'Ide Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup Pemilu Wujud Kegagalan Parpol'

KPU saat ini menunggu putusan MK soal sistem proporsional dalam pemilu.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A

Baca Juga

Sejumlah analis politik menilai dorongan agar sistem pemilihan calon anggota legislatif (caleg) dikembalikan jadi proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Lebih jauh, mereka menyebut dorongan tersebut merupakan wujud kegagalan partai politik dalam melakukan perekrutan dan pengkaderan.

Kritik dari para analis ini mengemuka seusai Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengomentari gugatan uji materi yang dilayangkan satu kader PDIP, satu kader Nasdem, dan empat warga sipil lainnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pemilihan caleg menggunakan sistem proporsional terbuka. Hasyim memprediksi MK bakal memutuskan bahwa sistem pemilihan caleg kembali ke proporsional tertutup.

Sejauh ini, hampir semua partai parlemen menentang wacana penerapan kembali sistem proporsional tertutup, kecuali PDIP. Menurut Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, partai politik yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup adalah partai yang gagal melakukan rekrutmen dan kaderisasi.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Di kertas suara hanya terpampang nama partai. Siapa calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai lewat urutan tertinggi dalam daftar.  

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Sistem proporsional terbuka ini mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.

Fernando menjelaskan, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih lebih mengenal caleg karena setiap caleg bakal berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk mendapatkan hati para pemilih. Para caleg yang saling berkompetisi itu tentu hasil rekrutmen dan kaderisasi partai.

Karena itu, kata dia, menjadi tak masuk akal ketika partai mendorong sistem proporsional tertutup dengan alasan ingin penguatan partai karena dan bisa menentukan kadernya yang mewakili di parlemen. Menurutnya, alasan itu mengindikasikan bahwa partai selama ini mengusung caleg secara asal-asalan saja.

"Berarti partai gagal melakukan perekrutan dan pengkaderan sehingga asal merekrut caleg untuk sekedar dicalonkan," kata Fernando dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/1/2023).

Seharusnya, lanjut dia, semua caleg yang diusulkan partai adalah kader yang sudah dipersiapkan secara matang untuk menjadi anggota dewan. Terkait kelemahan antara kedua sistem tersebut, Fernando menyebut sistem proporsional tertutup akan menjadi lahan bagi pejabat teras partai melakukan praktik transaksional. Sebab, pejabat teras partai punya kuasa menentukan caleg dan urutannya.

Di sisi lain, ia mengakui bahwa sistem proporsional terbuka juga mengandung masalah. Sistem ini membuka ruang politik transaksional seperti politik uang dari caleg ke pemilih.

"Justru menjadi tugas partai politik memberikan pendidikan politik dan para anggota DPR RI membuat UU yang mengatur sistem kampanye yang memperkecil peluang transaksional dengan pemilihnya," kata Fernando.

 

In Picture: KPU dan Kepolisian RI Teken Nota Kesepahaman Jelang Pemilu 2024

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) menandatangani nota kesepahaman terkait dengan sinergisitas pelaksanaan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024. - (istimewa)

 

 

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menjelaskan asal usul penerapan sistem proporsional terbuka di Tanah Air. Dia mengatakan, saat dulu sistem proporsional tertutup diterapkan, para anggota dewan hanya membebek terhadap kemauan partai. Sedangkan, partai abai dengan aspirasi rakyat.

"Mereka tidak peduli apa kata rakyat, selama punya hubungan dengan ketua partai, jatah untuk dapat dapil dengan nomor urut atas potensial tetap didapat. Kuasa partai di atas kuasa rakyat," kata Ray.

Karena itu, sejak reformasi 1998, banyak pihak yang mendorong agar sistem proporsional tertutup diganti menjadi terbuka dan berhasil diberlakukan pada Pemilu 2009. Menurut Ray, meski sistem proporsional terbuka ini masih jauh dari kata memuaskan, tapi setidaknya hubungan antara caleg dengan pemilih terus terkelola.

"Proporsional terbuka adalah jawaban atas keputusasaan publik atas kinerja dan kepedulian partai yang seolah abai terhadap amanah rakyat," ucapnya.

Sementara itu, dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI Aditya Perdana mengatakan, sistem proporsional terbuka masih merupakan pilihan sistem terbaik untuk Indonesia saat ini. Meski sistem ini mengandung masalah seperti politik berbiaya mahal dan personalisasi caleg ketimbang partai, tapi sistem terbuka mendorong pemilih untuk lebih mengenal sosok yang akan mewakili mereka di DPR.

"Caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya. Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih," kata Aditya.

Kendati begitu, Aditya menilai perdebatan soal sistem pemilihan caleg adalah suatu hal yang lumrah. Namun, dia berharap agar perubahannya dilakukan oleh DPR lewat revisi UU Pemilu, bukan oleh MK. Sebab, perubahaan lewat putusan MK bersifat parsial.

"Padahal ide perubahan sistem bersifat keseluruhan, tidak bisa parsial," ucapnya.

Terlepas dari soal cara mengubahnya, Aditya menilai perubahan sistem pemilihan sebaiknya ditunda hingga gelaran Pemilu 2024 usai. Dengan begitu, KPU dan Bawaslu bisa fokus menyelenggarakan Pemilu 2024, yang tahapannya kini sudah berjalan. "Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius pada tahun 2025," kata Aditya menyarankan.

 

 

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menilai Ketua KPU RI Asy'ari seharusnya tidak mengomentari gugatan yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilihan caleg proporsional tertutup. Sebab, KPU sebagai lembaga pelaksana isi undang-undang, bukan pembentuk undang-undang. 

"Menurut saya tidak pada tempatnya kita mengomentari seperti itu, karena kita (KPU dan Bawaslu ) fokusnya adalah menyelenggarakan pemilu," kata Ketua Bawaslu RI di kantor KPU RI kepada wartawan, Jumat (30/12/2022) pekan lalu. 

Bagja mengatakan, terkait sistem pemilihan apa yang bakal digunakan, itu sepenuhnya domain lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Biarkan DPR dan Pemerintah yang memikirkan sistem apa yang akan digunakan. KPU bisa memberikan masukan jika memang diminta oleh lembaga pembentuk undang-undang tersebut. 

Hal sama, kata dia, juga berlaku ketika pasal terkait sistem pemilihan dalam UU Pemilu digugat ke MK. Seharusnya, kata Bagja, KPU menunggu saja apa putusan MK, bukannya malah mengomentari. 

"Jadi, kita lebih baik sebagai penyelenggara pemilu tidak ikut dalam perdebatan seperti itu," ujar Bagja. 

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari sudah meluruskan pernyataannya sendiri terkait sistem pemilihan caleg yang sedang digugat di MK. Hasyim menegaskan bahwa dirinya tidak sama sekali mengarahkan agar sistem pemilihan caleg diubah menjadi proporsional tertutup. 

"Saya tidak mengatakan bahwa arahnya sistem proporsional tertutup. Bahwa sedang ada gugatan terhadap ketentuan pemilu proporsional terbuka di MK, itu kan kemungkinannya dua, yakni dikabulkan dan ditolak. Kalau dikabulkan kan arahnya tertutup. Kalau ditolak masih tetap terbuka," kata Hasyim kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (30/12/2022). 

Lantaran ada dua kemungkinan putusan MK, kata Hasyim, maka dirinya menyarankan para bakal caleg untuk menahan diri. Jangan memasang baliho dulu untuk mempromosikan diri karena bisa saja itu buang-buang energi dan sumber daya. 

"Kalau tiba-tiba, kan sangat mungkin nih keputusannya jadi tertutup, lalu pasang-pasang baliho menyebut dirinya saya calon anu, buat apa wong namanya nggak akan muncul di surat suara. Sistem proporsional tertutup yang muncul kan cuma tanda gambar," ujarnya. 

Hasyim juga merespons kritikan terhadapnya yang dilontarkan sejumlah pihak, termasuk anggota DPR. Menurutnya, pihak yang mengkritik belum membaca pernyataannya secara lengkap.

"Yang bunyi belum baca utuh statement saya," kata Hasyim.

 

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

 

 
Berita Terpopuler