Melihat Lebih Dekat Penyakit di Tubuh BRIN

Mandat itu sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur.

Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Gedung Badan Riset Inovasi dan Teknologi (BRIN)
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Mansyur Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Komisi VII DPR mengeluarkan rekomendasi pencopotan kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dinilai sah-sah saja karena mereka memang menjalankan fungsi pengawasan. Terlebih jika melihat berbagai permasalahan yang ada sejak BRIN dibentuk, mulai dari masalah pengorganisasian, keuangan, hingga riset.

"Apa yang membuat BRIN bermasalah? Ya itu, harus punya pemimpin yang punya kapabilitas baik. Menguasai manajemen organisasi, menguasai manajemen keuangan, dan menguasai manajemen riset," ungkap peneliti tata kelola dan konflik di BRIN, Poltak Partogi Nainggolan, kepada Republika, Kamis (2/2/2023).

Lebih lanjut Poltak menerangkan, seorang kepala BRIN semestinya bisa menindaklanjuti Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dengan baik. Di situ dijelaskan, BRIN pada awalnya dibentuk untuk membangun sebuah pusat riset nasional yang dapat berdaya saing global dengan sumber daya manusia (SDM) riset unggul.

Menurut dia, yang sudah terjadi saat ini adalah sebuah kesalahan. "Harus punya visi itu siapa pun yang dipilih untuk itu. Di situ kan mandatnya sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur. Siapapun yang melebur itu, itu keputusan yang salah," kata Poltak.

Dia memberikan contoh peleburan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dibangun dengan investasi tinggi oleh BJ Habibie ke dalam BRIN. Dari yang sudah bisa berjalan dengan baik hingga menghasilkan riset yang bagus kini dia sebut menjadi hancur. Hal serupa juga terjadi di berbagai proyek penelitian lain yang berjalan tidak maksimal.

"Bisa kita bandingkan satu hal saja. BPPT dulu punya Pak Habibie, orang sudah jalan, sudah bagus, hancur semua itu lihat. Juga yang lain-lainnya. Bikin drone, vaksin Merah Putih. Mana? Karena semuanya jadi setengah-setengah. Tidak ada fokus," jelas dia.

Masih terkait peleburan, Poltak mempersoalkan pembubaran badan riset yang ada di lembaga legislatif dan juga yudikatif. Poltak mengatakan, badan riset di masing-masing lembaga tersebut harus berdiri masing-masing karena punya fungsi yang berbeda untuk memenuhi unsur check and balances di setiap lembaga.

Jika tidak, akan timbul bahaya berupa semua pendapat tentang UU akan pro pemerintah. "Kalau mau berpikir efisiensi, tidak bisa main pukul rata seperti itu. Yang tidak efisien, diefisienkan. Misalnya unit-unit pemerintah yang tumpang tindih. Tapi yang punya DPR ataupun yang yudikatif, di bawah MK dan MA, itu tidak bisa. Itu harus mengikuti check and balances," jelas dia.

Poltak juga menyoroti persoalan pengelolaan dana riset yang dia nilai ngawur. Periset yang tergabung di dalam BRIN, kata dia, dipersulit ketika hendak melakukan riset dengan aturan yang dibuat sendiri.

Uang untuk keperluan riset, kata dia, tidak dapat dipegang di tangan. Sehingga mengharuskan periset untuk menggunakan kartu kredit untuk membayar keperluan riset.

Dia mencontohkan soal biaya transportasi untuk keperluan riset. Biaya menuju bandara dipotong hanya menjadi Rp 150 ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Sesampainya di lokasi riset pun dia mengalami kesulitan karena minimnya dana yang diberikan.

Poltak mengalami hal tersebut ketika hendak meneliti Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. "Waktu saya riset IKN itu. Tidak bisa sampai semua. Yang tadinya tim ada tujuh orang tinggal dua orang saja yang jalan. Padahal kita harus mewawancarai banyak pihak. Itu pun dalam sehari karena sudah tidak mungkin lagi berhari-hari. Uangnya tidak cukup," jelas dia.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu berdampak pada berantakannya metodologi yang dilakukan seorang periset. Keterbatasan yang ada membuat riset yang dilakukan memiliki data yang tidak cukup representatif. Padahal, periset di BRIN dituntut untuk mempertanggungjawabkan riset-risetnya hingga bisa terbit di jurnal internasional.

"Jurnal internasional itu kan dia lihat metodologi. Kalau survei, berapa sampelnya. Kalau kecil-kecil tidak representatif dia lihat, istilahnya kacangan atau main-main, abal-abal. Riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dia tidak paham itu," kata Poltak.

 

Kepala BRIN saat ini, dia nilai, tidak bisa membedakan riset ilmu eksakta dengan riset ilmu sosial. Jadinya, riset ilmu sosial dianggap sama dengan ilmu eksakta. Di mana, riset untuk ilmu eksakta memang tidak memakan terlalu banyak biaya karena banyak berkutat di dalam laboratorium.

Akan tetapi, kata Poltak, persoalan juga ada di dalam riset ilmu eksakta di BRIN. "Itu (riset ilmu eksakta) pun bermasalah. Lab harus mengantre. Kantor ditutup," jelas dia.

Poltak juga menyampaikan, ada kesalahan dalam struktur organisasi di BRIN, yakni kehadiran dewan pengarah. Dia menilai dewan pengarah tidak dibutuhkan oleh BRIN yang semestinya menjadi lembaga yang benar-benar independen. Apalagi, saat ini dewan pengarah berada di bawah kooptasi partai politik.

"Waktunya kepala BRIN ini juga tersita karena struktur organisasi yang ada di BRIN ini juga ada yang tidak benar. Ada dewan pengarah. Buat apa? Lembaga BRIN harus independen. Apalagi dewan pengarah ini di bawah kooptasi partai politik. Bayangkan," ungkap Poltak.

Menurut Poltak, penting untuk memperbaiki struktur organisasi di BRIN dengan meniadakan dewan pengarah. Struktur BRIN, kata dia, semestinya benar-benar terdiri dari orang yang benar-benar profesional, tidak partisan, bebas, dan independen.

Jika sudah tercampur politik, ditambah kapabilitas dan kapasitas pemimpin BRIN rendah, maka akan semakin kacau. "Tidak bisa lagi mau diberesin. Di satu sisi ditarik-tarik oleh partai politik, di sisi lain dia mau benahi tapi tidak punya kemampuan. Ini PR yang berat. Bisa dibayangkan yang terjadi apa? Kemunduran. Kalau dibiarkan kehancuran," terang dia.

 
Berita Terpopuler