Muhammadiyah Usul Pemilu Sistem Proporsional Tertutup atau Terbuka Terbatas 

Pembenahan sistem pemilu dinilai perlu dilakukan untuk mengurangi politik uang.

Muhammad Noor Alfian
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti
Rep: Febryan. A Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah mengusulkan agar sistem pemilihan calon anggota legislatif (caleg) diganti menjadi proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas. Sebab, Muhammadiyah menilai sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini mengandung sejumlah masalah. 

Baca Juga

"Usulan sesuai muktamar ada dua. Pertama, kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup ..... Usulan kedua adalah terbuka terbatas," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada wartawan di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). 
 
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Di kertas suara hanya terpampang nama partai. Calon yang nanti akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai.
 
Sedangkan, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan. Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009. 
 
Adapun dalam sistem terbuka terbatas, kata Mu'ti, pemilih dapat mencoblos caleg atau parpolnya. Caleg yang memenangkan kursi parlemen ditentukan oleh bilangan pembagi pemilih (BPP) atau harga kursi. 
 
BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Jika perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, dia otomatis berhak atas satu kursi parlemen. 
 
Apabila tidak ada satu pun caleg yang perolehan suaranya melampaui BPP, tapi suara partainya melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan lewat nomor urut caleg di partainya. "Dengan sistem proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mu'ti. 
 
Menurut Mu'ti, dengan mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup atau terbuka terbatas, terdapat sejumlah masalah yang dapat dibenahi. Pertama, kanibalisme politik atau saling jegal antarcalon dapat dikurangi. 
 
Kedua, praktik politik uang dapat dikurangi. Sebab, selama ini calon yang bisa maju adalah yang punya banyak modal. Ketiga, dapat mengurangi populisme politik, yaitu fenomena pemilih menentukan pilihan berdasarkan popularitas calon, bukan kualitas calon. 
 

Keempat, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, partai diharapkan bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya yang akan duduk di parlemen. "Sebab peran lembaga legislatif itu secara konstitusional sangat besar, sehingga kualitas mereka tentu akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ujarnya. 
 
Kelima, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, Muhammadiyah berharap akan ada penguatan institusi partai politik sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan negarawan. 
 
Mu'ti menepis anggapan sejumlah pihak bahwa penerapan sistem proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi. Menurutnya, sistem pemilu beragam, dan hal yang lumrah bagi suatu negara memilih sistem tertentu. 
 
Kualitas demokrasi, lanjut dia, tidak ditentukan oleh sistem pemilu yang digunakan, melainkan oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya. "Jadi, kami menilai demokrasi dengan ukuran-ukuran yang bersifat substantif, bukan semata-mata bersifat prosedural," kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
 
Mu'ti menambahkan, Muhammadiyah sudah sejak tahun 2014 mengusulkan agar sistem pemilu terbuka diganti. Usulan itu disampaikan sebagai bentuk partisipasi Muhammadiyah terhadap penyelenggaraan pemilu. 
 
Pada akhirnya, kata dia, Muhammadiyah hanya bisa menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu yang akan digunakan. Untuk diketahui, MK kini sedang memproses gugatan atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pemilihan caleg menggunakan sistem proporsional terbuka. 
 
Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan kader Nasdem, meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 
 
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari sebelumnya memprediksi MK bakal mengabulkan gugatan tersebut. Hampir semua partai parlemen menentang keras penerapan sistem proporsional tertutup. Hanya PDIP yang mendukung.
 

 

 

 

 
Berita Terpopuler