Wanita Muslim Berbagi Pengalaman Alami Islamofobia di Prancis

Wanita Muslim Prancis yang mengenakan jilbab rentan terhadap Islamofobia.

Reuters
Muslim Prancis saat berunjuk rasa menentang larangan jilbab. Wanita Muslim Berbagi Pengalaman Alami Islamofobia di Prancis
Rep: mgrol135 Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis telah menjadi rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa selama beberapa dekade, namun tetap menjadi lingkungan yang tidak bersahabat untuk mereka tinggali. Secara khusus, wanita Muslim Prancis yang mengenakan jilbab atau hijab rentan terhadap Islamofobia.

Baca Juga

Anissa adalah guru sekolah Prancis-Tunisia berusia 28 tahun yang berasal dari Tremblay-en-France. Ketika dia pergi berlibur bersama suaminya ke Picardy di wilayah utara Prancis, dia langsung merasa tidak nyaman.

“Setiap kali kami keluar dan bahkan di supermarket, orang-orang terus menatapku,” ujarnya, dilansir The New Arab, Selasa (19/7/2022).

Akhirnya, dia dan suaminya memutuskan untuk pergi, mempersingkat liburan mereka menjadi hanya satu malam. “Saya memutuskan kembali ke kota saya, di mana ada banyak Muslim dan orang kulit berwarna dan saya merasa jauh lebih nyaman.”

Anissa tidak sendirian dalam pengalamannya. Wanita Muslim Prancis ingin dilihat dan didengar, tetapi persepsi negatif yang dimiliki masyarakat Prancis membuat ini menjadi mimpi yang mustahil.

Assia adalah seorang penulis Prancis-Aljazair yang tinggal di Bordeaux. Dia menjelaskan jilbabnya merupakan tantangan terbesar dalam wawancara kerja di mana dia sering menghadapi diskriminasi.

“Saya muncul dengan jilbab saya di wawancara kerja dan bahkan jika saya memiliki kualifikasi terbaik, saya tidak mendapatkannya,” katanya.

Ironisnya, Picardy adalah kota kelahiran presiden Prancis Emmanuel Macron, yang diakui banyak orang sebagai tempat merajalelanya Islamofobia di negara itu. Pada 2020, serangan Islamofobia di Prancis meningkat sebesar 53 persen dan beberapa orang melihat ini sebagai akibat dari komentarnya yang berapi-api terhadap Muslim dan kebijakan anti-Islamnya.

Hal tersebut termasuk penutupan 22 masjid di seluruh Prancis dalam 18 bulan terakhir dan usulan larangan jilbab yang dikenakan oleh anak di bawah umur.

Macron membenarkan tindakannya untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler di Prancis. Dia telah berbicara secara terbuka tentang ancaman radikalisme Islam di Prancis, menambahkan Islam sedang dalam krisis di seluruh dunia.

Selain itu, pemilihan presiden baru-baru ini pada April dengan jelas menunjukkan bagaimana pandangan Macron telah berkontribusi pada sikap bermusuhan negara tersebut terhadap minoritas. Macron menghadapi kandidat sayap kanan Marine Le Pen, pemimpin Sekutu Nasional, yang sebelumnya dikenal sebagai Front Nasional. Dia memperoleh pangsa suara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 41,5 persen, peningkatan yang signifikan dari pemilihan presiden sebelumnya.

Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan popularitas Le Pen yang semakin meningkat dan sejauh mana sayap kanan mendapatkan momentum di Prancis. “Saya baru-baru ini disebut sebagai cercaan Islamofobia di lingkungan saya, yang belum pernah terjadi pada saya sebelumnya,” kata Assia.

Dia menambahkan itu tidak terasa seperti kebetulan dan kejadian itu adalah bagian tak terpisahkan dari normalisasi yang berkembang menjadi terbuka dan vokal tentang kebencian terhadap Muslim. Maka tidak mengherankan jika banyak Muslim merasa kecewa dengan Macron dan takut akan masa depan mereka di Prancis.

Bagi Bint, seorang siswa berusia 22 tahun dari Marseille, memberikan suara dalam pemilihan presiden adalah memilih antara yang lebih rendah dari dua kejahatan dengan pengalaman yang membuatnya merasa putus asa.

Namun banyak orang, seperti Anissa, yang pasrah dengan kenyataan persepsi umat Islam akan selalu negatif. "Kita harus minggir dan melihat ke luar. Kita perlu memahami kita tidak bisa menjadi pendukung Islam karena orang-orang telah memutuskan mereka tidak mempercayai kita," jelasnya.

Namun demikian, komunitas Muslim Prancis memiliki satu anugrah dalam pikiran: Jean-Luc Mélenchon, seorang kandidat sayap kiri yang hampir berada di urutan ketiga dalam pemilihan presiden.

Mélenchon selalu vokal tentang dukungannya untuk komunitas Muslim. Pada 2020, ia mengecam kebijakan sekularisme negara dengan mengatakan ada kebencian terhadap Muslim dengan kedok sekularisme di negara ini.

“Komunitas Muslim mendukung Mélenchon untuk memenangkan kursi kepresidenan. Dia sosok yang bisa berhubungan dengan orang biasa seperti kita,” kata Bint.

Meskipun ia tidak berhasil mencapai babak final pemilihan presiden, usahanya adalah mercusuar harapan bagi Muslim Prancis yang mendambakan seorang presiden yang benar-benar melihat dan memahami mereka. Tapi untuk saat ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah berharap.

https://english.alaraby.co.uk/features/french-muslim-women-lift-veil-islamophobia-france

 
Berita Terpopuler