Proyek Jangka Panjang Sepak Bola Jepang dan Mimpi Kapten Tsubasa

Ambisi timnas Jepang sekarang adalah lolos ke perempat final Piala Dunia 2022.

AP/Eugene Hoshiko
Para pemain timnas Jepang saat melakukan pemanasan sesi latihan di Piala Dunia 2022 di Al Said SC New Training Facilities 1, Doha, Qatar.
Red: Endro Yuwanto

Oleh : Endro Yuwanto/Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pada dekade 1980-an, lewat manga dan anime Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi, demam sepak bola sudah mulai diperkenalkan di Jepang. Mungkin kala itu banyak yang mencibir mimpi ketinggian Jepang lewat Captain Tsabasa soal bersaing dengan negara-negara raksasa sepak bola.

Dalam beberapa tahun lamanya, sepak bola adalah olahraga langka di Negara Sakura berbeda dengan sumo atau bisbol. Tak banyak orang yang memahami bahkan mencintai si kulit bundar. Untuk menjumpai orang Jepang yang menyukai bisbol sangatlah mudah ketika itu.

Prestasi Jepang dalam dunia sepak bola kala itu memang belum terlalu mengesankan. Sampai pada 1988, Jepang adalah anak bawang di dunia sepak bola. Sebelumnya, jangankan lolos ke Piala Dunia, masuk putaran final Piala Asia saja, Jepang belum pernah merasakan. Memang betul bahwa skuad Sakura pernah meraih medali perunggu di Olimpiade 1968, tetapi prestasi apik itu sama sekali tak mampu mengangkat kualitas persepakbolaan Jepang secara holistik.

Baca juga : Deschamps Singgung Peran Vital Mbappe dalam Kemenangan Prancis Atas Polandia

Captain Tsubasa, serial anime yang sudah beredar sejak tahun 1981 lewat majalah populer Shonen Manga Weekly Shonen Jump, menceritakan perjalanan karier seorang anak bernama Tsubasa Ozora. Dari pemain antar-SD sampai membela timnas Jepang dan bergabung dengan tim Catalonia, klub Barcelona versi Captain Tsubasa. Sementara rival sejak SD Tsubasa, Kojiro Hyuga, memilih merumput di tim Italia, yang mirip klub Juventus. Tsubasa lalu membela timnas Jepang untuk bersaing dengan tim langganan juara dunia, Jerman dan Brasil.

Komik Captain Tsubasa telah diterbitkan dalam beberapa seri seperti pada 1981-1988, 1994-1997, 2001-2004, dan 2010-2012, sampai seri terbarunya pada 2018 lalu. Setelah seri pertama selesai terbit, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) serius mengembangkan bakat-bakat pemain muda mulai dari SD hingga SMA. Dengan membentuk kompetisi yang mulai dibenahi secara detail dan dibuat meriah, seperti tergambarkan pada serialnya.

Liga sepak bola di Jepang saat itu sudah ada dengan nama Japanese Football League (JFL). Kompetisi itu digelar secara semiprofesional sejak 1965. Saat itu, semua klub di Jepang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya pun berstatus sebagai karyawan dari perusahaan pemilik klub.

Jepang juga sempat 'berguru' ke Indonesia untuk mengembangkan kompetisi sepak bola. Pada tahun 1979, delegasi Jepang berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari kompetisi semi-profesional Liga Sepak Bola (Galatama).

Baca juga : Dapat Tawaran Bayaran Selangit dari Al Nassr, Ronaldo Belum Ambil Sikap

Pada 1988, mendiang Ricky Yakobi menjadi pemain sepak bola Indonesia pertama yang merumput di Liga Jepang bersama klub Matsushita. Kala itu, prestasi legenda striker Indonesia itu menjadi sebuah kebanggaan. Klub yang dulu dibela Ricky Yacobi kini sudah berganti nama menjadi Gamba Osaka.

Bagi para pengurus sepak bola Jepang, situasi klub di Jepang yang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya berstatus sebagai karyawan perusahaan, tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, JFA mulai berbenah dan pembenahan itu dimulai dengan mengonsep segalanya dari awal. Akhirnya, sistem kompetisi yang tak menarik itu diubah. Dari yang awalnya perusahaan, basis klub-klub Jepang diubah menjadi kota, persis seperti di Eropa.

Untuk mewujudkan itu, pihak JFL membentuk sebuah komite khusus bernama Komite Revitalisasi. Para anggota komite ini bertugas untuk melakukan riset sedemikian rupa untuk mendongkrak animo masyarakat.

Hasil akhirnya adalah pembentukan J-League pada 1991. Di J-League, kompetisi yang awalnya bersifat semiprofesional diubah menjadi profesional. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berstatus sebagai pemilik klub diubah fungsinya menjadi sponsor utama. Dana memang tetap mengalir dari korporasi-korporasi itu, tetapi alurnya yang diubah.

Baca juga : Mayoritas Fans Portugal Malah Minta Ronaldo Dicoret dari Starting Line-Up

Akhirnya, J-League pun dipentaskan untuk pertama kali pada 1993. Pada saat itu, dengan dukungan dana yang melimpah, klub-klub Jepang bisa mendatangkan bintang-bintang besar semacam Zico, Gary Lineker, dan Dragan Stojkovic. Warga Jepang yang tadinya tidak peduli dengan sepak bola dibangkitkan oleh rasa penasaran. Stadion-stadion pun kemudian mulai penuh. Episode sepak bola profesional yang sesungguhnya pun berjalan.

Beriringan dengan pembentukan liga sepak bola baru, JFA juga menelurkan 'Rencana 100 Tahun'. Rencana ini tidak main-main. Dalam 100 tahun, Jepang berniat untuk menjadi negara sepak bola terhebat di dunia. Yang menarik, rencana ini pun pada akhirnya tidak hanya pepesan kosong.

Jepang sadar bahwa sepak bola dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk itu, Negeri Matahari Terbit ini kemudian menyusun program yang diterapkan di sekolah-sekolah. Persis seperti di serial Captain Tsubasa, sekolah-sekolah ini kemudian menjadi fondasi pengembangan sepak bola Jepang.

***

Pada akhirnya, segala upaya Jepang itu mulai menunjukkan hasilnya. Buahnya tentu saja bermuara ke pencapaian timnas Jepang. Sejak 1998, Jepang tak pernah absen berlaga di Piala Dunia mewakili Benua Asia.

Sepak bola Jepang terus bergerak maju. Pengembangan pemain muda sudah menuai hasil. Dalam skuad timnas Jepang di Piala Dunia 2022 Qatar, terdapat kurang lebih 25 pemain yang berkarier di Eropa. Daniel Schmidt, Maya Yoshida, Takehiro Tomiyasu, Wataru Endo, Genki Haraguchi, Gaku Shibasaki, Kyogo Furuhashi, Daichi Kamada, serta Takumi Minamino adalah sebagian dari 25 nama pemain yang sedang berkompetisi di Eropa.

Pada saat Jepang berhasil membuat kejutan luar biasa dengan mengalahkan Spanyol 2-1 pada laga terakhir Grup E Piala Dunia 2022, ada peran luar biasa dari para pemain yang berasal dari tim-tim J-League, yakni Shuichi Gonda (Shimizu S-Pulse), Shogo Taniguchi (Kawasaki Frontale), dan Yuto Nagatomo (FC.Tokyo).

Jepang hingga detik ini masih konsisten menggapai mimpinya dengan menjalankan proyek mercusuar guna menaklukkan sepak bola dunia. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan liga sepak bola yang mampu bersaing dengan liga top Eropa pada 2030 dan tentu saja menjuarai Piala Dunia 2050.

Baca juga : Sandang Top Skorer Sepanjang Masa Prancis, Giroud: Impian Saya Terwujud

Target itu bukan isapan jempol. Jepang sudah mencapai kesuksesan dengan timnas putri yang menjuarai Piala Dunia pada edisi 2011. Dalam laga final, Jepang mengalahkan Amerika Serikat lewat adu penalti 3-2 (2-2).

Ambisi Jepang sekarang adalah lolos ke babak delapan besar atau perempat final Piala Dunia 2022, tahap yang belum pernah dicapai selama ini. Dalam situs resmi JFA, federasi sepak bola Jepang itu telah menyusun rencana dan target setiap tahun.

Target 2022 adalah delapan besar Piala Dunia 2022. Kemudian untuk tim putri, kembali membidik gelar juara pada Piala Dunia 2023 di Australia dan Selandia Baru. Lantas pada 2024, Jepang menargetkan medali emas Olimpiade Paris untuk tim putri.

Deretan target itu bukan tanpa usaha. Bukan Jepang namanya kalau tidak melakukan usaha yang terstruktur, disiplin, dan kerja keras. Sebagai tindakan penguatan sepak bola Jepang, Komite Teknis JFA membuat sebuah konsep, yakni rencana penguatan program tritunggal. Tujuan utamanya adalah membuat Jepang bersaing pada level yang setara dengan negara-negara top sepak bola dunia.

Program tritunggal itu meliputi penguatan tim nasional, pengembangan pemuda, dan pelatihan, serta menjaga hubungan yang erat antara satu sama lain.

Sejauh ini Jepang masih berada tepat di jalurnya. Timnas Jepang tampil impresif setelah lolos ke babak 16 Besar Piala Dunia 2022 dengan status juara Grup E, grup yang sebelum Piala Dunia 2022 dimulai sering disebut sebagai 'grup neraka'.

Baca juga : Erick Thohir Bicara Peluang Indonesia Bidding Tuan Rumah Piala Dunia 2040

Tidak banyak yang menjagokan Jepang bakal melenggang dari fase grup. Bursa-bursa taruhan menempatkan mantan juara dunia Spanyol dan juara dunia empat kali Jerman yang akan mewakili Grup E ke fase selanjutnya. Jepang sama sekali tidak diunggulkan.

Namun, Jepang membalikkan semua prediksi. Tim besutan Hajime Moriyasu justru menciptakan neraka bagi Spanyol dan Jerman. Uniknya, Jepang menang identik atas kedua tim itu, skornya 2-1, plus diwarnai dengan comeback setelah lebih dulu tertinggal.

Jika melihat hasil pertandingan fase grup, Jepang masih memungkinkan membuat kejutan. Jepang masuk babak 16 besar setelah mengakhiri fase grup dengan memuncaki klasemen dengan mengangkangi Spanyol, Jerman, dan Kosta Rika.

Jepang akan menghadapi Kroasia pada babak 16 besar, Senin (5/12/2022). Walau berstatus runner-up Piala Dunia 2018, seharusnya Kroasia tidak lebih kuat dari Spanyol dan Jerman.

Apalagi Jepang bukan pihak yang inferior dalam pertemuan-pertemuan sebelum ini kontra Kroasia. Sejak 1997, Jepang sudah tiga kali menghadapi Kroasia yang dua di antaranya terjadi pada ajang Piala Dunia.

Kedua tim sama-sama pernah menang satu kali. Jepang menang 4-3 dalam laga persahabatan, sedangkan Kroasia menang 1-0 dalam fase grup Piala Dunia 1998. Terakhir kali keduanya bertemu pada fase grup Piala Dunia 2006 dengan hasil seri 0-0.

Lantaran itu Hajime Moriyasu menargetkan timnya melaju ke perempat final di Piala Dunia 2022 setelah lolos ke babak 16 besar. Ini adalah keempat kalinya Jepang mencapai babak 16 besar, setelah Piala Dunia 2002, 2010, dan 2018, tetapi belum pernah melampaui tahap itu.

Sepertinya mimpi Captain Tsubasa beberapa dekade silam dan juga mimpi para warga Jepang akan menjadi kenyataan di Qatar. Sebenarnya, jika proses panjang yang sesuai jalur telah dijalankan, apapun yang diimpikan bisa saja menjadi kenyataan. Dan, itu nantinya bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Lihat saja Jepang.



 
Berita Terpopuler