Menelusuri Sepenggal Sejarah Arab-Paris

Adakah yang masih tersisa dari hubungan di masa lalu itu?

Masjid Agung Paris
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Mungkin banyak yang tidak mengetahui kemegahan di balik kota Paris terjalin sejarah panjang kota mode dengan Arab. Adakah yang masih tersisa dari hubungan di masa lalu itu?

Baca Juga

Ternyata, masih ada, bahkan bisa dibilang cukup banyak. Di antaranya, ma sih ada ratusan ribu warga Paris yang berbicara dalam bahasa Arab sebagai bahasa utama atau bahasa kedua mereka. Ada pula sejumlah orang Paris yang biasa melahap ma kanan asal daratan Arab, seperti couscous, mezze, dan shawarma.

Melihat hal itu, rasa-rasanya tak dapat disangkal lagi adanya kedekatan antara Paris dan Arab di masa lalu. Sejarah mencatat, ke dekatan itu dimulai sekitar 500 tahun silam.

Kala itu, Prancis menjadi bangsa Kristen pertama yang menjalin hubungan diplomatik de ngan Kesultan Turki Utsmani. Berkat hubungan diplomatik itu, terbukalah pintu bagi para diplomat, kaum intelektual, wisatawan, para pelajar, dan cendekiawan dari kawasan Mediterania Timur serta Afrika Utara untuk berkunjung, bahkan menetap di Paris.

"Pada akhir abad ke-18, hubungan dengan dunia Islam adalah sesuatu yang biasa, termasuk ketika melihat orang berjalan-jalan di Paris mengenakan serban," kata Ian Coller, guru besar sejarah yang pada 2011 menulis buku tentang hubungan Prancis-Arab.

 

Sepenggal sejarah Arab-Paris, antara lain, dapat ditelusuri di sepanjang Rue Saint Jac ques, sebuah jalan di kawasan Latin Quarter, Paris. Di sana terdapat gereja kecil yang berdiri di tepi Sungai Seine, tepat di seberang Katedral Notre Dame.

Gereja itu dibangun pada abad ke-13. Bukan sekadar tempat beribadah, gereja juga tersohor dengan pertunjukan musiknya yang luar biasa. Jika dilihat sepintas, tak ada yang aneh dari Gereja Katholik Roma ini. Namun, jika di perhatikan lebih teliti, dinding Gereja St Julien ini dipenuhi lukisan keagamaan yang menampilkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab.

Jika berjalan sedikit menanjak ke arah Rue Des Carmes, akan ditemui St Ephrem, gereja bergaya Corinthian yang berdiri sejak 1925. Gereja kecil itu adalah rumah bagi umat Katolik Suriah di Prancis. Di gereja ini, bahasa Arab senantiasa digunakan saat beribadah maupun misa.

Hubungan Arab-Paris bukan hanya tersimpan di gereja-gereja di sudut kota cantik ini, melainkan juga di Masjid Agung Paris. Masjid yang terletak di kawasan Arisdisemen Ve ini didirikan setelah Perang Dunia I se bagai tanda terima kasih Prancis kepada serdadu Muslim yang saat itu turut mem ban tu melawan Jerman.

Masjid yang diresmikan oleh Presiden Gaston Doumergue pada 1926 ini mengusung gaya arsitektur khas Muslim Spanyol abad pertengahan. Saat ini, Masjid Agung Paris tidak hanya menjadi pusat ibadah bagi lebih dari empat juta Muslim di Prancis, tapi juga se bagai pusat Islam di Eropa.

"Ketika mereka membangun masjid, mereka mengambil unsur-unsur dari seluruh dunia Arab dengan harapan terwujud sebuah masjid yang ideal. Masjid ini memiliki mena ra, tetapi tidak ada kumandang azan dari menara itu. Itu tidak mungkin dilakukan di Latin Quarter," tulis Nancy Beth Jackson dalam artikelnya di laman aramcoworld.

 

 

Pada era Perang Dunia II, ketika Nazi menguasai Prancis, masjid ini berfungsi sebagai tempat berlindung warga Muslim di Prancis, begitu juga warga pribumi. Bahkan, masjid agung ini memberikan akta lahir Muslim palsu untuk anak-anak Yahudi agar bisa menyeberang ke negara-negara Arab dengan aman dan selamat dari kejaran Nazi.

Hubungan Arab-Paris bukan hanya tergambar di rumah-rumah ibadah, melainkan juga di beberapa tempat di sudut-sudut Paris. Salah satunya, Institut du Monde Arabe yang menawarkan beragam program budaya Arab untuk kalangan segala usia dan dibuka sepanjang tahun.

Gedung yang mencangkup museum seni, ruang konser, perpustakaan, pusat penelitian, pusat bahasa, restoran, toko buku, banyak ruangan lainnya ini menjadi tempat yang tepat untuk menikmati kekhasan budaya Arab sembari ditemani pemandangan kota Paris yang indah.

Tempat ini menawarkan berbagai pi lihan buku, musik, dan cendera mata di toko buku lantai dasar. Pengunjung juga bisa menikmati hidangan khas Timur Tengah dan Afrika Utara di sebuah restoran yang ada di lantai sembilan gedung ini.

Sebagian besar orang Arab di Paris berasal dari Maghreb, kelompok negara-negara di Afrika Utara, tepatnya dari Libya ke arah ba rat. Terkadang, Paris bahkan digambarkan sebagai ibu kota Arab di Eropa mengingat begitu banyaknya mahasiswa, penulis, dan seniman Arab yang datang dan menetap Paris pada awal abad ke-20.

"Di sana dan di Kairo, pemikiran liberal Arab memiliki pijakan awalnya,'' tulis Fouad Ajami dalam bukunya The Dream Palace of the Arabs yang terbit pada 1998.

Kebebasan berpikir yang ditawarkan Prancis menjadi sesuatu yang sangat menarik dan tidak disia-siakan oleh sejumlah orang Arab. Tak aneh jika populasi imigran Arab di Prancis semakin meningkat, disusul berdiri nya penerbit, majalah, surat kabar, dan buku berbahasa Arab di negeri itu.

"Bagi orang-orang Timur, Paris selalu men jadi modal intelektual," kata Nicolas Beau, penulis buku Paris, Capitale Arabe

 
Berita Terpopuler