Cianjur Digoyang Gempa Sesar Cimandiri, Jakarta Juga Harus Waspadai Sesar Baribis

Gempa sesar Baribis pernah mengguncang kawasan Jakarta pada masa Hindia Belanda.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pelajar berkumpul di lapangan Balai Kota Jakarta, Senin (21/11/2022). Gempa berkekuatan 5,6 SR yang terjadi di Cianjur hingga terasa di Jakarta membuat ASN berhamburan untuk menyelematkan diri. Republika/Putra M. Akbar
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh, Arie Lukihardianti, Dian Fath Risalah 

Baca Juga

Gempa magnitudo 5,6 yang dipicu oleh gerakan sesar Cimandiri di Cianjur telah menelan korban jiwa setidaknya 268 orang hingga Selasa (22/11/2022). Gempa yang menghantam Jawa Barat itu seketika mengingatkan Ibu Kota Jakarta yang memiliki dataran yang relatif tidak stabil sehingga juga rawan akan bahaya gempa.

Peta sejarah gempa di Jakarta mencatat, gempa sesar Baribis pernah mengguncang kawasan Jakarta pada masa Hindia Belanda yakni pada 5 Januari 1699 dengan kekuatan 8 Skala Richter. Lalu gempa bumi pada 22 Januari 1780 dengan kekuatan 8,5 Skala Richter.

Lalu apa sebenarnya gempa sesar Baribis ini? Menurut peneliti geosains dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Febty Febriani, Sesar Baribis merupakan sesar aktif yang membentang dari timur hingga barat Pulau Jawa. 

“Sesar Baribis ini melewati beberapa kota seperti Subang, Cirebon, Majalengka, Pemalang, dan Pekalongan yang memiliki beberapa segmen, beberapa lokasi-lokasi tertentu. Artinya tidak memanjang melurus begitu,” kata Febty dalam sambungan telepon, Selasa (22/11/2022).

Menurut Febty, belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan seberapa besar daya rusaknya. Namun dia meyakini, akan berdampak sangat besar, terutama di kota-kota yang padat penduduk atau di kawasan yang memang struktur tanahnya relatif tidak stabil.

Misalnya saja gempa-gempa besar yang pernah menerjang Banten seperti Januari 2018, Agustus 2019, dan Januari 2022. Sehingga meskipun jauh dari pusat gempa, tetapi rambatan gempanya tetap terasa hebat di Jakarta.

Karena itulah, ungkap Febty, yang terpenting dari bencana alam ini adalah bagaimana alam bawah sadar manusia sudah disiapkan ketika berhadapan dengan gempa bumi. Sehingga ketika gempa bumi terjadi, tubuh secara spontan akan tahu untuk berlindung ke mana dan apa yang harus dilakukan.

“Jakarta itu memang di sejarah masa lampau memang pernah terjadi gempa besar namun karena memang Jakarta dekat Banten yang sering terjadi gempa, juga di investigasi kemungkinan berhubungan dengan sesar Baribis, memang mitigasinya bukan hanya Jakarta tapi juga Jabodetabek, memang harus kita kuatkan, baik di satuan pendidikan, perkantoran, maupun di perumahan-perumahan ini yang mungkin bisa kita lakukan di saat-saat sekarang, bagaimana meningkatkan pengetahuan alam bawah sadar terkait latihan menghadapi evakuasi gempa,” kata Febty.

Lalu seberapa besar potensi ancaman gempa sesar Baribis untuk Jakarta? Menurutnya, sebagai orang yang hidup di daerah yang rawan gempa terutama di Pulau Jawa, ancaman itu akan selalu ada. Baik oleh sesar Baribis, sesar lembang, sesar Cimandiri dan lain sebagainya.

Jadi, ungkapnya, yang perlu dilakukan saat ini adalah bersiap. Karena memang sampai dengan saat ini belum ada penelitian yang bisa memastikan kapan gempa itu akan terjadi, di mana lokasinya, dan berapa kekuatannya. 

“Itu belum ada. Jadi yang kita lakukan itu sebagai orang yang hidup di daerah rawan bencana, harus bersiap dan menyiapkan pengetahuan alam bawah sadar kita untuk bersiaga ketika gempa terjadi,” jelasnya.

“Bagaimana caranya? Misalkan ketika gempa terjadi di dalam gedung apa yang harus kita lakukan, kemudian ketika anak di sekolah apa yang harus dilakukan, ketika diperkantoran apa yang harus dilakukan, itu harus dituntaskan karena masih sangat-sangat kurang baik di jabodetabek,” sambungnya.

Febty yang sempat tinggal lama di Jepang, mengaku bahwa pendidikan penanggulangan gempa bumi di Negeri Sakura sudah diajarkan sejak anak-anak memasuki usia pra sekolah. Yakni, sejak tingkat daycare hingga di perguruan tinggi, percobaan penanggulangan gempa bumi selalu diulang setiap tahun.

Baca juga : Ditelpon MBZ, Jokowi: UEA Siap Bantu Penanganan Dampak Gempa Cianjur

“Ketika saya di Jepang, memang ketika ada gempa saya kaget tapi cepat recovery-nya (pemulihan), karena di Jepang mulai dari daycare sampai di universitas latihan menghadapi gempa itu rutin setiap tahunnya,” tegas dia. 

Karena itu, dia berharap agar Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Kota dapat menggandeng Badan Penanggulamgan Bencana Daerah (BPDB) untuk melakukan mitigasi bencana gempa ini.

 

 

Ihwal Gempa Cianjur akibat pergerakan Sesar Cimandiri yang memiliki efek merusak cukup besar, menurut Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Irwan Meilano, lantaran hiposentrum gempa yang tergolong dangkal, terdapat lapisan tanah yang cukup halus, dan bangunan di atasnya yang tidak tahan gempa.

"Ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana kemarin. Concern utama berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa," kata Irwan, Selasa.

Menurut Irwan, gempa Cianjur adalah gempa dengan pola yang berulang setiap kurang lebih 20 tahun sekali. Sehingga, menurutnya, upaya mitigasi seharusnya sudah dipersiapkan oleh pemerintah daerah (pemda).

Menurutnya, penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya, serta jaraknya dari sumber gempa. "Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan," katanya.

Ketika bencana telah terjadi, kata dia, terdapat waktu (golden time) untuk evakuasi yang hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa bumi. Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik. 

"Kita harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan golden time ini. Rumah sakit darurat, pengungsian sementara, air dan sanitasi yang baik, mulai dipersiapkan sekarang. Jika hanya fokus pada yang terluka, lantas mengesampingkan hal-hal vital yang harus dipersiapkan, maka orang yang selamat pun dapat menjadi korban selanjutnya," paparnya.

Periodesasi 20 tahunan gempa Cianjur juga diamini oleh hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan, gempa serupa pernah terjadi pada 2000 dan 1982.

Oleh karena itu, kata Dwikorita, ke depannya perlu diperhitungkan untuk membangun rumah atau bangunan tahan gempa di daerah rawan seperti Kabupaten Cianjur.

"Analisis kajian BMKG merupakan gempa dengan periode ulang kurang lebih 20 tahun. Sebelumnya tahun 2000 yaitu 22 tahun yang lalu dan sebelumnya lagi tahun 1982, 18 tahun yang lalu, " ujar dia dalam konferensi pers, Selasa.

Dwikorita mengimbau bangunan rumah warga di wilayah tersebut harus tahan gempa. "Dan karena lokasi banyak rumah yang runtuh itu juga berada pada lokasi rawan longsor juga perlu diperhatikan tahan longsor atau mencari tempat yang aman," tambahnya.

Setelah berdiskusi dengan Bupati Cianjur Herman Suherman, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, maka akan disiapkan bangunan tahan gempa di masa rehabilitasi dan rekonstruksi nanti.

"Karena gempa dapat terulang kemudian dikurang lebih 20 tahun ke depan. Sehingga pada masa pada tahap rekonstruksi mohon benar-benar diperhatikan agar bangunannya tahan gempa," sambung dia.

Saat ini lanjut Dwikorita, BMKG juga melakukan survei untuk mengidentifikasi tanah-tanah yang relatif lebih aman terhadap guncangan gempa. BMKG juga sudah menemui tim mitigasi bencana dari pusat geologi untuk mengkaji tanah yang relatif aman dan tidak aman dari bencana longsor.

"Nanti kami akan integrasikan hasil survei tersebut untuk mendukung proses rekonstruksi dalam menentukan kalau memang terpaksa harus mencari tempat yang aman, ada datanya lah, berbasis data," jelas Dwikorita.

 

Bantul Siapkan Lokasi Evakuasi Korban Bencana - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler