Pembakaran Alquran, Rasmus Paludan, dan Cacat Liberalisme

Ada persmasalahan serius soal kebebasan dalam demokrasi liberal barat

usanews.net
Ramsus Paludan, anti-Muslim Swedia.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Puji Rianto MA, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

Pembakaran Alquran yang dilakukan oleh politisi sayap kanan, Rasmus Paludan, di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm Swedia yang kemudian dilanjutkan di Denmark telah menyulut kemarahan publik global. Bahkan, pembakaran itu telah menyulut krisis politik antara Turki dan Swedia yang sedang mengajukan diri untuk menjadi anggota NATO. Celakanya, Rasmus Paludan justru mengancam akan terus melakukan pembakaran Alquran hingga Swedia diterima sebagai anggota NATO.

Rasmus Paludan sepertinya mengundurkan niatnya untuk terus membakar Alquran setelah menerima kecaman publik di hampir seluruh belahan dunia. Polisi Swedia sendiri mengizinkan aksi Rasmus Paludan karena dianggap tidak melanggar hukum dan merupakan bentuk kebebasan berekspresi seperti yang diberoitakab Republka sebagai tindakan yang sangat kurang ajar. (https://www.republika.co.id/berita/roxm4u335/kutuk-aksi-bakar-alquran-pm-swedia-tindakan-yang-sangat-kurang-ajar). 

Sebelumnya, dengan alasan kebebasan berekspresi, Jyllands-Posten yang merupakan salah satu surat kabar terbesar di Denmark menerbitkan 12 kartun satire mengenai sosok Nabi Muhammad pada September 2005. Kartun ini mengalami beberapa kali cetak ulang, dan yang paling belakangan dilakukan oleh majalah mingguan satire asal Perancis, Charlie Hebdo. Pembuat karikatur itu, Kurt Westergaard, juga mengemukakan bahwa kartun itu dibuat sebagai suatu bentuk kebebasan berekspresi. 

Kebebasan berekspresi telah menjadi jantung bagi demokrasi liberal Barat. Meskipun demikian, dengan mengacu pada pengalaman Rasmus Paludan ataupun Kurt Westergaard, ada masalah yang layak didiskusikan mengenai model demokrasi liberal Barat ini. Setidaknya, kasus ini menunjukkan kelemahan mendasar demokrasi liberal Barat yang terlampau menekankan pada kebebasan individu, tetapi abai menekankan pada kewajiban (etis) atas diberlakukannya kebebasan itu. 

 

 

 

 

Tika Kebebasan di Barat

Jika kita membaca beberapa literatur Barat yang berbicara mengenai kebebasan tampak sekali dominannya gagasan kebebasan dibandingkan dengan kewajiban. John Stuart Mill, misalnya, dalam Perihal Kebebasan, menekankan pentingnya kebebasan individu dan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan itu. Tidak ada kewajiban tanpa kebebasan karena kewajiban adalah konsekuensi atas kebebasan.

Bagi John Stuart Mill, kewajiban untuk melindungi kebebasan harus dilakukan baik oleh negara maupun individu. Mill mengemukakan bahwa suara mayoritas tidak berhak untuk membungkam suara minoritas. Begitu juga, jika individu mempunyai kekuasaan maka Ia tidak boleh menggunakan kekuasaannya itu untuk membungkam suara mayoritas. 

Negara-negara Barat seperti ditunjukkan oleh Swedia dan Denmark telah melaksanakan gagasan Mill tersebut dengan baik. Namun, implementasi atas kebijakan itu ketika dikerjakan oleh individu seperti Rasmus Paludan dan Kurt Westergaard menimbulkan masalah serius bukan hanya di tingkat negara bangsa, tetapi juga global. Oleh karena itu, tampaknya, kita harus mulai membincangkan pentingnya mengharmonisasikan kebebasan dengan kewajiban atau setidak-tidaknya menekankan etika dalam kebebasan. 

 

 

 

 

Kebebasan  Ramsus Paludan

Kebebasan adalah penting dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kebebasan lekat dalam kodrat manusia. Tidak ada satupun tindakan yang dapat dituntut tanggung jawabnya kecuali bahwa tindakan itu merupakan tindakan bebas. Islam juga menekankan hal ini.

Menurut Hannah Arendt, kebebasan itu dapat dipahami dalam dua pengertian, yakni bebas dari dan bentuk untuk. Bebas dari berarti bahwa tindakan-tindakan yang dikerjakan subjek tidak mendapatkan penghalang dari pihak lain. Sebaliknya, bebas untuk berarti bahwa subjek secara otonom dapat melakukan tindakan yang dikehendakinya. 

Rasmus Paludan dapat melakukan tindakannya, dalam hal ini membakar Alquran, karena memenuhi kedua syarat kebebasan di atas, yakni 'bebas dari dan bebas untuk'. Baik pemerintahan Swedia maupun Denmark mengizinkan Rasmus Paludan membakar Alquran karena tindakan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan tidak melanggar hukum. Rasmus Paludan itu sendiri juga mempunyai kebebasan untuk bertindak.

Namun, kebebasan Rasmus Paludan pada akhirnya melukai umat Islam. Ini berarti bahwa konsekuensi atas kebebasan itu tampaknya tidak dipikirkan. Dalam kasus ini, kita dapat menyatakan bahwa kebebasan ala Rasmus Paludan adalah “kebebasan berdimensi tunggal”. Kebebasan hanya dipahami dan diimplementasikan untuk kepentingannya sendiri, dan bukan demi kemaslatan bersama.

Padahal, kebebasan dijamin dalam suatu konstitusi untuk menghindari totalitarianisme. Sejarah menunjukkan bagaimana wajah politik ini menindas dan menghancurkan kemanusiaan. Di sisi lain, kebebasan politik demokrasi dijamin untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dengan menjamin kebebasan pers (press freedom) yang berakar pada kebebasan manusia, dimungkinkan fungsi pengawasan media (watchdog). Dengan begitu, penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Maka, kebebasan benar-benar menjadi masalah ketika kebebasan itu semata menjamin kebebasan individu, lepas dari konsekuensi sosialnya.

 

    

 

 

Kebebasan dalam Islam

Dalam Islam, secara hakikat, kebebasan tidak pernah mutlak seberapapun kebebasan itu diberikan kepada subjek. Alquran dan Sunnah Nabi menjadi koridor bagi kebebasan. Seseorang yang memeluk ajaran Islam, dalam perspektif ini, mestinya senantiasa mempertimbangkan tindakannya dalam dua hukum dan ajaran tersebut. 

Namun, dalam masyarakat di mana agama tidak menjadi kaidah utama, perlu dipikirkan secara lebih mendasar etika kebebasan. Tanpa itu, kebebasan mungkin akan menimbulkan korban pihak lain, seperti kasus Rasmus Paludan. 

 

 

 
Berita Terpopuler