Gempa Menambah Penderitaan Perang Bagi Perempuan Suriah

Selama konflik, perempuan Suriah telah kehabisan strategi untuk bertahan hidup.

AP Photo/Ghaith Alsayed
Para pelayat mengubur anggota keluarga yang meninggal dalam gempa dahsyat yang mengguncang Suriah dan Turki di sebuah pemakaman di kota Jinderis, provinsi Aleppo, Suriah, Selasa (7/2/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, ATAREB -- Ayesha dan cucu perempuannya yang masih balita berjalan kaki selama 15 menit dari tenda penampungan ke kamar mandi terdekat. Sembari menggunakan selendang wol tebal untuk melawan hawa dingin, Ayesha harus menempuh jarak yang lumayan jauh untuk mengakses kamar mandi.

Baca Juga

Tujuh hari setelah gempa meratakan bangunan di Kota Atareb, Suriah barat laut, Ayesha tidak memiliki akses air, listrik, atau pemanas untuk dirinya dan 12 anggota keluarganya. Semua anggota keluarga dari perempuan berusia 43 tahun itu ditempatkan ke dalam satu tenda.

"Ketika saya melihat rumah kami, saya bertanya-tanya bagaimana ada orang yang bisa keluar hidup-hidup?. Mungkin akan lebih baik jika saya mati. Saya selamat dari bawah puing-puing itu membawa reruntuhan seluruh dunia di pundak saya," ujar Ayesha.

Kaum perempuan telah memikul tanggung jawab besar dalam menjaga keluarga yang hancur selama 12 tahun terakhir perang saudara.  Konflik dan keruntuhan ekonomi membuat jutaan orang bergantung pada bantuan internasional. Sekarang beban kesulitan warga Suriah bertambah akibat bencana gempa.

Rumah sakit dibanjiri korban gempa. Oleh karena itu, Ayesha tidak bisa mendapatkan layanan medis untuk merawat dan memantau penyakit livernya. Ayesha dan suaminya sama-sama kehilangan sumber pendapatan akibat gempa. Taksinya hancur, dan stok pakaian yang dia jual juga hancur.

Mereka tidak punya apa-apa untuk menafkahi keenam anak mereka dan lima cucu mereka, termasuk dua yang dia asuh setelah salah satu putranya terbunuh dalam perang.  Mereka harus berbagi kasur untuk tidur di tenda secara berhimpitan.

“Jika kesulitan adalah tanda cinta Tuhan, berarti Tuhan sangat mencintai rakyat Suriah,” kata Aisyah sambil berlinang air mata.  

Seperti kebanyakan wanita di komunitas konservatif ini, Ayesha merahasiakan nama belakangnya. Tenda Ayesha dan keluarganya berada di sebuah kamp untuk korban gempa di Atareb, bagian dari wilayah yang dikuasai oposisi terakhir di Suriah barat laut.

Wilayah ini telah mengalami pengeboman dan pertempuran selama bertahun-tahun. Berjalan di antara deretan rumah yang hancur di kota tersebut, sulit untuk membedakan mana yang runtuh akibat gempa dan mana rumah yang hancur akibat operasi militer yang intens di puncak pertempuran.

Perang Suriah telah memuat beban dan isolasi khusus pada wanita. Banyak pria Suriah yang terbunuh di medan perang, ditahan, cacat, atau dipaksa keluar dari negara tersebut. Oleh karena itu, menurut PBB, jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan di seluruh Suriah meningkat sekitar 80 persem menjadi lebih dari seperlima rumah tangga pada 2020.

Bahkan sebelum gempa, lebih dari 7 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh Suriah membutuhkan layanan kesehatan kritis dan dukungan terhadap kekerasan fisik dan seksual.  Perkawinan anak meningkat, dan ratusan ribu anak perempuan putus sekolah.

Menurut angka PBB, dampak langsung dari gempa menempatkan setidaknya 350.000 kehamilan di Suriah dan Turki dalam risiko. Wanita di barat laut yang dikuasai oposisi juga sangat rentan. 

Sebagian besar dari 4 juta penduduk di wilayah itu melarikan diri setelah mengungsi dari daerah lain di Suriah.  Perawatan kesehatan sudah sangat terbatas dan bergantung pada bantuan asing. Sekarang, layanan medis non-darurat telah dihentikan untuk menangani gempa.

“Kami dapat merawat perempuan setelah trauma atau setelah melahirkan, tetapi mereka harus kembali ke lingkungan yang aman dengan tempat tinggal, nutrisi, dan air bersih yang minim.  Sayangnya, ini umumnya kurang (memadai) di wilayah barat laut (Suriah),” kata ketua Masyarakat Medis Amerika Suriah, Basel Termanini, yang memiliki puluhan fasilitas medis di barat laut.

Sepanjang perang, Ayesha dan keluarganya berulang kali melarikan diri dari rumah mereka di Atareb ke daerah yang lebih aman. Mereka akan tinggal selama berbulan-bulan di pengasingan sampai mereka dapat kembali ke rumah.

Salah satu putra Ayesha terbunuh pada 2019. Ayesha kemudian merawat kedua anak dari putranya yang tewas itu. Ayesha mengatakan, selama 12 tahun perang, dia tidak pernah merasakan teror yang mengerikan seperti ketika gempa berkekuatan 7,8 skala ritcher melanda Suriah dan Turki pada 6 Februari.

"Dalam 12 tahun perang, kami tidak pernah merasakan teror dan rasa sakit seperti malam itu akibat gempa," ujar Ayesha.

Ketika gempa melanda, Ayesha dan keluarganya berhasil keluar dari gedungnya karena sebagian dari bangunan itu runtuh.  Mereka berdiri di tengah hujan yang dingin dan deras, sambil memandangi kehancuran dengan rasa tak percaya.

Bangunan di sebelahnya benar-benar rata dengan tanah, sehingga menewaskan banyak orang di dalamnya termasuk seorang wanita yang baru saja kelahiran bayinya, bersama tujuh anaknya yang lain. Bahkan ibu dari wanita itu baru saja tiba beberapa jam sebelumnya.

Bangunan itu mati sekarang terletak di kuburan massal di ujung tanah pertanian. Pemilik kavling menyumbangkan tanah karena lahan pemakaman telah dipenuhi oleh korban gempa.

 

 

 

Di wilayah yang dikuasai oposisi, 90 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan. Tidak ada pekerjaan untuk laki-laki, dan banyak laki-laki yang cacat dalam perang, katanya.  Beberapa wanita menemukan pekerjaan dalam pelayanan masyarakat.

 

Ada juga perempuan yang mengerjakan kerajinan rumah tangga seperti membuat sabun atau menjahit baju. Selain itu, terdapat ratusan sukarelawan pertahanan sipil wanita. Banyak di antaranya berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam misi penyelamatan dan pencarian.

Namun dalam komunitas yang sebagian besar konservatif, yang didominasi oleh kelompok yang pernah berafiliasi dengan Alqaeda, pekerjaan untuk perempuan tidak mudah didapat. Halima, seorang ibu dua anak berusia 30 tahun, kehilangan suaminya di masa-masa awal perang. 

Selama bertahun-tahun, dia telah pindah di antara tempat penampungan bagi para pengungsi di barat laut untuk mencari keranjang makanan sumbangan. Gempa menyebabkan retakan di tempat dia tinggal saat ini dan dia takut untuk tinggal di sana. Tetapi dia tidak punya tempat lain untuk pergi.

“Saya berdoa untuk rahmat Tuhan.  Mungkin seseorang bisa menjaga anak-anak saya,” kata Halima pada Ahad (12/2/2023) ketika dia mengambil pakaian yang disumbangkan di gudang Bulan Sabit Merah Turki.

Sentimen telah terbangun selama beberapa waktu. Bantuan kemanusiaan ke Suriah termasuk yang terbaik yang didanai oleh para donor. Tetapi kesenjangan antara pendanaan dan kebutuhan telah meningkat.

Seruan PBB untuk tanggap darurat, tidak terpenuhi sekitar lebih dari 50 persen. Pada 2021, sektor kesehatan di Suriah barat laut kekurangan dana sebesar 60 persen, atau hanya terpenuhi 6,4 juta dolar AS dari total kebutuhan 23,3 juta dolar AS.

Selama bertahun-tahun konflik, perempuan Suriah telah kehabisan strategi untuk bertahan hidup. Bencana alam adalah hal terakhir yang mereka persiapkan.

“Kami lelah. Selama 12 tahun, kami tidak tidur semalaman karena takut terhadal pengeboman, serangan udara, atau pemindahan.  Sekarang kami memiliki perpindahan abadi. Kita hidup dalam tragedi dari semua tragedi," ujar Ayesha.

Saat gempa terjadi, rumah sakit tidak hanya rusak akibat gempa tetapi juga kewalahan dengan korban luka dan korban jiwa, dan persediaan peralatan darurat yang penting hampir habis.  Rumah sakit bersalin dibanjiri persalinan dini dan komplikasi kehamilan.

“Para ibu masih hidup di jalanan. Kami tidak memiliki cukup inkubator untuk pengiriman awal.  Situasinya jauh dari stabil," ujar Direktur rumah sakit bersalin di Atareb, Ikram Haboush.

 
Berita Terpopuler