Ramai-Ramai Ingatkan MK Soal Sistem Memilih Caleg untuk Pemilu 2024

MK diminta untuk menolak gugatan terhadap sistem proporsional terbuka pemilu.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Sistem proporsional dalam pemilu saat ini tengah menjadi polemik. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Nawir Arsyad Akbar, Febryan A, Antara 

Saat menyampaikan pidato sambutan dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12/2022) Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengomentari adanya gugatan terhadap UU Pemilu yang saat ini sedang berproses di MK, yang mana penggugatnya meminta sistem pemilihan caleg diubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Menurut Hasyim saat itu, ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut.

"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim kala itu.

Komentar Hasyim itu kemudian menggelinding bak bola panas yang menyulut polemik. Kalangan politisi di DPR pun bak 'kebakaran jenggot' setelah mengetahui kemungkinan terjadinya perubahan sistem pemilu jika nantinya MK mengabulkan gugatan terhadap pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu yang selama ini mengatur pelaksanaan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.

 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu. Surat suara pemilu dalam sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama calon legislatif. 

 

Dalam sistem proporsional tertutup, calon anggota legislatif ditentukan partai. Oleh partai, nama-nama calon legislatif disusun berdasarkan nomor urut. Nantinya, calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut dan jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.

Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, pemilu pada era Orde Baru, dan Pemilu 1999. Sistem pemilu kemudian berubah menjadi proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 atau setelah adanya putusan MK pada 2008.

 

Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Nama dan foto caleg akan terpampang dalam surat suara, sehingga pemilih selain mencoblos lambang partai juga bisa mencoblos caleg pilihannya bukan pilihan partai. 

Pada Selasa (3/1/2022), delapan fraksi partai politik di DPR RI mengeluarkan pernyataan sikap terkait ini. Mulai dari Fraksi Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan Fraksi PPP. Hanya Fraksi PDIP yang tidak ikut serta dalam pernyataan sikap ini.

Menurut Ketua Fraksi Golkar, Kahar Muzakkir, Indonesia termasuk yang menganut sistem pemilihan langsung. Terutama, dalam pemilihan presiden dan kepala daerah, juga pemilihan legislatif yang semua diatur dalam UUD 1945. Itu pula yang jadi dasar Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008.

"Sejak itu, rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang. Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan partai politik semata," kata Kahar, Selasa (3/1/2022).

Kahar menegaskan, itulah kemajuan dan karakteristik demokrasi. Perpaduan indah antara keharusan kedekatan rakyat dengan wakilnya dan keterlibatan institusi parpol yang tetap harus dijunjung. Rakyat terbiasa berpartisipasi dengan berdemokrasi seperti itu.

"Oleh karena itu, kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju dan jangan kita biarkan setback, kembali mundur," ujar Kahar.

Atas dasar itu, delapan fraksi di DPR menyatakan tiga sikap. Pertama, mereka akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju. Kedua, meminta MK untuk tetap konsisten dengan Putusan MK 22-24/PUU-VI/2008.

Dengan mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia. Ketiga, mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat UU, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

 

Tidak hanya dari kalangan DPR atau politisi, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Aisah Putri Budiatri pun ikut meminta agar MK konsisten atas putusan judicial review pada 2009. Di mana MK saat itu lewat putusannya, menetapkan sistem pemilu di Indonesia menggunakan proporsional terbuka.

"MK sendiri saya pikir seharusnya konsisten pada keputusannya sendiri yang menetapkan judicial review pada 2009 dan gugatan-gugatan setelahnya bahwa sistem proporsional terbuka sesuai dengan konstitusi," katanya dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2022).

Aisah meminta agar MK menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Karena, menurutnya, perubahan sistem pemilu bisa berdampak pada kericuhan di ruang publik yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan Pemilu 2024.

"Dengan demikian, menurut saya, menolak gagasan kembali ke sistem pemilu tertutup merupakan langkah tepat," kata dia.

 

 

 

Sebagai satu-satunya parpol yang tidak ikut dalam pernyataan sikap delapan fraksi di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menegaskan partainya mendukung perubahan sistem proporsional pemilu dari terbuka menjadi terututp. Namun, partai berlambang kepala banteng itu akan menaati apa pun putusan MK nantinya.

"Ketika Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan ya sikap PDI Perjuangan taat asas, kami ini taat konstitusi," ujar Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1/2022).

Menurut Hasto, fraksi PDIP juga menghargai delapan fraksi di DPR yang sudah menyatakan menolak sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Kendati demikian, sistem proporsional tertutup disebutnya memiliki kelebihan daripada proporsional terbuka.

Kelebihan pertama, kata Hasto, adalah terkait efektivitas anggaran pelaksanaan pemilu. Ia berkaca pada Pemilu 2004, yang terdiri dari pemilihan legislatif dan dua putaran pemilihan presiden telah menghabiskan anggaran sekira Rp 3,9 triliun.

Baca Juga

"Kalau dengan inflasi 10 persen saja, ditambah dengan adanya (anggaran untuk) Bawaslu, dan sebagainya itu perkiraan Rp 31 triliun, tetapi nanti KPU yang lebih punya kewenangan untuk menghitung biaya pemilu bersama pemerintah. Jadi ada penghematan," ujar Hasto.

Selain itu, Hasto melanjutkan, sistem proporsional tertutup mendorong partai politik melakukan pendidikan politik dan kaderisasi yang baik di internalnya. Bukan menjadi peserta pemilu yang hanya mengandalkan popularitas untuk menang.

"Kami ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai, kita bukan partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi sebagai partai yang menjalankan fungsi kaderisasi, pendidikan politik. Memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik dan di situlah proporsional tertutup kami dorong," ujar Hasto.

Di samping itu, ia menyebut bahwa sistem proporsional tertutup membuka berbagai kalangan seperti akademisi, purnawirawan, dan tokoh agama terpilih menjadi anggota legislatif. Karena basisnya adalah kompetensi.

"Jadi proporsional tertutup basenya adalah pemahaman mengenai fungsi-fungsi dewan, sedangkan terbuka adalah popularitas," ujar Hasto.

Selain PDIP, Muhammadiyan menjadi pihak yang juga menginginkan perubahan sistem pemilihan caleg diganti menjadi proporsional tertutup, atau proporsional terbuka terbatas. Sebab, Muhammadiyah menilai sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini mengandung sejumlah masalah. 

"Usulan sesuai muktamar ada dua. Pertama kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup. Usulan kedua adalah terbuka terbatas," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti kepada wartawan di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). 

Dalam sistem proporsional terbuka terbatas, kata Mu'ti, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun parpolnya. Caleg yang memenangkan kursi parlemen ditentukan oleh Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau harga kursi. 

BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Jika perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas satu kursi parlemen. 

Apabila tidak ada satu pun caleg yang perolehan suaranya melampaui BPP tapi suara partainya melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan lewat nomor urut caleg di partainya. "Dengan sistem proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mu'ti. 

Menurut Mu'ti, dengan mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup atau terbuka terbatas, terdapat sejumlah masalah yang dapat dibenahi. Pertama, kanibalisme politik atau saling jegal antarcalon dapat dikurangi. 

Kedua, praktik politik uang dapat dikurangi. Sebab, selama ini calon yang bisa maju adalah yang punya modal banyak. Ketiga, dapat mengurangi populisme politik atau fenomena ketika pemilih menentukan pilihan berdasarkan popularitas calon, bukan kualitas calon. 

Keempat, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, partai diharapkan bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya yang akan duduk di parlemen. "Sebab peran lembaga legislatif itu secara konstitusional sangat besar, sehingga kualitas mereka tentu akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ujarnya. 

Kelima, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, Muhammadiyah berharap akan ada penguatan institusi partai politik sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan negarawan. Mu'ti pun menipis anggapan sejumlah pihak bahwa penerapan sistem proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi.

Menurutnya, sistem pemilu beragam, dan hal yang lumrah bagi suatu negara memilih sistem tertentu. Kualitas demokrasi, lanjut dia, tidak ditentukan oleh sistem pemilu yang digunakan, melainkan oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya.

"Jadi, kami menilai demokrasi dengan ukuran-ukuran yang bersifat substantif, bukan semata-mata bersifat prosedural," kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

 

 
Berita Terpopuler