Disebut di Dakwaan Terima Rp 17,7 M Terkait Pembelian Heli AW-101, Ini Respons Mantan KSAU

Kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 disebut rugikan negara Rp 738 M.

Republika/Iman Firmansyah
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal (Purn) Agus Supriatna tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (6/6).
Rep: Flori Sidebang, Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna memberikan tanggapan terkait namanya yang disebutkan pada dakwaan perkara korupsi pengadaan Helikopter AW-101. Menurut Agus, tuduhan terhadap dirinya ini menunjukan bahwa jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak profesional.

Baca Juga

Sebagai informasi, nama Agus Supriatna disebutkan dalam sidang dakwaan perkara korupsi pengadaan Helikopter AW-101 pada Rabu (12/10/2022). Dalam dakwaan tersebut, terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh mengaku memberi uang sebesar Rp 17,7 miliar kepada Agus Supriatna.

"Nanti tanya jaksa yang asal bicara tanpa bukti, data yang jelas, terlihat asal-asalan. Sangat tidak profesional," kata Agus saat dikonfirmasi Republika, Kamis (13/10/2022).

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, penasihat hukum Agus, Pahrozi membantah dakwaan tersebut. Dia mengatakan, bahwa kliennya tidak pernah menerima uang dari Irfan Kurnia Saleh seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa.

"Saya selaku penasihat hukum menolak keras dakwaan ini, karena klien saya tidak pernah menerima uang yang dituduhkan itu, tidak pernah melihat uang yang dituduhkan itu, tidak pernah ada janji dari swasta atas uang yang dituduhkan itu," kata Pahrozi kepada wartawan, Kamis.

Pahrozi menyebut, dakwaan itu sangat tendensius. Ia pun mengklaim bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

"Dakwaan ini sangat tendensius. Kita bicara dakwaan, dakwaan itu kan tuduhan, dalil. Sangat tendensius," ujarnya.

"Saya menyatakan, dakwan itu tidak benar, dakwaan itu tendensius," tambahnya menjelaskan.

Disamping itu, dia menduga bahwa dakwaan ini adalah pesanan pihak tertentu. Namun, ia enggan merinci siapa pihak yang dimaksud.

"Patut diduga kuat merupakan pesanan," kata Pahrozi.

Selain itu, menurut dia, dakwaan ini menggambarkan ketidakprofesionalan pihak jaksa. Sebab, jelas Pahrozi, dalam dakwaan tersebut tidak ada kata yang menguraikan bahwa Agus Supriatna menerima uang dari terdakwa.

"Yang ada hanya kata-kata diberikan. Namun, tidak ada kalimat sambungannya menerima atau Pak Agus menerima, gitu," ungkap Pahrozi.

"Padahal secara teknis pembuktian, kalau menyangka orang, menuduh orang ada dugaan menerima, pastikan secara teknis ada transaksi, ada penyerahan uang," imbuhnya.

 

 

Dalam surat dakwaan Irfan Kenway, kasus ini bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun di mana salah satu peruntukkannya bagi pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden senilai Rp 742 miliar pada 2015. Irfan sempat beberapa kali memaparkan produk Agusta Westland (AW) di hadapan petinggi TNI AU. Sehingga Irfan diminta Alm Mohammad Syafei selaku Asrena KSAU TNI membuat proposal harga dari helikopter angkut AW-101.

Namun, Irfan menyarankan pihak TNI AU membuat surat ke perusahaan AW. Belakangan, Head Of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products, Lorenzo Pariani dan Irfan memberikan proposal itu kepada Syafei. 

Syafei menanyakan AW untuk bisa menghadirkan helikopter VIP/VVIP AW 101 untuk diterbangkan pada 9 April 2016 saat HUT TNI AU. Atas permintaan tersebut, Irfan menghubungi Lorenzo agar bisa menyanggupinya. 

"Lorenzo menyatakan akan mengusahakan karena sebenarnya telah tersedia helikopter  AW 101...dengan konfigurasi VVIP pesanan angkatan udara India," kata JPU KPK Arief Suhermanto ketika membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (12/10/2022).

Pada 14 Oktober 2015, Irfan langsung memesan satu unit heli AW-101 setelah mengetahui TNI AU membutuhkannya untuk ditampilkan pada HUT TNI AU ke-70. Padahal jenis heli yang dipesan merupakan sesuai konfigurasi VVIP pesanan Angkatan Udara India. Bahkan. Irfan sudah membayar uang tanda jadi senilai Rp 13 miliar kepada AW. 

"Padahal saat itu belum ada pengadaan helikopter VVIP di lingkungan TNI AU," ujar Arief. 

Bukannya untung, Irfan nyaris saja buntung. Sebab Presiden mengarahkan agar kebutuhan heli AW-101 dihitung ulang. Akibatnya, anggaran terkait pengadaan helikopter VIP/VVIP RI-1 diblokir. Atas dasar itu dana pembelian helikopter Rp742 miliar tak bisa dicairkan. 

Namun, mantan KSAU Agus Supriatna melalui Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU TNI (2015-Februari 2017), Supriyanto Basuki yang menggantikan Syafei mengirim surat kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan). Isinya perubahan kegiatan pengadaan dari helikopter VVIP RI-1 menjadi helikopter angkut berat. Hal ini disebut upaya agar Irfan tetap menjadi penyedia barang helikopter buatan AW. 

"Padahal saat itu anggaran pengadaan helikopter telah diblokir dan sudah ada arahan Presiden agar TNI tidak membeli dahulu helikopter karena ekonomi sedang tidak normal," ucap Arief. 

Diketahui, Irfan didakwa melakukan kejahatannya bersama sejumlah pihak, termasuk dari unsur TNI. Irfan didakwa salah satunya memperkaya Agus Supriatna sebesar Rp 17,7 miliar. Dana itu disebut sebagai dana komando. 

Selain Agus Supriatna, Irfan didakwa melakukan aksi kejahatannya bersama Lorenzo Pariani; Direktur Lejardo, Bennyanto Sutjiadji; Kadis pengadaan AU (2015-Juni 2016), Heribertus Hendi Haryoko; Kadis pengadaan AU, (Juni 2016- Februari 2017) Fachri Adami.

Berikutnya Asisten Perencanaan dan Anggaran KASAU TNI (2015-Februari 2017), Supriyanto Basuki; Kepala Pemegang Kas Mabes TNI AU (2015-Februari 2017), Wisnu Wicaksono.  Perusahaan yang disebut di atas disebut turut menikmati buah korupsi Irfan.

Irfan didakwa memperkaya Agusta Westald senilai Rp 381 miliar dan perusahaan Lejardo senilai Rp 146 miliar. Sedangkan Irfan pun tak luput dari memperkaya. 

"Memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183 miliar," sebut Arief. 

Akibat kejahatan tersebut, negara disebut mengalami kerugian yang luar biasa. Penghitungan kerugian negara sudah dilakukan oleh ahli dari unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK. 

 

"Merugikan keuangan negara sebesar Rp 738 miliar," ucap Arief. 

 

Layanan helikopter di bandara (gambar ilustrasi) - (republika)

 
Berita Terpopuler