Wanita Ini Kenang Naik Haji dengan Kapal, Jenazah Dikubur di Laut

Jenazah jamaah haji pada masa lalu dikubur di laut.

Bernama
Wanita Ini Kenang Naik Haji dengan Kapal, Jenazah Dikubur di Laut
Rep: Muhyiddin Red: Muhammad Hafil

IHRAM.CO.ID,MAKKAH -- Seorang wanita asal Malaysia, Che Saodah Abdul Hamid (76 tahun) mengenang perjalanan haji pertamanya ke tanah suci Makkah menggunakan kapal sekitar 60 tahun yang lalu. Usianya saat itu masih 17 tahun ketika berangkat haji bersama kakek dan neneknya. 

Baca Juga

Saodah dan kakek-neneknya saat itu melakukan perjalanan 14 hari dengan kapal dari Pelabuhan Penang. Dia masih ingat dengan jelas saat menyaksikan dua kematian di atas kapal.

Dalam sebuah wawancara, Saodah mengatakan, pemimpin rombongan haji pada masa itu dikenal sebagai "Syekh", yang bertanggung jawab untuk membawa jamaah dari Malaysia ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. 

"Kami berkumpul di rumahnya dulu untuk istirahat sebelum naik kapal," ujar Saodah dikutip dari laman Bernama, Senin (18/7/2022). 

Sebuah dokumen, "Pas Haji Ke Makkah 1963", mengidentifikasi "Syekh" sebagai Tajuddin Amin, orang yang ditugaskan untuk urusan haji di Malaya dan Singapura pada saat itu.

Menurut Saodah, kakek danneneknya membawanya dalam perjalanan setelah menabung cukup banyak untuk menunaikan ibadah haji.

“Kakek-nenek saya petani padi dan mereka menabung di rumah. Waktu itu uang disimpan di bawah bantal dan kasur. Jadi setelah mereka cukup menabung, mereka menunjukkan uang itu kepada kepala desa," ucap Saodah.

"Uang itu diserahkan ke dewan haji. Setelah beberapa waktu, dewan menyuruh kami untuk mendapatkan vaksinasi yang diperlukan dan meminta paspor kami. Kami disuruh mengikuti Syekh seperti yang tercantum dalam kartu haji," jelas Saodah. 

Saodah mengatakan, para jamaah masa itu masih banyak yang membawa makanan seperti nasi, daging kering, ikan teri dan telur asin, serta piring dan cangkir logam, bersama dengan peralatan memasak seperti kompor minyak tanah.

Dia mengatakan ada sekitar 200 jamaah di atas kapal dan mereka dibagi menjadi kategori A, B dan C sesuai dengan harga tiketnya.

“Kakek saya dan saya masuk kategori C berdasarkan harga tiket kami, yaitu RM1.500 per orang. Tempat kami berada di dek bawah. Kadang-kadang ketika ombak kuat, kami terciprat air laut," ujarnya. 

Setelah seminggu berlayar, Saodah dan para jamaah lainnya diberitahu oleh kapten kapal melalui pengeras suara tentang kematian seorang pria di dek atas. "Pada minggu kedua, ada kematian lagi ketika seorang pria jatuh dari tangga. Saya melihat orang itu sedang bersiap-siap untuk dibuang ke laut ketika saya membawa Tok Wan (nenek) ke dek atas karena dia merasa pusing," kata Saodah. 

Dia mengatakan tubuh itu dibungkus dengan kain putih dan memiliki beban yang terikat padanya. "Beberapa doa dibacakan, dan tubuh diturunkan ke laut. Saat itu, kapal berlayar dengan kecepatan rendah. Begitu tubuh dimasukkan ke dalam air, kapal melaju lagi," jelasnya. 

Dia mengatakan kapal tersebut berlabuh selama dua hari di Teluk Aden di selatan jazirah Arab, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jeddah. Selama waktu itu, menurut Saodah, para jamaah diminta untuk memasak makanan mereka sendiri. Mereka juga diizinkan untuk mengambil persediaan makanan mereka, yang telah disimpan di gudang.

Setibanya di Jeddah, para jamaah kemudian harus menunggu dua hari lagi sebelum seorang pria Arab, yang dikenal sebagai Muhammad Mukminah, membawa mereka ke Makkah.

Sumber:

https://www.bernama.com/en/general/news.php?id=2100704

Dia mengatakan, para jamaah tiba di Makkah pada bulan Syaban. Namun, mereka harus menunggu empat bulan lagi untuk memulai musim haji. Mereka menginap di rumah Muhammad Mukminah. Di sanalah Saodah bertemu dengan Abdul Rahman, putra teman kakeknya, seorang imam di Masjid Zahir di Alor Star, Kedah.

Abdul Rahman (22 tahun), yang telah tinggal di Makkah sejak berusia empat tahun, kemudian menjadi suaminya (ia wafat pada 10 Oktober 1992). Pasangan itu memiliki enam anak dan tinggal di Makkah. Mereka sempat melakukan haji bersama pada tahun 1963.

Sebelum menikah, kakeknya sempat menanyakan apakah dia senang berada di Makkah dan Soadah mengiyakannya. "Saat saya bilang iya, dia menyarankan saya menikah dengan Abdul Rahman. Saya menikah dengan Abdul Rahman meski belum pernah bertemu sebelumnya. Saya hanya diberitahu bahwa saya akan menikah dengan pria Melayu, bukan pria Arab," kata Saodah, yang kini menetap di Makkah bersama anak-anaknya.

Dia mengatakan kondisi di Makkah, Arafah, Muzdalifah dan Mina sangat berbeda saat itu. Para jamaah harus berjalan cukup jauh ke tempat-tempat ritual. Pilihan transportasi datang dalam bentuk bus atau gerobak sapi.

“Saat itu, makanan juga disediakan oleh orang-orang Arab. Kami tidur di tenda-tenda (di Arafah) yang didirikan hanya menggunakan satu tiang,” jelas dia.

Karena Saodah tidak kembali ke Malaysia setelah haji, seorang syekh kemudian memberikan SR150 kepadanya untuk perjalanan pulang. Pada tahun 1975, Saodah akhirnya kembali ke Malaysia untuk pertama kalinya.

"Saya beberapa kali kembali bersama anak-anak saya untuk bertemu anggota keluarga di Malaysia. Terakhir pada 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda," ujar Saodah. 

Meski tinggal di Makkah, Soadah tetap mempertahankan Budaya Melayu dan berbicara kepada anak-anaknya dalam dialek Kedah, selain bahasa Arab.

 

 
Berita Terpopuler