Ancaman Penurunan Imunitas Akibat Capaian Booster yang Terus Minim

Dua vaksin Covid-19 dalam negeri ditargetkan segera digunakan untuk booster.

ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Petugas medis menyuntikan vaksinasi COVID-19 kepada warga di salah satu Pusat Perbelanjaan, Jakarta, Ahad (4/9/2022). Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan rencana program pemberian vaksinasi COVID-19 booster jika nantinya akan menjadi vaksinasi rutin tidak menutup kemungkinan akan berbayar di tahun 2023.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Cakupan vaksinasi Covid-19 dosis ketiga masih jauh dari target. Berdasarkan data Kemenkes RI, capaian vaksinasi booster baru mencapai 26,46 persen atau sekitar 62.091.264 orang. Pergerakan penambahan jumlah masyarakat yang sudah vaksin hingga dosis ketiga juga tergolong sangat pelan. Padahal program booster sudah digulirkan sejak Januari 2022.

“Iya booster ketiga ini masih rendah. Karena kan bagaimanapun pasti setelah 6 bulan imunitas seseorang akan turun. Saya sendiri merasakan kemarin booster telat. Makanya kalau ada kesempatan lebih baik booster lagi, toh vaksinnya ada. Nah nanti kita akan beli nih, vaksinnya,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kamis (15/9/2022).

Ia berencana membuat sebuah terobosan baru di akhir tahun ini guna mengejar cakupan vaksinasi dosis ketiga. Budi menduga besar kemungkinan imunitas akan menurun pada awal tahun 2023.

“Dugaan saya, kita akan menurun imunitasnya di awal tahun depan. Jadi itu sebabnya kita nanti booster-nya keluar ini, kita akan dorong yang belum booster ketiga akan kita kejar lagi nih di akhir tahun,” ujar Budi.

“Nanti kita akan bikin program lagi supaya lebih banyak lagi yang vaksin ketiga karena baru 60 jutaan orang kayaknya. Kita mau naikkan kalau bisa sampai 100 juta sampai akhir tahun,” sambung mantan wakil menteri BUMN tersebut.

Budi juga memastikan akan menjadikan dua vaksin produk dalam negeri produksi BUMN Farmasi PT Bio Farma (Persero) Indovac dan Vaksin Inavac sebagai vaksin booster di tahun ini “Kemenkes komitmennya ingin mereka maju, dan harus jadi. Jadi rencananya memang tahun ini akan jadi nih, Inavac dan Indovac. Jadi dua vaksin itu jadi tahun ini, akan kita beli dan jadikan booster,” tegas Budi.

Hingga akhir tahun ini pemerintah akan menyediakan sekitar 10 juta dosis vaksin dari berbagai sumber termasuk vaksin Indovac dan Inavac. “Kalau sampai akhir tahun tuh mungkin 100 persen tidak ya, kita paling sanggup 10 juta. Indovac juga mungkin mirip-mirip ya. Tapi kalau dari vaksin itu udah 20 juta kan lumayan. Tapi perlahan kita akan meningkatkan kapasitasnya," tuturnya.

"Tapi tergantung, ini lihatnya seperti ayam bertelur ya, kita sediakan vaksinnya dulu, ada vaksinnya terus tidak dibeli, ya sudah risiko kan. Karena ongkosnya juga mahal kan,” sambung Budi.

Lebih lanjut Budi mengatakan, untuk saat ini, kondisi pandemi di Indonesia masih terkendali meskipun sempat ada kenaikan saat varian BA.4 dan BA.5. Budi meyakini, kekebalan tubuh masyarakat Indonesia disebabkan oleh cakupan vaksinasi primer yang sudah diberikan pada tahun lalu.

Ia pun berharap masyarakat dengan sukarela dapat melakukan vaksin booster setelah 6 bulan sejak divaksin. Karena, bila tidak mendapatkan booster imun akan kembali turun.

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan menilai berkurangnya gerai sentra vaksin di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama turunnya capaian vaksinasi Covid-19 dosis ketiga. Menurutnya, saat ini ketersediaan gerai sentra vaksin berkurang dibandingkan saat program pemberian vaksin Covid-19 dosis primer pada tahun lalu.

"Saya tidak tahu persis kenapa cakupan booster ini tidak secepat vaksin primer, tapi berkurangnya sentra vaksinasi juga jadi masalah. Distribusinya tidak seluas dahulu. Dahulu di mana-mana ada. Sekarang sudah berkurang," tutur Erlina.

"Untuk vaksinasi primer Indonesia bagus, vaksin pertama 86 persen, kedua 72 persen, namun yang menjadi masalah adalah capaian untuk vaksinasi booster atau suntikan ketiga masih rendah sekitar 26 persen," ujarnya.

Ia menekankan, vaksinasi booster sangat efektif untuk melindungi seseorang, walaupun terpapar dan menjadi sakit tapi terlindungi dari keparahan. "Artinya tidak perlu dirawat dan juga tidak menimbulkan kematian," katanya.

Dokter spesialis pulmonologi dan pengobatan pernapasan (paru-paru) itu menyampaikan, rekomendasi dari 22 ahli dari Asia dan Amerika Latin yang terlibat dalam studi real world terkait vaksinasi booster menyimpulkan bahwa vaksin Covid-19 berplatform viral vector dan messenger RNA (mRNA) untuk booster menghasilkan perlindungan yang cukup tinggi terhadap keparahan penyakit dan kematian terkait Omicron. "Ada dua jenis platform yang kami review, yakni viral vector yang dikembangkan AstraZenecca dan mRNA dari Moderna dan Pfizer, ternyata kedua jenis platform itu memberikan perlindungan setara. Jadi masyarakat jangan terlalu pilih-pilih karena hasilnya setara," tuturnya

Ia mengatakan, kedua platform itu memberikan tingkat perlindungan yang tinggi sebagai booster, baik disuntikan sebagai booster homolog atau heterolog dari jenis vaksin yang diterima. "Efektivitas pada populasi umum sebesar 84,2 persen, untuk kelompok lansia 87,4 persen," paparnya.


Baca Juga

Dalam kesempatan itu, Erlina juga mengingatkan bahwa meski angka kasus Covid-19 cenderung terkendali, kondisi pandemi saat ini masih dinamis. Menurutnya, masih ada kemungkinan muncul varian baru jika cakupan vaksinasi booster rendah dan tidak disiplin protokol kesehatan.

"Kita harus menyadari bahwa Covid-19 ini virus RNA, virus ini lazim bermutasi, jadi kemungkinan terjadi varian baru itu ada, bisa bermacam-macam," katanya. Oleh karena itu, lanjut dia, transmisi penularan virus harus terkendali, bahkan harus diputuskan rantai penularan, dengan begitu maka tidak ada mutasi.

Tingginya laju vaksinasi akan berkontribusi pada cepatnya pandemi berakhir. Ketua Lab Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dianti Endang Kusumawardani menjelaskan masyarakat dapat mengalami pandemic fatigue atau kelelahan akan pandemi.

Dianti mengatakan kelelahan tersebut terjadi sebagai respons tubuh atas hal yang mengancam yakni Covid-19. Oleh karenanya, tubuh mengalami stres akibat merasa terancam, sehingga tubuh mencari cara untuk mengatasi hal tersebut.

Hal inilah yang disebut dalam teori general adaptation syndrome, atau fade adapatasi dalam menghadapi pandemi. Dalam proses adaptasi tersebut, tubuh akan memunculkan alarm kesadaran untuk menerima informasi tentang Covid-19, yang akhirnya menjadi sebuah kewaspadaan. "Nah di sini tubuh mulai mengeluarkan hormon-hormon tadi dan kemudian setelah itu masuk ke fase berikutnya yaitu fase yang resistensi yang di mana tubuh ini melakukan pemulihan oleh memperbaiki untuk mengatasi di sini," ujarnya.

Dianti mengatakan jika hal tersebut terjadi secara berkelanjutan, maka akan menuju apa yang disebut dengan pandemic stage. Dalam fase ini, masyarakat akan mengalami pandemic fatigue, yang mengharuskan tubuh untuk beristirahat meski masih sadar dengan ancaman Covid-19, sehingga protokol kesehatan mulai kendor.

Namun Dianti mengatakan, manusia sebagai makhluk sosial yang sering berinteraksi, juga harus memikirkan satu sama lain dari dampak melonggarkan protokol kesehatan. Oleh karena itu dalam pencegahan Covid-19, Dianti mengatakan manusia juga menampilkan perilaku, yang juga sebagaimana mengharapkan orang lain berperilaku sama.

"Walaupun kita ingin melepaskan kejenuhan kelelahan setelah masa tenggang, tapi harus diingat bahwa ada orang lain di sekeliling kita orang lain yang punya kebutuhan-kebutuhan dan juga kepentingan-kepentingan sama," ujar Dianti.

Ketentuan vaksinasi booster yang terbaru - (Republika)

 
Berita Terpopuler