Inilah yang Perlu DIketahui Publik dan Jurnalis Soal Isu Hoaks Jelang Pemilu 2024

Risalah dalam melakukan komunikasi

istimewa
Diskusi bertajuk
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Aat Surya Safaat, mengatakan publik dan para jurnalis seharusnya menyadari soal isu hoaks jelang Pemilu 2024. Hal ini terutama agar mereka bisa bertindak adil dan bisa secara transparan mengetahui kenyataan yang ada sehingga tidak melakukan perbuatan pidana ketika melakukan komunikasi, melalui media berbasis internet dan media sosial.

 

"Misalnya terhadap para jurnalis (wartawan). Pada hakikatnya mereka ini mengemban amanah yang sangat berat, tapi mulia karena profesi mereka sejatinya mewarisi apa yang disebut 'tugas kenabian'. Ini dasarnya adalah firman Allah SWT : “Dan Kami tidak mengutus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 56). Serta bunyi surah Al-Kahfi itu bersesuaian dengan fungsi pers yang diakui di seluruh dunia, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan menjadi alat kontrol sosial (masyarakat),'' kata Aat Syafaat dalam diskusi bertajuk 'Menyoal Etika Komunikasi Politik Menjelang Pemilu Serentak 2024 Era Digital, di Jakarta, Jumat (6/01/2023) petang.

 

Menurut Aat, pada fungsi pertama sebagaimana disebutkan di atas, sama artinya dengan kewaiban pers menyampaikan kabar gembira. Sedangkan fungsi keempat sama dengan memberi peringatan kepada publik (masyarakat).

''Pada soal acuan, ada jenis jurnalistik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yakni apa yang dikenal dengan istilah 'Jurnalisme Profetik' atau jurnalisme nubuat/kenabian. Jurnalisme profetik ini mengacu pada Al-Quran dan Hadits, yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah,'' ujarnya.

Lebih lanjut Aat menerangkan, Shidiq berarti mengungkapkan sesuatu berdasarkan kebenaran, Amanah berarti dapat dipercaya atau akuntabel, Tabligh berarti menyampaikan kepada orang lain dengan cara mendidik, dan Fathonah berarti penuh kearifan (cerdas). Jadi, misi jurnalisme kenabian sejatinya adalah mengajak orang untuk berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan, atau dalam Islam disebut “amar ma’ruf nahi munkar”.

 

"Maka di dalam menulis berita bagi jurnalis, atau bagi publik di media sosial, misi atau tujuan mulia itu harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Dasarnya pun ada dalam Al-Qur’an yang artinya: 'Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu kabar, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu'. [Al Hujurat: 6],'' kata Aat.

 

Bahkan, menurut Aat, lingkup kerja jurnalisme profetik tak cukup hanya mengajarkan dan mengimplemntasikan sikap “welas asih”(compassion) kepada sesama makhluk. Namun, juga implementasinya, termasuk harus mencintai lingkungan 

"Ingat, bahkan dalam keadaan perang, ajaran Islam mengajarkan agar jangan menyiksa dan membunuh tahanan yang sudah menyerah, jangan membunuh pemuka agama, jangan menghancurkan tempat ibadah, jangan menebang/merusak pohon, dan jangan membunuh hewan kecuali untuk dimakan. Alhasil, meski mengajarkan welas asih jurnalis profetik tetap harus kritis, tegas, dan berupaya keras turut memberantas kejahatan, termasuk kejahatan terhadap lingkungan,'' katanya.

 

 

 

 

Pakailah etika

Melihat kenyataan tersebut, Aat berharap justru karena menyandang “tugas kenabian”, para wartawan dan media massa yang sesungguhnya punya peran profetik harus lebih berani melakukan reportase investigasi (investigative reporting). Tujuannya untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.

"Namun, di dalam melakukan investigative reporting para jurnalis harus memakai kaidah etika jurnalistik. Begitu pun juga publik harus mengedepankan etika. Kedua pihak ini un harus memahami fakta adanya 'Etika Universal di Dunia Maya'. Jadi lalu lintas komunkasi bisa berlangsung secara beradab,'' katanya lagi.

Etika universal di dunua dunia terdiri atas enam jenis. Pertama, jangan menyinggung perasaan orang lain. Kedua, jangan menyudutkan orang lain. Ketiga, jangan mengambinghitamkan. "Keempat, jangan mengadu-domba. Kelima, jangan mengompori. Keenam, jangan menulis ketika kita sedang marah."

Sedangkan untuk para jurnalis harus memahami ketentuan kode etik jurnalistik (KEJ). Setidaknya ada empat dari 11 poin KEJ yang harus benar-benar dipraktikkan jurnalis agar tidak timbul hoaks di masyarakat. Namun, di antara 11 poin KEJ, ada empat jenis aturan yang dijadikan acauan utama. Pertama, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Kedua,  wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

"Ketiga, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Keempat, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul,'' kata Aat menegaskan.

 

 

 
Berita Terpopuler