Pengakuan Jokowi Terhadap Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang Dinilai tak Cukup

Pengakuan Jokowi harus dilanjutkan membawa kasus HAM berat ke pengadilan.

Dok. Setneg
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) berbicara kepada media terkait pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Dessy Suciati Saputri

Baca Juga

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hasil laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) dinilai tidak cukup pada pengakuan saja. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mendorong Presiden Jokowi agar menindaklanjuti laporan tim PPHAM dengan langkah nyata, termasuk membawa kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden ke meja hijau. 

"Pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum dan keadilan bagi korban," kata Usman kepada Republika, Kamis (12/1/2023). 

Usman menyebut pengakuan Presiden atas  pelanggaran HAM sudah lama tertunda. Alhasil, para korban dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade. 

"Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya," ujar Usman. 

Usman mengkritisi pemerintah yang hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Ia menyinggung diabaikannya pelanggaran yang dilakukan selama operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir 2004.

"Sekadar menyebut nama-nama peristiwa saja jauh dari cukup. Belum lagi kalau kita bicara tentang kekerasan seksual yang terjadi secara sistematik dalam berbagai situasi pelanggaran HAM berat masa lalu seperti 1965-1966 hingga selama daerah operasi militer selama 1989-1998," ungkap Usman. 

Usman juga memandang pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini telah menyebabkan bebasnya semua terdakwa dalam persidangan. Ia meyakini kelalaian ini merupakan penghinaan bagi korban pelanggaran HAM berat. 

"Jika Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili semua orang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu dimana pun dan, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana," tegas Usman. 

Selain itu, Usman mengingatkan mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara mencegah terulangnya pelanggaran HAM. Ia mewanti-wanti setiap kegagalan untuk menyidik atau membawa mereka yang bertanggungjawab ke muka pengadilan memperkuat keyakinan para bahwa mereka memang tidak tersentuh hukum. 

"Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan," sebut Usman. 

Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Menkopolhukam Mahfud MD memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kewenangan menjalankan penyelidikan dan penyidikan guna menyelesaikan peristiwa pelanggaran ham yang berat melalui mekanisme yudisial. Berikutnya, Komnas HAM berpandangan hak korban atas pemulihan turut berlaku bagi korban peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang telah disidangkan melalui Pengadilan HAM.

Apalagi bagi mereka yang hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas pemulihan yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014. Selanjutnya, Komnas HAM Meminta berbagai institusi, seperti TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian/Lembaga lain, serta pemerintah daerah/provinsi/kabupaten/kota untuk mendukung kebijakan pemerintah terkait tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM.

"Membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban Pelanggaran HAM yang Berat kepada Komnas HAM. Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat," ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro, Rabu (11/1/2023). 

Komnas HAM pun menginginkan agar Menkopolhukam Mahfud MD merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM. Hal ini demi pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 

"Komnas HAM mendukung dan mendorong tindak lanjut dari Laporan Tim PPHAM sebagaimana komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden," ucap Atnike. 

 

 

Tercatat ada 12 kasus pelanggaran HAM yang diputuskan oleh Komnas HAM dan diakui oleh tim PPHAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998. 

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat ini, pemerintah fokus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial.

Apalagi, pemerintah juga sudah membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM).

“Ini sekarang kita non yudisial dulu. Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi saya kira kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu,” jelas Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Yasonna mengatakan, terdapat sejumlah hal yang tidak bisa dilanjutkan dengan pro justicia. Namun, hal ini bukan berarti pemerintah tidak ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut dia, penyelesaian kasus HAM berat melalui jalur yudisial akan dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang ada.

“Ya (komitmen yudisial) itu kan nanti apa, tergantung data (dan) bukti-bukti yang ada,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga menyampaikan Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Mahfud menjelaskan, di dalam Undang-Undang disebutkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR. Sedangkan yang terjadi sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa.

“Tim ini tidak meniadakan proses yudisial,” kata Mahfud dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).

Menurut Mahfud, ada empat kasus pelanggaran HAM berat yang dibawa ke Mahkamah Agung dan dinyatakan ditolak karena tidak cukup bukti. Empat kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi setelah 2000.

“Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda dan kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi yang dinyatakan pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti,” jelas dia.

Mahfud mengatakan, berdasarkan Pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000, kasus pelanggaran HAM berat harus diproses yudisial karena tidak memiliki waktu kedaluwarsa. Karena itu pemerintah akan terus mengupayakan dan mempersilakan Komnas HAM bersama DPR untuk mencari jalan penyelesaian.

“Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian non-yudisial, bukan, yang yudisial silakan jalan,” kata Mahfud.

 

12 Pelanggaran HAM Berat Masih Stagnan - (ANTARA)

 
Berita Terpopuler