PLN Kurangi Biaya Oversupply Rp 40 Triliun

PLN terikat kontrak Take or Pay (TOP) untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit.

ANTARA/Kornelis Kaha
Sejumlah petugas PLN memindahkan jaringan kabel dari tiang listrik yang lama ke tiang yang baru di Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT, Selasa (2/8/2022). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya PLN melakukan perawatan jaringan listrik mencegah terjadinya kerusakan yang berujung pada pemadaman bergilir di kota itu.
Rep: Intan Pratiwi Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakui sedang mengalami kelebihan pasokan daya atau oversupply. Dengan kondisi ini, PLN tetap harus menanggung biaya kontrak penyedia listrik. Namun, di tahun 2022, kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo PLN melakukan berbagai cara untuk bisa mengurangi beban biaya oversupply ini.

Darmawan menjelaskan ada beberapa proyek pembangkit yang diundur secara operasional komersialnya. Beberapa kontrak dan tender juga PLN melakukan negosiasi untuk dibatalkan.

"Kami melakukan renegosiasi dengan pihak pihak terkait. Sehingga, kami berhasil mengurangi beban Take or Pay Rp 40 sekian triliun," ujar Darmawan dalam Rapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (8/2/2023).

Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memaparkan saat ini suplai listrik berlebih yang mencapai 40 persen itu setara 6 GW. Dadan menjelaskan, sejumlah upaya dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menekan tingkat oversupply yang terjadi. Salah satunya yakni melalui renegosiasi kontrak pembangkit.

Menurutnya, PLN terikat kontrak Take or Pay (TOP) untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit.

"Kita juga mencari cara supaya ini bisa meminimalisasi dampaknya. PLN misalnya berupaya memundurkan COD pembangkit," terang Dadan.


Baca Juga

 
Berita Terpopuler