Peneliti: Islam Prancis Racikan Macron yang Mengekang

Religiusitas Islam bergantung pada stempel persetujuan negara.

EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Presiden Prancis Emmanuel Macron menghadiri Dialog Informal Pemimpin APEC dengan Para Tamu selama APEC 2022 di Bangkok, Thailand, 18 November 2022. Thailand menjadi tuan rumah Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik atau APEC 2022, KTT kerjasama ekonomi yang terdiri dari 21 negara anggota terkemuka untuk mempromosikan ekonomi bebas perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Peneliti: Islam Prancis Racikan Macron yang Mengekang
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Peneliti Prancis di organisasi advokasi CAGE yang berbasis di London, Inggris, Rayan Freschi menyampaikan pandangannya soal Islamofobia di Prancis dalam tulisannya yang dimuat di The New Arab.

Baca Juga

Freschi menyampaikan Presiden Prancis Emmanuel Macron menuntut kepatuhan politik dengan menggambarkan visi menyeluruh yang sebetulnya diwujudkan Masjid Paris. Nilai-nilai Republik telah menjadi batas-batas yang membatasi ruang politik Islam dan Muslim Prancis beroperasi di dalamnya.

"Bagi Macron, Islam harus sesuai dengan Republik. Memang, ketidaksesuaian menunjukkan bentuk 'separatisme' yang jelas, sebuah konsep yang mulai digunakan Presiden dua tahun lalu ketika dia memperkenalkan RUU Antiseparatisme," jelas Freschi.

Ide separatisme ini menunjuk pada ranah terlarang bagi umat Islam yang dalam hal ini ialah perbedaan pendapat politik dan kebebasan beragama. Dengan kata lain, religiusitas Islam bergantung pada stempel persetujuan negara.

Menggunakan nada menggurui yang mengingatkan pada sejarah kolonial Prancis, Macron kemudian menggambarkan sistem pemerintahannya yang Islamofobia, termasuk undang-undang antiseparatisme yang diadopsi tahun lalu. Undang-undang itu telah menghasilkan efek dramatis dan pembatasan parah terhadap hak-hak fundamental Muslim dan masyarakat sipil sebagaimana dibuktikan oleh laporan CAGE yang ditulis dan diterbitkan Maret lalu.

Dibingkai dengan kebutuhan untuk melindungi keamanan nasional, Prancis menyelidiki 26.614 tempat usaha Muslim, dari bisnis hingga sekolah dan masjid. Sebanyak 836 di antaranya ditutup, sementara 55,9 juta euro disita.

 

 

Dalam pidatonya di Masjid Paris, Macron mengungkapkan langkahnya untuk mendirikan 'Islam Prancis' yang secara teologis berbeda dari Islam ortodoks dan secara politik tunduk pada Republik. Penelitian juga digerakkan secara politis untuk membangun teologi baru yang sesuai dengan nilai-nilai republik Prancis.

"Pendekatan Prancis di sini secara eksplisit ditetapkan oleh Macron, menggemakan 'kebijakan Muslim' yang dilakukan oleh rezim otoriter. Saat menganalisis sistem Islamofobia Prancis, seseorang dapat mengidentifikasi inspirasi Prancis," jelas Freschi.

Hal ini terlihat dari Uni Emirat Arab (UEA) yang baru-baru ini digambarkan oleh Macron sebagai model dan mitra yang dapat dipercaya. UEA telah mengadopsi kebijakan radikal dalam dekade terakhir untuk mengatasi apa yang mereka labeli sebagai politik Islam. UEA menggunakan segala cara yang mereka miliki untuk mencekik perbedaan pendapat politik, termasuk penyiksaan dan mendirikan sebuah lembaga yang disebut Dewan Fatwa yang dipimpin oleh orang-orang yang tunduk.

Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed dilaporkan memperjuangkan kebutuhan untuk menindak politik Islam dalam diskusi dengan Menteri Ekonomi Prancis, Bruno Le Maire. Prancis, seperti sekutunya, juga menggunakan alat apa pun yang dimilikinya dan telah merancang sebuah institusi baru yang terdiri dari elemen-elemen penurut yang tugasnya menutupi ketidakadilan agama.

Kesamaan antara kebijakan kedua negara merupakan tanda yang mengkhawatirkan bagi para pembela hak asasi manusia. Sama seperti Islamofobia Prancis dan 'Islam Prancis' yang sebagian muncul dari visi otoriter UEA, Islamofobia Eropa dapat dihidupkan kembali dan dimodelkan oleh Prancis.

 

"Untuk mencegah penganiayaan anti-Muslim ini memperluas cakupannya, adalah kewajiban kita bersama untuk mendukung Muslim Prancis dalam perjuangan sulit mereka dan menantang politik anti-Muslim Prancis," ujar Freschi.

 
Berita Terpopuler