Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan di Masa Lalu

PM Belanda, Mark Rutte mengatakan, sejarah sering kali menyakitkan dan memalukan.

AP/Franc Zhurda
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12/2022) meminta maaf atas nama pemerintahnya dalam perbudakan dan perdagangan manusia.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12/2022) meminta maaf atas nama pemerintahnya dalam perbudakan dan perdagangan manusia. Para aktivis menyebut pidato Rutte sangat bersejarah.

“Hari ini saya minta maaf,” kata Rutte dalam pidato berdurasi 20 menit yang disambut dengan hening oleh tamu undangan di Arsip Nasional.

Setelah pidato, Rutte mengatakan, pemerintah tidak menawarkan kompensasi kepada cucu atau cicit dari orang yang diperbudak. Sebaliknya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 200 juta euro atau 212 juta dolar AS untuk prakarsa membantu mengatasi warisan perbudakan di Belanda dan bekas jajahannya.

"Saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu secara anumerta kepada semua orang yang diperbudak di seluruh dunia, yang telah menderita akibat tindakan tersebut, kepada putri dan putra mereka, dan kepada semua keturunan mereka hingga saat ini," ujar Rutte.

Rutte menceritakan bahwa lebih dari 600 ribu pria, wanita, dan anak-anak Afrika dikirim "seperti ternak" ke Suriname oleh pedagang budak Belanda. Rutte mengatakan bahwa sejarah seringkali menyakitkan dan memalukan.

Rutte tetap menyampaikan permintaan maafnya meskipun beberapa kelompok aktivis di Belanda dan negara bekas jajahan telah mendesaknya untuk menunggu hingga 1 Juli tahun depan, atau bertepatan dengan peringatan penghapusan perbudakan 160 tahun lalu. Aktivis menganggap tahun depan merupakan peringatan 150 tahun perbudakan. Karena banyak orang yang masih diperbudak dan dipaksa untuk terus bekerja di perkebunan selama satu dekade setelah penghapusan.

Menjelang pidato, seorang pensiunan yang lahir di Suriname tetapi tinggal bertahun-tahun di Belanda, Waldo Koendjbiharie, mengatakan permintaan maaf saja tidak cukup. “Ini tentang kompensasi. Permintaan maaf adalah kata-kata dan dengan kata-kata itu Anda tidak bisa membeli apa pun,” katanya.

Direktur The Black Archives, Mitchell Esajas, mengatakan, pidato Rutte adalah momen bersejarah. Tetapi dia menyesalkan kurangnya rencana konkret pemerintah terkait reparasi.

“Reparasi bahkan tidak disebutkan. Jadi, kata-kata yang indah, tetapi tidak jelas apa langkah konkret selanjutnya," ujar Esajas.

Namun bagi sebagian komunitas kulit hitam, hari penting dihapusnya perbudakan diwarnai dengan kekecewaan. “Bagi banyak orang, ini adalah momen yang sangat indah dan bersejarah, tetapi dengan rasa pahit. Itu seharusnya menjadi momen bersejarah dengan rasa manis,” kata Esajas.

Pidato Rutte merupakan tanggapan atas laporan yang diterbitkan oleh dewan penasehat yang ditunjuk pemerintah tahun lalu. Salah satu rekomendasinya termasuk permintaan maaf dan pengakuan pemerintah bahwa perdagangan budak dan perbudakan dari abad ke-17 yang terjadi di bawah otoritas Belanda adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan tersebut mengatakan, rasisme institusional di Belanda tidak dapat dilihat secara terpisah dari perbudakan dan kolonialisme selama berabad-abad.


Para menteri Belanda pada Senin (19/12/2022) membahas masalah di Suriname dan bekas koloni yang membentuk Kerajaan Belanda yaitu Aruba, Curacao dan Sint Maarten. Termasuk tiga pulau Karibia yang secara resmi merupakan kotamadya khusus di bawah Belanda, yaitu Bonaire, Sint Eustatius dan Saba.

"Mulai 1 Juli 2023, akan menjadi tahun peringatan perbudakan di mana Belanda akan menundukkan kepala untuk merenungkan sejarah yang menyakitkan ini.  Dan bagaimana sejarah ini masih memainkan peran negatif dalam kehidupan banyak orang saat ini,” kata pernyataan pemerintah.

Di Suriname, pemilik perkebunan Belanda menghasilkan keuntungan besar melalui penggunaan tenaga kerja budak. Partai oposisi terbesar, NDP, mengutuk pemerintah Belanda karena gagal berkonsultasi secara memadai dengan keturunan budak di negara tersebut. Aktivis di negara tersebut mengatakan, keturunan para budak membutuhkan kompensasi.

"NDP menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proses pengambilan keputusan sepihak ini, dan mencatat bahwa Belanda dengan nyaman mengambil peran sebagai negara induk lagi," kata pernyataan NDP.

Pakar sejarah kolonial Belanda dan asisten profesor di Universitas Leiden, Karwan Fatah-Black, mengatakan, Belanda pertama kali terlibat dalam perdagangan budak trans-Atlantik pada akhir 1500-an dan menjadi pedagang utama pada pertengahan 1600-an.  Akhirnya, Perusahaan Hindia Barat Belanda menjadi pedagang budak trans-Atlantik terbesar.

Beberapa negara lainnya juga meminta maaf atas penjarahan yang mereka lakukan terhadap negara lain pada masa lalu. Pada 2018, Denmark meminta maaf kepada Ghana, yang dijajahnya dari pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Kemudian pada Juni, Raja Philippe dari Belgia menyatakan “penyesalan terdalam” atas pelanggaran di Kongo.

Pada 1992, Paus Yohanes Paulus II meminta maaf atas peran gereja dalam perbudakan. Selain itu, warga Amerika telah terlibat pertengkaran emosional karena merobohkan patung pemilik budak di Selatan.
 

 
Berita Terpopuler