Jaminan Produk Halal di Pengesahan Perpu Ciptaker

Fatwa MUI harus tetap menjadi rujukan dalam penetapan (isbat) halal.

dok. Republika
Ilustrasi Makanan Halal
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elvina A Rahayu, MP, Praktisi Halal@Lima Pilar Halal

Perpu Cipta Kerja No 2 tahun 2022 membawa beberapa perubahan mendasar terkait jaminan produk halal. Lahirnya nomenklatur baru terkait otoritas pemberi fatwa halal, yaitu Komite Fatwa Produk Halal yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada menteri. Demi percepatan proses sertifikasi halal maka otoritas pemberi fatwa halal tidak hanya MUI, melainkan MUI provinsi, kabupaten atau kota, dan Majelis Permusyaratan Ulama (MPU) Aceh.

Komite Fatwa Produk Halal berfungsi untuk memberikan ketetapan (isbat) halal pada pelaku usaha mikro dalam skema sertifikasi pernyataan halal (self declare). Komite ini dapat mengambil alih fungsi Fatwa MUI pada skema sertifikasi halal regular, ketika Komisi Fatwa MUI tidak dapat melakukan fungsinya sesuai dengan SLA (service level agreement) yaitu maksimal tiga hari, sementara SLA bagi komite fatwa produk halal maksimal dua hari.

Unsur dari Komite Fatwa Produk Halal adalah ulama dan akademisi (untuk melakukan scientific judgment). Keberadaan Lembaga baru ini memiliki risiko beragamnya penetapan fatwa halal dan tingkat kepercayaannya. Pada poin ini sumber fatwa dan mekanismenya harus diatur agar tidak menyebabkan disparitas fatwa terhadap kasus yang sama. Sehingga ketetapan (isbat) halal dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hak konsumen Muslim terhadap jaminan produk halal.

Independensi Komite Fatwa Produk Halal juga menjadi faktor krusial. Komite ini dibentuk dan bertanggungjawab pada Kementerian Agama. Pengelolaan risiko ini menjadi suatu tantangan yang harus dibuktikan dengan mempersiapkan manajemen risiko dan mengkomunikasikan kepada semua stakeholder, terutama konsumen Muslim.

Namun anggota fatwa yang terlibat di Komite Fatwa Produk Halal seharusnya berasal dari MUI yang merupakan representasi dari ormas-ormas Islam di Indonesia. Komite ini tentunya melibatkan MUI pusat, provinsi, kabupaten atau kota, dan MPU yang berkomitmen melakukan fungsinya sesuai dengan SLA yang ditetapkan.

Fatwa MUI harus tetap menjadi rujukan dalam penetapan (isbat) halal bagi seluruh lembaga yang berperan dalam keputusan penetapan fatwa. Jika tidak, maka dapat dipastikan Perpu No. 2 tahun 2022 ini sedang memasang bom waktu chaos-nya pelaksanaan jaminan produk halal di Indonesia.

SERTIFIKAT HALAL BERLAKU SEUMUR HIDUP


Pasal 42 Perpu No. 2 tahun 2022 menyatakan SH berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi bahan dan atau Proses Produk Halal  (PPH), pembaharuan SH terjadi jika terdapat perubahan pada 2 poin tersebut. Bahan dan PPH merupakan titik kritis penetapan kehalalan yang mengacu pada Fatwa MUI.

Industri pangan tak mungkin tidak melakukan perubahan. Sebab sejatinya poin yang tidak berubah dalam bisnis termasuk bisnis pangan adalah perubahan itu sendiri.

Kata Komposisi pada perpu ini sungguh tidak dapat. Karena bisa jadi suatu produk tidak berubah dalam hal komposisi, tetapi tidak dengan sumber dan jenis bahannya yang  merupakan titik kritis dalam penetapan kehalalan. Seiring dengan semakin kompetitifnya dunia bisnis, terutama di bisnis pangan, maka efisiensi menjadi konsern pelaku usaha. Maklon atau jasa pengolahan produk yang kaitannya dengan PPH menjadi salah satu pilihan untuk pengembangan produk eksisting.

Konsekuensi dari pasal ini juga menuntut adanya post market surveillance (PMS) yang ketat serta efek jera (law enforcement) yang diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Pelaksanaan PMS ini tentunya memakan biaya yang tidak sedikit, ini mungkin yang menjadi alasan BPOM mengubah masa berlaku nomor izin edar (NIE) dari seumur hidup menjadi empat tahun. Tujuannya tentu untuk memastikan pelaku usaha tetap berjalan on the track atas aturan yang ditetapkan. Sementara jaminan produk halal dari 2 tahun menjadi 4 tahun dan kini menjadi seumur hidup.

Layanan berbasik Elektronik terintegrasi
Pelayanan Jaminan Produk Halal (JPH) dilakukan secara elektronik dan terintegrasi. Selama ini  pelayanan dilakukan melalui mekanisme online SiHalal, yang mengintegrasikan semua stakeholder JPH dalam sistem elektronik. Namun saat ini masih banyak sistem yang manual yang dilakukan.

Sebagai contoh Lembaga Pemeriksa Halal, masih harus secara manual menghubungi Lembaga fatwa untuk melakukan proses fatwa. Hasil dari fatwa dalam bentuk isbat halal kemudian disubmit kembali oleh LPH ke BPJPH untuk dikeluarkan sertifikat halalnya. Harapannya melalui system berbasis elektronik yang terintegrasi maka akan semakin mudah bagi perusahaan dan LPH untuk bersinergi memenuhi SLA yaitu 15 hari kerja.

Pelaksanaan JPH sebagaimana yang tercantum pada UU JPH No.33 tahun 2014 dengan iuran sertfikat halal melalui mekanisme regular dan self declare. Menyambut penerapan wajib halal untuk produk makanan dan minuman per 2024 dengan jumlah 64 juta pelaku bisnis yang mayoritasnya adalah mikro kecil bukanlah suatu yang mudah.

Pembenahan di hulu melalui keberadaan sumber daging yang memenuhi ASUH (Aman Sehat Utuh dan Halal) dan pengendalian yang rigid pada bahan bahan pangan impor yang masuk ke NKRI, menjadi dua poin sukses bagi pelaksanaan sistem jaminan produk halal. Mengejar target 2024 seharusnya tidak hanya dengan sekedar jumlah yang mendapat SH, tetapi bagaimana menghadirkan JPH yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kepada konsumen Muslim. Untuk itu semua maka prinsip integritas, professional,kompeten dan keterbukaan menjadi poin poin yang wajib hadir. Halal is our (konsumen Muslim) need, not our choice.

 
Berita Terpopuler