Polisi di Masa Hindia Belanda tidak Mengenal Pungli

Opas alias banpol (pembantu polisi) bertugas membantu pekerjaan polisi.

network /Kurusetra
.
Rep: Kurusetra Red: Partner

Opas. Opas alias banpol (pembantu polisi) bertugas membantu pekerjaan polisi. Foto: IST

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur.. Opas alias banpol (pembantu polisi) bertugas membantu pekerjaan polisi dengan dibekali pedang di pinggang kiri dan pistol di pinggang kanannya. Opas mengenakan topi pramuka (pandu) yang dipelitur warna coklat. Topi ini buatan Tangerang, yang ketika itu diekspor ke mancangegara termasuk Eropa.

Sehari-hari Opas berseragam coklat dengan ikat pinggang dari kulit. Mereka juga dilibatkan menjaga ketertiban lalu lintas di prapatan jalan yang tampak masih lengang oleh lalu lintas kendaraan. Maklum ketika itu belum banyak mobil yang nongol.

BACA JUGA: Bumi Berputar Lebih Cepat, Hari Jadi Lebih Pendek, Apakah Ini Tanda-Tanda Kiamat?

Berlainan dengan lampu lalu lintas sekarang ini di mana lampu bewarna hijau, kuning dan merah berganti secara otomatis, dulu sampai tahun 1960-an masih manual yakni digerakkan dengan tangan si polisi seperti tanda stop.

Opas sebagai pembantu polisi ketika itu personilnya kebanyakan penduduk asli. Sedangkan polisi sebagian besar warga Belanda atau Indo.

BACA JUGA: Hubungan Tugu Kujang dengan Prabu Siliwangi yang tak Tertandingi

Opas di samping membantu polisi seperti petugas lalu lintas, juga menolong lansia terutama nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya. Jakarta yang kini menjadi kota megapolitan boleh dikata dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan bermotor. Si pengendara roda dua ini lebih banyak tidak memiliki toleransi dan mau berhenti sebentar terhadap nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya.

Pernah seorang pengendara marah-marah ketika hampir menyerempet seorang nenek. ”Ngapaian nenek-nenek keluar lebih baik diam di rumah saja,” gerutu pengendara motor. Tidak heran kalau seniman Betawi, SM Ardan (74 tahun) meninggal hanya karena ditabrak motor.

BACA JUGA: Download Video YouTube dan TikTok ke HP, Ubah Jadi MP3 (Lagu) Pakai YTMP3: Dijamin Aman


Tidak seperti polisi sekarang, di masa kolonial tidak dikenal istilah pungli. Tidak heran kalau seseorang melakukan pelanggaran lalin dia melakukan cara damai dengan polisi.

Daripada membayar tilang Rp 75 ribu lebih baik uang itu diberikan polisi Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Berapa ratus miliar rupiah uang yang harusnya masuk ke kas negara akhirnya mengalir ke kocek-kocek oknum polisi yang tanpa mengenal malu siap untuk berdamai dengan pelanggar lalu.

Tidak mau kalah dengan polisi oknum DLLAJR juga secara terang-terangan mencegat truk-truk pengangkut barang tidak peduli barang kebutuhan pokok. Dalam perjalanan beberapa puluh kilometer, truk-truk barang harus membayar pungli yang tentu saja dijadikan sebagai bagian ongkos produksi. Akibatnya rakyat kecil terpukul karena ikut menanggung kenaikan harga barang. Sejauh ini pungli di jalan raya makin menjadi-jadi tidak ada tindakan hukum terhadap mereka.

JANGAN LEWATKAN ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

> Humor Gus Dur: Jenderal Orba Menang Lomba Tebak Umur Mumi, Caranya Dipukulin Sampai Ngaku Sendiri

> Sejarah Sumpit yang Diharamkan Dipakai Umat Islam untuk Makan

>Tak Perlu Pakai Pawang, Begini Cara Muhammadiyah Cegah Hujan

> Pawang Hujan Mandalika, Ustadz Khalid Basalamah: Pawang Hujan Itu Dukun, Haram Hukumnya dalam Islam

> Humor Gus Dur: Gara-Gara Dikirimi PSK, Gus Dur Terpaksa Tidur di Sofa

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

 
Berita Terpopuler