Sudah tak Dilindungi Hak Cipta, Winnie the Pooh Bebas Dipakai, Ada yang Bikin Slasher

Winnie the Pooh sudah menjadi domain publik sejak 1 Januari 2022.

ITN Studios
Film Winnie the Pooh: Blood and Honey. Sineas Rhys Waterfield memanfaatkan karakter Winnie the Pooh yang sudah tidak dilindungi hak cipta dengan mengkreasikannya menjadi film bergenre slasher.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karakter Winnie the Pooh dan beberapa temannya sudah menjadi domain publik sejak 1 Januari 2022. Pasalnya, hak cipta yang dipegang penulis dan ilustrator buku Winnie-the-Pooh (1926), yakni AA Milne dan EH Shepard, sudah kedaluwarsa.

Itu artinya, tokoh Pooh, Piglet, Kanga, Roo, Owl, Eeyore, dan Christopher Robin dalam cerita bisa dipakai siapa saja dengan leluasa. Sineas Rhys Waterfield segera memanfaatkan kondisi tersebut untuk menggarap film independen terbarunya.

Waterfield merilis Winnie the Pooh: Blood and Honey, yang kini sudah bisa ditonton di bioskop sejumlah negara. Di film itu, deretan tokoh menggemaskan di Hundred Acre Wood menjadi sosok seram, sebab Blood and Honey adalah film horor.

Sinema mengusung genre slasher dan berlabel "Restricted", alias diperuntukkan bagi penonton 17 tahun ke atas. Pooh dan Piglet dikisahkan menjadi pembunuh yang haus darah, gara-gara Christopher Robin mengabaikan mereka untuk masuk perguruan tinggi.

Bagaimanapun, minat terhadap film beranggaran rendah itu cukup besar. Dibuat dengan anggaran kurang dari 100 ribu dolar AS (Rp 1,5 miliar), Winnie the Pooh: Blood and Honey sudah menghasilkan satu juta dolar AS (sekitar Rp 15,17 miliar) di Meksiko.

Baca Juga

Pendapatan itu terus bertambah, karena film tayang di beberapa wilayah internasional. Film mendapat sekitar 1.500 layar bioskop di Amerika Utara, jumlah luar biasa untuk karya independen dengan dana rendah.

Bagi Waterfield, itu sudah jauh melampaui harapan. Semula, dia hanya ingin merilis filmnya di beberapa bioskop kecil.

"Ini meledak jauh melampaui ekspektasi, ke skala yang benar-benar gila," ujarnya, dikutip dari laman AP, Kamis (16/2/2023).

Ketika tahun lalu Waterfield mengetahui Pooh memasuki domain publik, dia langsung bersemangat dan merencanakan karyanya. Meskipun begitu, beberapa elemen dari Pooh masih terikat hak atas kekayaan intelektual, seperti kemeja merahnya, sehingga elemen itu tak bisa dipakai bebas.

Sementara, salah satu kawan Pooh, Tigger, baru memulai debutnya di buku The House at Pooh Corner rilisan 1928. Artinya, karakter Tigger belum masuk domain publik hingga 2024.

Dalam 10 tahun ke depan, beberapa karakter paling ikonik dalam budaya pop, termasuk Bugs Bunny, Batman, Superman, dan versi asli Mickey Mouse dari "Steamboat Willie", akan menjadi domain publik.

Waterfield yakin akan muncul banyak versi baru dari deretan karakter itu, termasuk beberapa film "liar". Tapi yang pasti, tidak semua orang terkesan dan senang dengan gagasan menghadirkan versi lain dari karakter yang sudah ada.

Sejak mengumumkan filmnya, Waterfield sering mendapat pesan yang menyebut dirinya jahat, ancaman dipolisikan, juga beberapa ancaman pembunuhan. Orang-orang berpikir keputusan Waterfield membuat versi alternatif dari Pooh menghancurkan memori mereka.

"Ketika saya mendapat klaim bahwa saya merusak masa kecil banyak orang, saya benar-benar bingung, saya mengabaikannya dan terus membuat lebih banyak lagi," tutur Waterfield.

Waterfield sudah merencanakan film-film lain dengan Peter Pan, Bambi, dan deretan tokoh yang menjadi domain publik. Profesor hukum Jennifer Jenkins mengaku kehadiran Winnie the Pooh: Blood and Honey cukup membuat keriuhan dan membuat dirinya banyak dimintai pendapat. Direktur Duke's Center for the Study of Public Domain itu menananggapinya dengan netral.

Jenkins cenderung percaya pada manfaat jangka panjang dari domain publik, terkait kebebasan berkarya dan berpendapat. Dia menyadari beberapa penggunaan materi domain publik akan diterima oleh beberapa orang dan ditentang oleh sebagian lainnya. Namun, konten baru yang hadir tidak secara seragam melemahkan nilai karya aslinya.

Jenkins menyoroti bahwa sebagian besar film-film sukses Disney dibangun di atas domain publik. Sebut saja Beauty and the Beast yang berasal dari dongeng versi Jeanne-Marie Leprince de Beaumont terbitan 1756. Begitu juga Sleeping Beauty dari dongeng Charles Perrault tahun 1697.

Aladdin pun merupakan pemaknaan ulang dari kumpulan cerita rakyat The Book of One Thousand and One Nights. Bagi Jenkins, Winnie the Pooh: Blood and Honey mungkin bukan contoh paling mulia dari efek domain publik, tetapi itu adalah bagian dari proses perkembangan dan pertumbuhan kreativitas.

"Fakta bahwa beberapa orang mungkin terganggu atau muak dengan penggunaan kembali beberapa karakter dari Winnie the Pooh ini tidak mengurangi nilai domain publik. Waktu yang akan memberi tahu apakah film seperti ini dihargai di pasar dan memiliki daya tarik yang bertahan lama," ucap Jenkins.

 
Berita Terpopuler