70 Ekonom Dunia Desak AS Lepaskan Aset Bank Sentral Afghanistan

Aset senilai 9 miliar dolar AS perlu dikembalikan demi menggerakan ekonomi Afganistan

EPA-EFE/STRINGER
Seorang pedagang penukaran mata uang menghitung Afgani ketika orang-orang berkumpul untuk menarik uang dari sebuah bank di Kabul, Afghanistan, Ahad (12/9).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON --  Lebih dari 70 ekonom dan pakar menyerukan Washington dan negara-negara lain untuk melepaskan aset bank sentral Afghanistan. Seruan ini tertulis dalam sebuah surat yang dikirim ke Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Rabu (10/8/2022).

Dalam surat tersebut, para ekonom mengatakan, aset Da Afghanistan Bank (DAB) senilai 9 miliar dolar AS perlu dikembalikan untuk menggerakkan perekonomian negara tersebut. Para ekonom berpendapat, rakyat Afghanistan telah mengalami krisis kemanusiaan yang membuat mereka menderita.

"Rakyat Afghanistan telah dibuat menderita dua kali lipat untuk pemerintah yang tidak mereka pilih. Untuk mengurangi krisis kemanusiaan dan mengatur ekonomi Afghanistan pada jalur menuju pemulihan, kami mendesak Anda untuk mengizinkan DAB mengambil kembali cadangan internasionalnya," ujar isi surat itu.

Surat itu juga ditujukan kepada Menteri Keuangan AS Janet Yellen. Surat tersebut ditandatangani oleh 71 ekonom dan pakar akademis, yang sebagian besar berbasis di Amerika Serikat, Jerman, India, dan Inggris.

Di antara mereka yang menandatangani surat itu adalah mantan Menteri Keuangan Yunani, Yanis Varoufakis, dan seorang profesor Universitas Columbia yang menerima Hadiah Nobel di bidang ekonomi pada 2001, Joseph Stiglitz. Stiglitz berada di dewan penasihat lembaga think tank Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan yang berbasis di Washington. Dia mengorganisir surat tersebut.

Ekonomi Afghanistan telah jatuh jauh ke dalam krisis sejak Taliban kembali berkuasa sejak setahun lalu,  ketika pasukan asing menarik diri. Sebagian besar negara dan lembaga donor asing memotong bantuan keuangan bagi Afghanistan. Perekonomian semakin memburuk ketika terjadi inflasi yang didorong oleh konflik di Ukraina. Tetapi para ekonom mengatakan, pertumbuhan ekonomi Afghanistan sangat terhambat oleh ketidakmampuan bank sentral mengakses ke cadangan devisa yang disimpan di luar negeri.

Hal ini mengakibatkan depresiasi tajam mata uang Afghanistan, mendorong harga impor, dan menyebabkan hampir runtuhnya sistem perbankan. Selain itu, warga menghadapi masalah untuk mengakses tabungan mereka dan menerima gaji.

"Tanpa akses ke cadangan devisanya, bank sentral Afghanistan tidak dapat menjalankan fungsi normal dan esensialnya. Ekonomi Afghanistan dapat diprediksi runtuh," kata surat itu.


Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lainnya mengatakan, mereka ingin berupaya mencairkan dana untuk kepentingan rakyat Afghanistan dan tidak menguntungkan Taliban. Hingga saat ini, dunia internasional tidak mengakui kepemimpinan Taliban di Afghanistan. Karena Taliban memberlakukan pembatasan keras pada kebebasan perempuan dan diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk balas dendam terhadap mantan musuh.

Taliban mengatakan, mereka menghormati hak sesuai dengan interpretasi mereka terhadap hukum Islam. Taliban menegaskan bahwa, setiap pelanggaran individu akan segera diselidiki.

Terlepas dari sikap mereka yang sangat berbeda, kedua belah pihak terlibat dalam diskusi terperinci mengenai rencana untuk kemungkinan melepaskan aset bank sentral senilai sekitar 7 miliar dolar AS yang disimpan di Amerika Serikat. Sekitar separuh dari aset tersebut saat ini disisihkan karena merupakan subjek dari pertempuran pengadilan terkait dengan serangan 9/11. Beberapa poin penting menjadi fokus dalam pembicaraan perbankan, khususnya atas keberatan Washington terhadap penunjukan wakil gubernur bank sentral oleh Taliban yang dikenakan sanksi AS.

 
Berita Terpopuler