Masjid di Hotel Jadi Nilai Tambah Tingkatkan Pariwisata Ramah Muslim

Pelayanan prima menjadi standar yang mendasar dalam pariwisata.

AHMAD SUBAIDI/ANTARA
Sejumlah pengunjung berada di area bazar Pesona Khazanah Ramadhan 2021 yang digelar di Islamic Center NTB di Mataram, NTB, Kamis (22/4/2021). Pesona Khazanah Ramadhan sebagai acara tahunan pariwisata NTB selama bulan Ramadhan tersebut mengangkat tema pengembangan ekonomi kreatif yang bertujuan untuk mengenalkan dan membuka kembali pasar hasil kerajinan dan produk lokal asli NTB di tengah pandemi COVID-19.
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Guntur Subagja Mahardika mengatakan, keberadaan masjid di hotel, restoran, maupun mal, itu menjadi nilai tambah dalam meningkatkan pariwisata ramah Muslim. Dia menyampaikan, aspek yang terkait dengan ibadah memiliki daya tarik bagi industri pariwisata ramah Muslim.

Baca Juga

"Jadi bagaimana pariwisata ramah Muslim ini tinggal kita pertajam, kita kemas menjadi satu produk yang menarik bagi wisatawan mancanegara," kata dia dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) daring bertajuk 'Penguatan Regulasi dan Standarisasi Pariwisata Ramah Muslim di Indonesia', yang digelar Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (DEKS-BI), Selasa (6/9/2022).

Guntur menekankan, pelayanan prima menjadi standar yang mendasar dalam pariwisata. Karena itu, pariwisata ramah Muslim harus mengedepankan pelayanan prima dan mengusung nilai-nilai etika. Terlebih di Indonesia terdapat berbagai potensi pariwisata ramah Muslim. Antara lain ialah kuliner, destinasi, pariwisata spiritual, seni dan budaya Islam, fasyen, gaya hidup, ekonomi kreatif dan lainnya.

"Indonesia sudah memiliki semua pariwisata ramah Muslim. Misalnya kita punya situs-situs bersejarah dari Aceh sampai Papua, yang menceritakan story tentang kebangkitan Islam dan monumen yang bisa dijadikan sebagai destinasi wisata atau complement dalam industri wisata," paparnya.

Ketua Tim Peneliti dari Enhaii Halal Tourism Center Politeknik NHI Bandung, Anang Sutono menjelaskan, ini adalah FGD pertama dari total lima FGD yang akan digelar DEKS-BI dalam mengakselerasi pengembangan pariwisata ramah Muslim. FGD ini menjadi rangkaian acara menuju International Muslim Friendly Tourism Conference. Konferensi internasional ini sendiri akan digelar pada 7 Oktober mendatang dalam rangka penyelenggaraan Indonesia Sharia Economy Festival ke-9 selama 5 hari, pada 5-9 Oktober 2022.

Anang menjelaskan, pariwisata ramah Muslim merupakan seperangkat layanan tambahan amenitas, atraksi dan aksesibilitas. Layanan ini ditujukan dan diberikan untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan pengalaman wisatawan Muslim. Untuk itu, ada beberapa usulan rancangan resolusi untuk pariwisata ramah Muslim. Pertama, kata dia, memastikan kehadiran regulasi yang terkait dengan panduan penyelenggaraan pariwisata ramah Muslim.

Kedua, mendorong regulasi tentang indikator pariwisata ramah Muslim sebagai instrumen penilaian. Ketiga, mendorong strategi penguatan indeks daya saing pariwisata ramah Muslim. Keempat, memastikan terwujudnya inovasi dan kreasi produk yang mendukung pariwisata ramah Muslim.

Kelima, terselenggaranya strategi peningkatan jumlah dan kualitas kunjungan wisatawan Muslim. Kemudian keenam yaitu adanya strategi akselerasi peningkatan kualitas industri pariwisata ramah Muslim. "Nilai destinasi pariwisata ini memiliki manfaat ekonomi, sosial dan budaya, lingkungan, pengalaman, dan juga pengetahuan," tuturnya.

 

Asisten Deputi Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Thomas Siregar menyampaikan perlunya segera ditetapkan regulasi dan standarisasi terkait layanan pariwisata ramah Muslim. Dia menjelaskan, saat ini ada dua regulasi tentang kepariwisataan, yaitu Undang-Undang (UU) 10/2009 tentang kepariwisataan dan UU 33/2014 tentang jaminan produk halal.

Namun, Thomas mengatakan, dua regulasi tersebut tidak secara khusus mengatur aspek layanan pariwisata ramah Muslim. Kendati demikian, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada 2016 telah mengeluarkan fatwa pedoman penyelenggaraan pariwisata berdasarkan syariah. Di dalamnya diatur soal aspek kepariwisataan seperti hotel, spa, sauna, objek wisata, dan biro perjalanan.

"Maka harus ada segera regulasi untuk mendorong pariwisata ramah Muslim sebagai dasar hukum penyelenggaraan layanan pariwisata ramah Muslim di Indonesia. Kita harus segera mengambil peluang ini," tutur dia.

Thomas juga menyebutkan, terminologi layanan pariwisata ramah Muslim perlu terus disosialisasikan. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan MUI juga harus melakukan percepatan proses sertifikasi dan standarisasi produk halal UMKM untuk menunjang layanan pariwisata ramah Muslim.

Pemangku kepentingan yang lain seperti pemerintah daerah, terang Thomas, bisa mempersiapkan peraturan daerah yang mendukung penyelenggaraan layanan pariwisata ramah Muslim. Berdasarkan laporan Ekonomi Islam Global 2020-2021, Thomas menuturkan, terdapat enam sektor riil ekonomi Islam global. Di antaranya ialah makanan halal, media dan rekreasi, fesyen, kosmetika, produk farmasi, dan pariwisata ramah Muslim. Untuk perjalanan wisatawan Muslim dunia selama 2020-2021, nilainya menyentuh 194 miliar dolar AS.

Nilai tersebut, lanjut Thomas, diperkirakan akan terus meningkat. Bahkan pada 2023, diprediksi akan naik menjadi 274 miliar dolar AS. Bila dipersentase, wisatawan Muslim sekarang ini mencapai 11 persen dari belanja pariwisata global. "Setelah pembukaan perjalanan internasional, diproyeksikan wisatawan Muslim yang bepergian jumlahnya akan mencapai 140 juta pada 2023 dan menjadi 160 juta pada 2024," tutur dia.

 
Berita Terpopuler