Mereka yang Cinta Dunia

Banyak orang yang menjalani hidup dengan cinta dunia

alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika, Imam Hasan Al- Bashri (641-728) menceritakan, ada sebuah batu bertuliskan, "Hai anak manusia, seandainya mengetahui sedikit saja tentang ajal yang akan datang kepadamu, tentu engkau akan bersikap zuhud, berusaha meningkatkan amal kebajikan, menekan rakus dan ambisi keduniaan."

Baca Juga

Kemudian sang imam menambahkan, banyak orang yang menjalani hidup dengan cinta dunia, berakhir dengan penyesalan. Hidupnya tergelincir, tapi keluarga tak menolong, bahkan meninggalkannya. Kekasih hidupnya pergi tak lagi memedulikannya. Si mayit mungkin memanggil si kekasih, berteriak sekuat tenaga, tapi si kekasih tak mendengar itu.

Orang seperti itu akan terancam oleh maut.Hidupnya takut mati, penuh kecemasan. Dia akan bertanya-tanya, kemana malaikat pencabut nyawa hari ini pergi, kemudian bersembunyi darinya.

Penjelasan sang sufi ini mengandung beberapa pesan.

Pertama adalah peringatan banyak orang yang terlalu cinta dunia sehingga lupa bahwa mereka pasti akan mati. Siapa pun orangnya, presiden, raja, perdana menteri, kong lomerat, buruh, orang miskin, tunawisma, pasti usia mereka akan berakhir.

Cinta dunia adalah penyakit yang mengeraskan hati, menumbuhkan egoisme, dan takabur. Sikap ini membangun gaya hidup berlebih, sehingga diri menjadi hancur, sebagaimana firman Allah, Alhaakumut takatsur, yang artinya, hancurlah orang-orang yang berlebihan (at- Takatsur: 1)

Orang yang cinta dunia itu menganggap dirinya sebagai pelaku segala keberhasilan, yang paling jago, yang paling berprestasi. Padahal anugerah itu semua berasal dari Allah, titipan yang Mahakuasa, pemberian yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Dengan prestasi itu, ibadah apa yang dikerjakan?

Dengan keberhasilan yang diraih, berapa anak yatim yang disekolahkan? Dengan segudang prestasi, sudah istikamahkah kita dalam berzikir dan mengerjakan amalan sunnah? Ini merupakan renungan untuk mengingat dan mempersiapkan kematian, sekaligus mengikis cinta dunia di hati.

Kedua, perkataan sang alim di atas adalah bocoran kepada kita semua. Kalau mau tenang menghadapi kematian, maka persiapkan sejak dini. Caranya dengan zuhud, yaitu mengalihkan perhatian dari dunia ke akhirat. Pelaku zuhud mungkin kaya, tapi dia memanfaatkan kekayaannya untuk ibadah. Sebagian besar hartanya akan diberikan atau digunakan untuk member dayakan dhuafa. Sedangkan dirinya sendiri, hanya mengambil sebagian untuk keperlu annya dan keluarga (ghurfatan bi yadih).

Bisa jadi orang zuhud akan diuji terus oleh Allah. Meski sudah mengikhlakan sebagian besar hartanya untuk orang lain, dia kemudian men dapatkan harta lagi dalam jumlah yang lebih besar. Kemudian si pelaku zuhud akan mem bagi nikmat tersebut kepada orang lain.Lalu Allah memberikan lagi nikmat yang lebih besar, dan begitu seterusnya.

Meski bekerja untuk dunia, orang zuhud pasti menyisihkan sebagian waktunya untuk akhirat. Bahkan porsi untuk persiapan menuju akhirat akan lebih besar. Dia menyendiri di ruang sempit untuk beribadah, mengagungkan asma Allah, bertobat, dan memohon ampunan ribuan kali. Tak hanya sekali, hal ini dilakukan berkali-kali, dan diistikamahkan, sehingga Allah mengenalnya, bahkan menyayanginya, sebagaimana Yang Mahakuasa mencintai para auliya, nabi, dan rasul.

Ketika terbiasa zikir, asyik berzuhud mempermainkan dunia, maut akan `segan' kepada kita. Dia datang, tapi tidak menakutkan. Pezikir dan pezuhud akan santai dan tenang meng hadapi kematian. Senyum akan terpancar dari wajah dan mulut akan ringan melafalkan laa ilaaha illa Allahsaat nyawa pergi mening gal kan jasad.

Banyak orang datang menangisinya, mendoakannya, dan berharap akan diwafatkan seperti itu. Wafat yang dipersiapkan dengan matang, yang dibekali dengan zuhud, seperti `bocoran' dari Imam Hasan Al-Bashri.

 
Berita Terpopuler