Anies Lengser, TGUPP Pun Bubar Jalan

DPRD DKI tidak akan menganggarkan lagi gaji TGUPP di APBD DKI.

Republika/Putra M. Akbar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bersalaman dengan anggota DPRD DKI Jakarta usai menghadiri sidang paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (13/9/2022). DPRD DKI Jakarta menggelar rapat paripurna pengumuman masa akhir kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria 30 hari sebelum masa tugas berakhir. Republika/Putra M. Akbar
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mashir Ramadhan, Flori Sidebang, Antara

Baca Juga

Anies Baswedan akan mengakhiri jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober mendatang. Bersamaan dengan lengsernya Anies, Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI juga akan hengkang dari Balai Kota DKI Jakarta.

"Mulai sekarang TGUPP tidak akan saya laksanakan, dalam Banggar nanti tidak dianggarkan," kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi setelah memimpin rapat pimpinan gabungan (rapimgab) terkait usulan nama penjabat (pj) gubernur di gedung DPRD DKI di Jakarta, Selasa (13/9/2022).

Prasetio yang juga Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI itu menambahkan nantinya penjabat gubernur DKI akan banyak dibantu oleh para asisten, deputi dan sekretaris daerah.

Dia menuding, selama ada TGUPP pada zaman Anies, pembangunan Jakarta semakin kacau. “TGUPP harus hilang, itu yang buat kacau pembangunan di Jakarta,” kata Prasetyo.

Menurut Prasetio, selama hampir lima tahun terakhir, TGUPP dengan setiap idenya malah merugikan Jakarta. Dia mencontohkan, salah satu jalan di Kemang, Jakarta Selatan, yang terkenal pendek, tapi dilakukan revitalisasi trotoar yang justru memutus tali air dan membuat jalanan kian tergenang saat hujan deras.

 

“Dampaknya banjir, jadi harus rasional (kalau) membangun,” katanya. 

Prasetio membandingkan pemanfaatan TGUPP pada zaman kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Anies yang berbeda jauh. Alih-alih memberdayakan pensiunan ASN DKI seperti era Jokowi, Anies cenderung menambah anggota TGUPP dari profesional dan menggaji dengan dana APBD.

“Lagian banyak orang pintar di (DKI) sini kok, mulai sekarang TGUPP nggak akan saya (setujui) dalam Banggar nanti, nggak akan dianggarkan,” katanya.

 

Anggota Badan Anggaran DPRD DKI Gembong Warsono mengatakan, eksistensi TGUPP atau nama lain dari tim sejenis nantinya merupakan kewenangan penjabat gubernur DKI. Meski begitu, ia meminta agar penjabat gubernur DKI menggunakan alokasi anggaran untuk tim gubernur tersebut nantinya tidak lagi berasal dari APBD, melainkan dari biaya penunjang operasional gubernur.

"Jika penjabat gubernur merasa membutuhkan silakan menggunakan TGUPP atau apa istilahnya. Tapi alokasi anggaran tidak melekat di APBD, silakan anggaran yang digunakan melalui dana operasionalnya gubernur," katanya.

Saat ini, kata dia, alokasi anggaran TGUPP yang mencapai lebih dari 70 orang itu diambil dari APBD. Gembong menambahkan, besaran anggaran TGUPP pada 2018 mencapai sekitar Rp 29 miliar. Kemudian pada 2019-2021 mencapai masing-masing sekitar Rp 18,9 miliar.

Sedangkan pada 2022 mengingat masa jabatan Gubernur Anies hanya 10 bulan, yakni hingga Oktober 2022, maka besaran alokasi untuk TGUPP rencananya mencapai Rp 12,5 miliar. Sementara itu, biaya penunjang operasional penjabat gubernur, lanjut dia, sama dengan dana penunjang operasional gubernur saat ini.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2000, biaya penunjang operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas Rp 500 miliar, yakni paling rendah Rp 1,25 miliar dan paling tinggi sebesar 0,15 persen dari PAD.

Sebagai gambaran, PAD DKI Jakarta pada 2020 mencapai Rp 57,5 triliun dengan asumsi biaya penunjang operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah yang digunakan adalah maksimal 0,15 persen maka dalam satu tahun mencapai Rp 86,2 miliar atau per bulan mencapai Rp 7,18 miliar.

Gembong menambahkan, komposisi besaran biaya penunjang operasional adalah 60 persen untuk gubernur dan 40 persen untuk wakil gubernur. Diperkirakan untuk kepala daerah sekitar Rp 4,31 miliar per bulan dan wakil kepala daerah sekitar Rp 2,87 miliar. 

 

Dalam perjalanan kerjanya, jumlah anggota TGUPP terus berkurang setelah beberapa anggotanya mengundurkan diri. Yang paling terakhir adalah Bambang Widjojanto pada Juli lalu.

Bambang menjelaskan, keputusan itu ia ambil untuk fokus dalam menangani sidang praperadilan kasus dugaan suap pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan dengan tersangka Mardani Maming. Adapun, Bambang diketahui menjadi kuasa hukum dari Mardani Maming. 

 

"Agar lebih fokus di praperadilan dan meminimalisasi potensi konflik kepentingan," jelas dia. 

Sebelum Bambag, Alvin Wijaya juga mengundurkan diri dari TGUPP pada April 2022. Hal itu disampaikan oleh Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tri Indrawan yang menerangkan, Alvin mengundurkan diri sejak 1 April 2021.

"Administrasinya ada mengundurkan diri. Periodenya 1 April sudah diberhentikan," kata Tri di ruang rapat Komisi A Gedung DPRD DKI Jakarta, pada awal Mei lalu. 

Meski demikian, Tri tidak menjelaskan secara rinci mengenai alasan pengunduran diri Alvin. Sebab, jelas dia, Bappeda hanya memiliki kewenangan pada bagian administrasi.

"Saya kan menyampaikan terkait dengan administrasi yang sudah kita kerjakan," ujarnya.

Salah satu anggota aktif TGUPP Tatak Ujiyati, saat dikonfirmasi Republika kemarin, merespons kritik pedas ketua DPRD DKI Jakarta tentang kinerja TGUPP yang tidak ada dan hanya membuang anggaran DKI dengan gaji yang besar. Menurut Tatak, jika hal itu pendapat dari Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi langsung, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

“Kalau itu pendapat boleh saja, sah saja. Dan soal pendapat kinerja (TGUPP) silakan saja. Tapi ini kembali lagi kepada pemimpin daerah,” kata Tatak ketika dikonfirmasi, Rabu (14/9/2022).

Ditanya pernyataan Prasetyo yang mengusulkan pembubaran TGUPP berbarengan dengan Anies, Tatak tak menampiknya. Menurutnya, jika gubernur-gubernur atau penjabat selanjutnya tidak memerlukan TGUPP, hal itu bisa diterima.

“Jadi hal itu menurut saya tidak perlu jadi polemik, karena kewenangan gubernur,” katanya.

 

Ditanya kinerja selama ini, Tatak menyebut sangat beragam. Pasalnya, semua hasil atau program yang berhasil dikerjakan Anies, katanya, tidak hanya program yang diselesaikan oleh individu, tetapi oleh banyak dinas, badan dan biro, serta TGUPP itu sendiri.

“Tim Gubernur ini kan memang dianggap membantu menyelesaikan tugas. Sehingga jika melihat program Anies ter-deliver dengan baik, misal WTP DKI lima kali beruntun, kemudian JIS, itu juga dianggap kerja TGUPP,” katanya.

Lebih jauh, pernyataan Prasetyo yang membandingkan TGUPP zaman Jokowi dan Anies berbeda jauh, Tatak tak menggubrisnya. Kembali lagi, dia berkata jika itu pernyataan pribadi, maka hal itu bisa diterima.

 

Namun demikian, saat menjawab pernyataan yang menyebut TGUPP tidak bekerja optimal dan hanya menghabiskan anggaran APBD DKI yang besar, Tatak menolaknya. Menurut dia, setiap gubernur memang memiliki pandangan subjektif tersendiri, tetapi output dari program dipastikan berbeda.

“Bagi kita, agar lebih baik hasil dari program gubernur ter-deliver atau tidak,” jelas dia.

 

Ilustrasi Anies Resmikan Rusunawa DKI - (republika/mardiah)

 
Berita Terpopuler