Bahasa Indonesia yang Kacau Itu, Kata Sutan Takdir Alisjahbana: Kekacauan yang Nikmat

Bahasa Indonesia yang baru tumbuh dinilai sebagai bahasa yang kacau.

network /oohya! I demi Indonesia
.
Rep: oohya! I demi Indonesia Red: Partner

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, untuk mengatasi kekacauan di dalam bahasa Indonesia (foto: priyantono oemar).

Bahasa Indonesia yang sedang bertumbuh dinilai sebagai bahasa yang kacau, tetapi kekacauan yang nikmat.

Karena tidak memiliki aturan, maka bahasa Indonesia dinilai sebagai bahasa yang kacau. Penilaian itu masih muncul pada 1940-an setelah Indonesia merdeka.

Bentuk yang kacau itu terlihat dari penulisan kata-kata dalam bahasa Indonesia berbeda-beda. Pada tahun 1930-an ada yang menulis “pembrian tahoe”, ada yang menulis “pembri tahoean”. Ada yang menulis “persoerat chabaran”, tapi ada juga yang menulis persoeratan chabar”. Ada yang menulis “roepiah”, ada pula yang menulis “roepijah”. Ada yang menulis “toewa”, ada pula yang menulis “toea”, “djoewal” “djoeal”, “toedjoe” “toedjoeh”, dan sebagainya.

Orang tidak mengenal menulis dengan huruf miring untuk kata-kata asing, seperti aturan yang berlakukan sekarang. Kitab Logat Melajoe yang disusun Ophuijsen juga tidak membahas aturan ini. Jadi, orang suka-suka menulisnya.

Oohya! Baca juga ini ya: Kata Tabrani, Tidak Mau Tahu Bahasa Indonesia Berarti Punya Telinga tetapi tidak Mendengar.

Di Pemandangan misalnya, kita mudah menemukan susunan kalimat campuran semacam yang ditulis Tabrani pada 12 Februari 1937 ini, tanpa harus memiring-miringkan penulisan kata-kata Belandanya:

Zonder mengetahui rapport dari directeur van Veerker en Waterstaat dan oorsprongkelijke adviezen dari Indische Regeering itoe, volksraad tidak dapat mempersoalkan oentoeng roeginja, baik boeroeknja fusie antara “Banka” dan Billiton” itoe dengan sempoerna.

Bang Bedjat, di rubrik “Podjok”-nya...


Bang Bedjat, di rubrik “Podjok”-nya membahas bahasa Indonesia yang gado-gado itu. Seperti yang ia tulis di Pemandangan, 23 Maret 1940:

Zeg, jij soedah nonton. Nanti eten bij ons adje deh.

Djawabnja: Olreeet.

Oohya! Baca juga ini ya: Bukan Hanya Muh Yamin. Agus Aalim, Adinegoro, dan Parada Harahap pun Pernah Menolak Bahasa Indonesia.

Ketika Bang Bedjat menampilkan contoh lain, ia menyampaikannya dengan bahasa gado-gado juga:

Ada lagi segolongan jang mishandelen bahasa kita begini: Kowe toch soedah taoe, godverdomme, maar . Kowe bandel! ..ensepoer2.

Ia juga menyebut contoh lucu yang dilakukan orang Jawa:

La, tadi itoe to, rak soedah saja kasi. Koq beloem diapa-apa’no. Itoe gimana to!

Kalau Bang Bedjat denger begitoe lantas djawab: Wah, la wong ik niet wat-wat koq dizoodoen-zoodoen.

Saat itu, penulisan miring lebih banyak dipakai untuk...


Saat itu, penulisan miring lebih banyak dipakai untuk penekanan kepada kata yang dimiringkan. Cara lain dalam memberikan penekanan pada kata-kata itu yaitu menuliskannya secara renggang. Jadi bukan karena asing atau tidak.

Oohya! Baca juga ini ya: Jika Tabrani tak Tersinggung, akankah Ada Bahasa Indonesia?

Pada 1975, Slametmuljana juga masih menulis di buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara tanpa harus memiring-miringkan kata-kata asingnya, seperti kata suffix di bawah ini:

Ini berarti bahwa kata ganti diri Shan mau yang dalam bahasa Indonesia menjadi kamu dan pronominal suffix mu masuk ke wilayah Indonesia melalui daerah Semenanjung Melayu. Kata ganti diri orang ketiga Palaung an yang dalam pelbagai bahasa di Austronesia menjadi n dan an, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Campa tidak dikenal. Untuk pengertian yang sama bahasa Melayu mengambil kata ie dari bahasa Khasi War.

Menghadapi penilaian bahasa Indonesi akacau, Sutan Takdir ALisjahbana membelanya di Pudjangga Baru edisi Juni 1935 dalam judul “Kekatjauan2 jang nikmat”. Di tulisan ini, Sutan Takdir bercerita bahwa sebuah majalah Pudjangga Baru dikembalikan kepadanya. Majalah itu sudah dicoret-coret:

Kalimat ini jelek bunjinja, susunan itu bukan susunan Melaju, perkataan itu perkataan surat kabar d.l.l. Dan dalam sebuah briefkaart jang kami terima ber-sama2 itu kepada kami dinasehatkan:

Dari hal prosa: sajang, bahasanja belum banjak berbeda denhan bahasa s.k. harian, meskipun umurnja –kalau2 saja tak salah lebih dari 1 tahun. Akan mentjapai madjalah literair, pikrian saja wadjib dituntut dari pada redaksinja: volkomen beheersching van de Mal. Taal en een geode stijl, serta mempunjai literaire aanleg, inzicht dan tentu sadja berekend voor eenvoudeig correctiewerk.

Sutan Takdir lalu...


Sutan Takdir lalu menjawab:

Kami ialah tunas didalam dahan jang hendak sama mengaduh mengeluh, memekik mendjerit, berseru bersorak, tergelak dan terbahak dalam irama angin jang maha dahsjat membadai, tiada ter-tahan2.

Bukalah katjau balau topan jang maha hebat itu!

Bukan kerusakan gugurnja ranting dan kerisik kebumi!

Djatuh, djatuhlah ranting!

Gugur, gugurlah kerisik!

O, tunas, alangkah nikmatnja derita berdjuang memetjah kulit.

Ter-engah2 nafas mendesak, sampai keleher djantung memukul, berdenjar kilat dikepala!

Tuan tiada tahu artinja hidup!

Tuan tiada tahu nikmat gelora jang menggunung dalam susunan bahasa seperti meluap dari djiwa Sukarno.

Tuan tiada tahu nikmat Amir Hamzah memainkan rona dilangit sendja.

Tiada, tiadalah tuan tahu betapa nikmatnja djiwa Sanoesi Pane sebagai tjamar mentjahari tanah daratan tinggi diudara, djauh ditengah Samudera.

Jang hanja tuan tahu ialah edjaan perkataan, achiran atau awalan jang “salah” tempatnja, djalan bahasa jang tidak sama dengan jang biasa tuan dengar....

Untuk sekadar itu kami tundjukkan kepada tuan sudut jang aman didalam rumah, diteragi pelita damar. Tumbuklah sirih dalam gobek, hati2, djangan tertumbuk tangan. Dan apabila pukul tudjuh mata tuan sudah mengantuk, selimut sudah tersedia.

Tidur, tidurlah kaum gila tulen bahasa! Kami tiada hasratkan tuan. Air jang memantjar, djernih gembira ditjelah gunung, akan dapat sendiri mentjahari djalannja kelaut.

Tidak ada bahasa jang katjau dimuka bumi ini, apabila ia telah melampaui zaman pantjarobanja.

Tidak, tidak, baji jang baru lahir ini tjukup sehatnja. Ia tidak hasratkan gerita jang sempit dan bedung jang rapat membelit. Biarkan pakaiannja se-lapang2nja, sebab tenaga tumbuhnja jang bergerak dari dalam sehat se-sehat2nja.

Oohya! Jangan lupa baca ini juga ya: Setelah Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia Pernah Disebut Sebagai Bahasa yang Kasar dan Kacau.

Istilah yang digunakan untuk membahas...


Istilah yang digunakan untuk membahas bahasa Indonesia pada dekade 1930-an adalah saraf dan nahu. Saraf dan nahu adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab. Sharaf berkaitan dengan ejaan dan nahwu berkaitan tata bahasa. Karena yang ada adalah aturan bahasa Melayu, maka anjurannya adalah mengembangkan bahasa Indonesia dengan aturan bahasa Melayu, yaitu Ejaan van Ophuijsen.

Dalam kaitannya dengan kekacauan bahasa Indonesia karena pengaruh bahasa lain itu, menyambut Kongres Bahasa Indonesia Pertama pada tahun 1938 Darmobroto menyarankan di Soeara Oemoem pada 27 Juni 1938 mengenai perlunya penyusunan aturan bahasa Indonesia:

Dalam pada itoe oleh karena dari perkataan-perkataan jang kita pakai dalam bahasa Indonesia itoe lebih dari 80 persen terdiri dari perkataan2 bahasa Melajoe, tidak boleh tidak dalam menjoesoen ilmoe sjarafnja nanti haroes poela kita tidak meloepakan ilmu sjaraf Melajoe.

Oohya! Jangan lupa baca ini juga ya: Yang Melatari Para Pemuda Mengganti Bahasa Belanda dengan Bahasa Indonesia di Rapat-rapat Organisasi.

Kongres Bahasa kemudian memang memutuskan memakai Ejaan van Ophuijsen sebagai aturan untuk bahasa Indonesia.

Priyantono Oemar

 
Berita Terpopuler