atau pemecatan. Kita (Kompolnas) merekomendasikan penerapan Pasal 109 itu hanya pada huruf a atau b (mutasi-demosi dan penundaan kenaikan pangkat terhadap Richard),” ujar Wahyu.

Terkait sanksi ini, sebetulnya Richard, pun sudah menjalani. Sejak ditetapkan tersangka pada Juli 2022 lalu, Kapolri pada 22 Agustus 2022 memutasikan Richard dari satuan Brimob ke Divisi Yanma Mabes Polri. 

 

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai keputusan Bharada Richard Eliezer tetap menjadi anggota kepolisian sepenuhnya kewenangan Kapolri. Namun, keputusan ini harus melalui sidang Komisi Kode Etik Polri.

 

"Karena Eliezer diputus 1 tahun 6 bulan berada di bawah 4 tahun, maka bagi Eliezer bisa untuk dipertimbangkan untuk dipekerjakan kembali," ujar Sugeng melalui pesan singkatnya, Jumat (17/2/2023).

Sugeng mengatakan, meski Eliezer melakukan pelanggaran terbukti ikut dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, tetapi kejujurannya menguak kasus tersebut. Karena itu juga, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutusnya jauh di bawah tuntutan jaksa.

"Jadi jangan diberhentikan tidak dengan hormat. Mungkin bisa diberikan sanksi demosi saja kemudian setelah menjalani sanksi dia bisa dikembalikan kepada dinasnya kembali," ujarnya.

 

 

 

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, kembalinya Bharada Richard Eliezer menjadi anggota Polri bisa menjadi pemantik budaya whistleblowing di institusi kepolisian. Sehingga ia mempertanyakan apakah polisi siap dengan budaya baru tersebut.

"Artinya, apakah Polri nyaman menerima seorang justice collaborator alias whistleblower?" kata Reza dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (20/2/2023).

Menurut Reza, Richard Eliezer layak untuk melanjutkan karier di kepolisian. "Namun, apakah Polri siap untuk menerima Eliezer kembali, hal ini yang menjadi pertanyaan pentingnya," ujar Reza.

Reza menerangkan, dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Brigadir J, kata dia, Eliezer bukanlah personel dengan pangkat rendah yang bisa didikte untuk menyembunyikan penyimpangan yang dilakukan oleh senior, bahkan oleh seorang jenderal sekalipun. Menurut Reza, tindakan Eliezer itu bisa dipandang berpotensi mengganggu jiwa korsa Polri.

Peneliti ASA Indonesia Institute itu menjelaskan, peran Eliezer sebagai justice collaborator sebangun dengan whistleblower. Perannya menunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang.

"Dengan mentalitas seperti itu, Eliezer layak dipandang sebagai aset. Bukan sebagai musuh, lalu, yang menjadi permasalahan justru pada Polri, seberapa siap untuk menerima Eliezer kembali," ujar Reza.

Jawaban dari permasalahan ini, kata Reza, tergantung pada dua hal. Yakni, apakah Polri mempunyai sistem pengembangan karier bagi personel dengan karakter seperti Eliezer. 

"Artinya, profesionalisme Eliezer harus terus dikembangkan," katanya.

Akan tetapi, kata Reza, status Eliezer pernah divonis bersalah terkait Pasal 340 KUHP. Meski hukumannya ringan 1 tahun dan 6 bulan, tapi hukuman itu dijatuhkan terkait pembunuhan berencana.

"Itu sangat serius," paparnya.

Reza mengatakan Polri mempunyai kepentingan besar terhadap anggotanya yang pernah melakukan tindak pidana untuk memastikan Eliezer tidak menjadi residivis (mengulangi perbuatan pidana), baik residivisme atas perbuatan yang sama maupun residivisme terkait tindakan lain.

"Jadi, di samping pengembangan profesionalisme, Polri juga harus melakukan risk assessment dan rehabilitasi terhadap Eliezer," kata dia.

Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, Divisi Propam Polri, sudah menyiapkan komposisi majelis etik dalam sidang Komisi Kode Etik Polri tersebut. Irjen Dedi belum bersedia mengumumkan siapa saja komposisi pengadil dalam sidang etik itu nantinya.

Dedi menambahkan, hasil sidang KKEP terhadap Richard itu nantinya yang akan memutuskan, apakah anggota Brimob 24 tahun tersebut, tetap boleh berkarier di kepolisian, atau diberhentikan. Dedi tak mau berspekulasi tentang apa yang belum dilakukan dan yang belum dihasilkan dari sidang KKEP terhadap Richard.

"Kita jangan mendahului apa yang belum terjadi. Nanti kita lihat saja hasilnya seperti apa,” ujar Dedi.

 

 

Masyarakat Nilai Sambo Pantas Dihukum Mati - (infografis republika)

 

 
Berita Terpopuler