Kekhawatiran Atas Kasus Sambo: Vonis Ringan dan Bisa Kembali Lagi ke Kepolisian

Ferdy Sambo diduga masih memegang 'kartu truf' yang bisa meringankan hukumannya.

Republika/Thoudy Badai
Anggota Kepolisian menyaksikan sidang banding kode etik Polri terhadap mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo yang di Gedung TNCC Polri, Jakarta, Senin (19/9/2022).Majelis sidang banding kode etik memutuskan menolak permohonan banding terkait pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan sebagai anggota Polri terhadap Ferdy Sambo atas kasus tewasnya Brigadir J. Dengan putusan tersebut, mantan Kadiv Propam tersebut resmi dipecat sebagai anggota Polri. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Ali Mansur, Rizky Suryarandika, Antara

Baca Juga

Meski telah dijerat pidana secara berlapis, Ferdy Sambo diduga masih memegang 'kartu truf' dalam menjalani proses hukumnya. Pakar hukum dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra pun mengkhawatirka, perkara obstruction of justice lebih dulu maju ke pengadilan daripada kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

Menurut Azmi, bila perkara obstruction of justice lebih dulu disidangkan maka patut diduga bertujuan agar Sambo dapat sanksi pidana lebih dulu. Sehingga, di kasus persidangan pembunuhan tidak dapat lagi dijatuhi pidana maksimal.

"Karena pada pengadilan sebelumnya dalam hal ini perkara obstruction justice yang lebih dulu diajukan sudah ada pemidanaan, sehingga bisa saja nantinya FS terhindar dari pidana mati dan seumur hidup," ujar Azmi, belum lama ini. 

Jika ini terjadi ini, Azmi menilai sebagai upaya menghindari pidana maksimum sekaligus 'penyeludupan hukum'. Padahal, Azmi menyinggung sebenarnya unsur 340 KUHP dari kasus kematian Brigadir J sudah voltoid atau terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya. 

"Yang didialektikakan dan simpang siur saat ini adalah motifnya, padahal motif tidak masuk dalam unsur," ucap Azmi. 

Di sisi lain, Azmi menduga ada alasan tersembunyi lain atau faktor lainnya dalam kasus ini bila sidang obstruction of justice terhadap Sambo didahulukan. Padahal menurutnya, hal ini tidak berdasarkan asas due process of law.

"Apakah adanya kekuatan tangan yang tidak terlihat (invicible hand), karena jika FS  tidak dibantu dikhawatirkan ia akan bongkar- bongkar fakta yang lebih besar dan pihak- pihak lain yang ikut mendapatkan manfaat dari kinerjanya selama ini atau ada peristiwa lainnya melibatkan pihak lain yang berfungsi sebagai pengendali kontrol," ungkap Azmi. 

Azmi meyakini Sambo sudah memperkirakan keadaan ini secara cermat. Azmi menduga Sambo masih berusaha menjadi 'ancaman'  karena bisa mengungkap fakta-fakta lain.

 

"Seolah ia (Sambo) punya kartu truf dan karenanya pula bisa jadi ia nantinya jalani pemidanaan sampai berkekuatan hukum tetap hanya di tahanan Mako Brimob," ujar Azmi.

 

 

 

 

 

 

Dalam sebuah acara diskusi, di Jakarta, Sabtu (17/9/2022), Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mengungkapkan celah hukum dalam pemecatan Sambo sebagai dari Polri. Mantan Panglima TNI itu mengatakan Sambo, yang sudah dipecat berpeluang bisa kembali ke Polri lewat keputusan Kapolri yang punya kewenangan mengajukan PK atas putusan KKEP, maupun KKEP banding. 

“Undang-undangnya saya lupa. Itu tiga tahun kemudian (setelah putusan KKEP), Kapolri boleh meninjau ulang. Itu bisa,” kata Gatot.

Ia mengacu pada Peraturan Polri (Perpol) 7/2022 tentang Kode Etik Profesi, dan Komisi Kode Etik Kepolisian. Menurut Gatot, aturan internal Polri tersebut, perlu direvisi ulang karena memberi kewenangan kepada Kapolri untuk mem-PK- putusan PTDH terhadap Sambo. 

“Secara etika hukum, ini kurang ajar. Karena seorang perwira tinggi diberhentikan oleh presiden. Nah sekarang presiden sudah memberhentikan, tiga tahun lagi hanya dengan keputusan Kapolri (PK), bisa diralat lagi,” kata Gatot.

Gatot menyarankan, agar Presiden maupun Menko Polhukam meminta Kapolri merevisi atas celah hukum aturan internal Polri tersebut. “Inilah yang saya imbau kepada Presiden, dan Menko Polhukam untuk meninjau peraturan polisi yang seperti ini,” kata dia menambahkan.

Sebelum Gatot, guru besar politik dan keamanan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengungkap Ferdy Sambo memiliki kakak asuh di tubuh Polri. Disebutnya, sosok kakak asuhnya mencoba melobi petinggi Korps Bhayangkara untuk meringankan hukuman dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

"Kakak asuh dalam model konteks yang sudah pensiun, ada yang belum, nah ini yang saya kira yang agak keras di dalam kan itu situasinya sebenarnya karena kakak asuh itu punya peluang, punya powerful yang luar biasa ya," ungkap Muradi

Menurut Muradi, sosok kakak asuh yang masih aktif itu menduduki posisi strategis di Polri. Sehingga dengan demikian, sosok kakak asuh Ferdy Sambo memiliki kans membantu untuk membela Ferdy Sambo agar tidak hukum berat akibat perbuatannya melalukan pembunuhan terhadap ajudannya tersebut.

 

"Sambo berani karena dia merasa dalam posisi berada di atas angin, masih ada yang ngebelain, makanya harus dituntaskan dulu soal orang-orang yang kemudian dianggap punya kontribusi terkait dengan posisi Sambo," kata mantan penasihat ahli Kapolri tersebut.

 

In Picture: Ferdy Sambo Resmi Dipecat

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyampaikan keterangan pers hasil sidang banding kode etik Polri terhadap mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo di Gedung TNCC Polri, Jakarta, Senin (19/9/2022).Majelis sidang banding kode etik memutuskan menolak permohonan banding terkait pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan sebagai anggota Polri terhadap Ferdy Sambo atas kasus tewasnya Brigadir J. Dengan putusan tersebut, mantan Kadiv Propam tersebut resmi dipecat sebagai anggota Polri. Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

Mabes Polri kemarin telah membantah spekulasi Jenderal Purnawirawan TNI Gatot Nurmantyo tentang Ferdy Sambo yang dapat kembali aktif sebagai anggota kepolisian setelah dipecat lewat putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) banding, Senin (19/9/2022). Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menegaskan, putusan KKEP banding yang memecat tidak hormat mantan Kadiv Propam Polri itu final dan mengikat.

“Keputusan banding KKEP adalah final dan mengikat. Sudah tidak ada upaya hukum lagi setelah ini. Tidak ada PK (Peninjauan Kembali). Tidak ada. Ini (banding), adalah upaya hukum terakhir terhadap yang bersangkutan (Sambo),” kata Dedi.

Selanjutnya, kata Dedi, dari putusan KKEP banding itu, akan dilaporkan kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Keputusan KKEP banding itu akan dilanjutkan dengan penerbitan surat keputusan pemecatan dari SDM Polri.

Sambo, kata Dedi, akan menerima salinan putusan KKEP banding termasuk soal keputusan pemecatan selama 5 hari kerja setelah majelis banding bersidang. “Tidak ada seremonial (upacara pelucutan kepangkatan). Diserahkan saja keputusannya (pemecatan) itu sudah bentuk dari seremonial,” ujar Dedi.

KKEP banding, Senin (19/9/2022) memutuskan untuk tetap memecat Ferdy Sambo dari Polri. Putusan KKEP banding itu menguatkan vonis serupa dalam sidang KKEP pertama, Jumat (26/8/2022) lalu yang juga menghukum Sambo dengan pemecatan. Keputusan tersebut terkait dengan peran Irjen Ferdy Sambo selaku perwira tinggi Polri yang melakukan perbuatan tercela.

Pemecatan itu juga terkait dengan status hukum Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan ajudannya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).  Sambo, juga berstatus tersangka obstrcution of justice, atau penghalang-halangan penyidikan kematian Brigadir J.

Dalam putusannya, KKEP banding menyatakan permohonan upaya hukum Irjen Sambo tak dapat diterima. “Memutuskan; menolak permohonan banding pemohon (Irjen Sambo). Menguatkan putusan sidang KKEP sebelumnya,” demikan hasil sidang KKEP, Senin. 

 

Adapun terkait dua perkara yang kini menjerat Sambo, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan ada kemungkinan Ferdy Sambo disidang dalam satu surat dakwaan dengan dua perkara berbeda. Alasannya,  kedua perkara terjadi dalam satu rangkaian peristiwa.

"Kemungkinan itu ada, (kedua berkas perkara) bisa digabungkan dalam satu surat dakwaan berdasarkan kewenangan penuntut umum," kata Ketut saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu (14/9/2022) lalu.

Khusus Ferdy Sambo, katanya, jaksa penuntut umum menerima penetapan tersangka untuk dua perkara. Yakni pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan sangkaan Pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Kemudian, tambah dia, jaksa penuntut umum menerima penetapan tersangka Ferdy Sambo untuk perkara menghalangi penegakan hukum perkara pembunuhan Brigadir J atau obstruction of justice, disangka dengan Pasal 49 juncto Pasal 33 dan atau Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Selain itu, katanya, terlibat dalam tindakan menghalangi dan menghilangkan bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan 223 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP.

"Khusus tersangka FS (Ferdy Sambo) ada satu berkas perkara yang dilimpahkan, itu Pasal 340 subsider Pasal 338 artinya satu berkas perkara tersebut pasal primer dan subsider bukan pasal berlapis. Adanya penetapan tersangka baru terhadap FS terkait dengan UU ITE Pasal 49 dan Pasal 40 di-juncto-kan Pasal 221 dan Pasal 223 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP," kata Ketut.

Selain kewenangan jaksa penuntut umum, katanya, penggabungan berkas perkara untuk tersangka Ferdy Sambo bisa dilakukan oleh penyidik kepolisian.

"Kalau misalnya perkara itu ada dua, namun oleh penyidik berkas perkaranya digabungkan juga boleh karena berkaitan dalam satu peristiwa perkara pidana," ujarnya.

Namun, lanjut Ketut, saat ini pihaknya belum menempuh kedua alternatif untuk menggabungkan kedua perkara tersebut. Mengingat, pelimpahan berkas kedua perkara untuk tersangka Ferdy Sambo dilakukan tidak bersamaan atau terpisah. 

 

Masyarakat Nilai Sambo Pantas Dihukum Mati - (infografis republika)

 
Berita Terpopuler