KDRT Umumnya Terjadi karena Keinginan Menguasai Pasangan

Orang yang melakukan kekerasan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol

Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Rep: Antara Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) umumnya terjadi karena keinginan salah satu atau kedua pasangan untuk mendapatkan, mempertahankan kekuasaan, dan kontrol atas suami atau istri. Hal ini diungkapkan Psikolog klinis forensik dari Universitas Indonesia (UI) Kasandra Putranto.

Baca Juga

"Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keinginan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas pasangan. Orang yang melakukan kekerasan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol dan membatasi kehidupan pasangannya," kata Kasandra saat dihubungi Antara, Selasa (11/10/2022).

"Sering kali karena mereka percaya bahwa perasaan dan kebutuhan mereka sendiri harus menjadi prioritas dalam hubungan, atau karena mereka menikmati menggunakan kekuatan yang diberikan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya," sambungnya.

Kasandra menjelaskan, menurut Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, perempuan yang berasal dari rumah tangga yang tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan.

Selain karena ekonomi, faktor penyebab terjadinya KDRT adalah adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri, kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, perasaan lelah psikis yang menimbulkan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami, hingga kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.

"Perempuan yang berasal dari rumah tangga pada kelompok 25 persen termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25 persen terkaya," papar Kasandra.

"Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan," lanjutnya.

Di sisi lain, psikolog lulusan UI Rosdiana Setyaningrum juga menyampaikan hal serupa. Dia mengatakan KDRT biasanya terjadi karena adanya rasa power dan kontrol. Namun, faktor pencetus seseorang melakukan KDRT bisa bermacam-macam.

"Biasanya itu kan tentang power dan kontrol. Jadi pencetusnya bisa macam-macam. Bisa karena ekonomi, bisa juga karena pengalaman. Dia pernah mengalami kekerasan waktu masih kecil. Jadi dia trauma dan itu jadi cycle ya. Dia malah melakukan hal yang sama. Atau bisa juga dia di rumah melihat waktu dia masih anak-anak," jelas Rosdiana.

 

Lebih lanjut, Rosdiana juga menyampaikan kekerasan memiliki berbagai jenis dan tidak selalu menyangkut fisik. Jenis-jenis kekerasan tersebut adalah fisik, emosi atau verbal, atau kekerasan seksual. "Domestic violance itu jenisnya ada macam-macam. Bisa fisik, bisa emosi atau verbal, bisa sexual abuse juga walau di dalam rumah tangga, dan economic abuse," ujar Rosdiana.

Terakhir, Rosdiana mengatakan pengulangan KDRT tergantung dari pelaku yang melakukannya. Apabila pelaku adalah seorang abuser, maka perilaku KDRT pun berisiko akan kembali terjadi.

"Kalau mengulangi lagi atau tidak itu tergantung. Dia ini memang abuser atau bukan. Ada orang yang memang abuser. Ada orang yang enggak bisa kontrol cuma sekali itu ada. Tapi kalau domestic violence itu ada polanya," ungkap Rosdiana.

"Polanya pertama dia ada marahnya dulu, terus merasa takut atau gimana itu tergantung orangnya. Setelah itu dia melakukan kekerasan tapi kemudian menyesal habis-habisan. Tapi begitu habis dia menyesal, nggak lama dia begitu lagi. Ada pemicu sedikit saja dia bakal ulangi," sambungnya.

Rosdiana mengatakan tindakan tersebut tak akan selesai jika pelaku tidak melakukan terapi. Dengan demikian pasangan yang mengalami KDRT baik pelaku atau korban perlu mengunjungi ahli untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.

"Ini biasanya tidak mungkin selesai kecuali orangnya diterapi. Karena pasti ada sesuatu di baliknya. Jadi menurut saya lihat dua kali. Kalau sekali kejadian, kemudian berulang lagi, ya sudah. Itu berarti memang pola," tutur Rosdiana.

"Bisa mengunjungi psikolog atau penasihat pernikahan. Tapi tidak bisa banyak menolong kalau pelakunya tidak ikut juga. Karena yang suka salah dimengerti orang itu, karena pasangannya salah, terus itu jadi KDRT," pungkasnya.

 
Berita Terpopuler