India Deteksi 11 Subvarian Omicron

Saat ini India telah mewajibkan tes negatif Covid-19 bagi para pelancong asal China.

AP/Rafiq Maqbool
Petugas kesehatan berpartisipasi dalam latihan simulasi penanganan penyebaran Covid-19 di sebuah rumah sakit di Mumbai, India, Selasa (27/12/2022). Otoritas India telah mendeteksi 11 subvarian Covid-19 dari pelancong internasional yang memasuki negara tersebut antara 24 Desember 2022 hingga 3 Januari lalu.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Otoritas India telah mendeteksi 11 subvarian Covid-19 dari pelancong internasional yang memasuki negara tersebut antara 24 Desember 2022 hingga 3 Januari lalu. Hal itu diungkap seorang sumber di Kementerian Kesehatan India kepada Reuters, Kamis (5/1/2023).

Baca Juga

Menurut sumber tersebut, dari 19.227 penumpang yang dites Covid-19 selama periode tersebut, sebanyak 124 di antaranya dinyatakan positif. Seluruh varian yang terdeteksi menginfeksi mereka merupakan sub atau turunan dari Omicron. Dua di antaranya adalah subvarian BA.5.2 dan BF.7. Kedua subvarian itu diyakini yang memicu lonjakan kasus baru Covid-19 di Cina setelah negara tersebut melonggarkan kebijakan nol-Covid.

Saat ini India telah mewajibkan tes negatif Covid-19 bagi para pelancong yang berasal dari Cina, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Selain itu, India pun melakukan tes acak terhadap sekitar dua persen dari penumpang internasional yang tiba di negara mereka.

Terkait lonjakan kasus baru di China, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengungkapkan, subvarian BA.5.2 dan BF.7 mendominasi penyebaran infeksi di negara tersebut. WHO mengatakan, data tersebut didasarkan pada analisis lebih dari 2.000 genom oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China. Menurut WHO, data itu pun sejalan dengan genom para pelancong dari China yang diserahkan ke database global oleh negara lain. Tidak ada varian baru atau mutasi signifikan yang diketahui atau dicatat dalam data sekuens yang tersedia untuk umum.

Data tersebut berasal dari pengarahan oleh para ilmuwan terkemuka Cina kepada kelompok penasihat teknis WHO pada Selasa (3/1/2023). Hal itu karena meningkatnya kekhawatiran tentang penyebaran Covid-19 yang cepat di Negeri Tirai Bambu. WHO telah meminta para ilmuwan untuk menyajikan data terperinci tentang pengurutan virus, untuk mendapatkan kejelasan yang lebih baik tentang rawat inap, kematian, dan vaksinasi.

Pada 7 Desember lalu, China melonggarkan kebijakan nol-Covid yang telah menempatkan ratusan juta warganya di bawah penguncian atau lockdown. Namun sejak saat itu, penyebaran Covid-19 di sana kembali melonjak. Sistem dan fasilitas kesehatan di sejumlah wilayah di China harus bergulat lagi dengan gelombang pasien, terutama lansia. Namun tak diketahui pasti seberapa besar penularan yang terjadi. Hal itu karena China memutuskan menyetop penerbitan data harian tentang infeksi Covid-19.

Minimnya data tersebut membuat puluhan negara, termasuk di Eropa dan Amerika, memutuskan melakukan pengujian Covid-19 terhadap para pelancong asal Cina. Beijing telah mengkritik keras tindakan tersebut. “Sejumlah negara telah mengambil pembatasan masuk yang hanya menargetkan pelancong China. Ini tidak memiliki dasar ilmiah dan beberapa praktik tidak dapat diterima," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Mao Ning, dalam pengarahan pers, Selasa. 

Dia menyatakan China siap mengambil langkah balasan terhadap negara-negara yang menerapkan pengaturan pengujian tersebut. “Kami dengan tegas menolak menggunakan tindakan Covid untuk tujuan politik dan akan mengambil tindakan yang sesuai untuk menanggapi berbagai situasi berdasarkan prinsip timbal balik,” ucapnya. 

 

 
Berita Terpopuler