IDAI Belum Bisa Komentari Permintaan Legalisasi Ganja Medis

Ibu dari anak cerebral palsy-epilepsi sebut buah hatinya memerlukan ganja medis.

Republika
Ganja medis. Semua tanaman dari genus Cannabis, semua bagian tanamannya, dan hasil olahannya termasuk dalam narkotika golongan I.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan pihaknya belum bisa mengomentari wacana legalisasi ganja medis. Hal itu terkait dengan permohonan uji materil UU Narkotika oleh seorang ibu asal Yogyakarta yang anandanya menyandang cerebral palsy, sering kejang epilepsi, dan mengalami efek samping beberapa obat antikejang hingga dianggap membutuhkan ganja medis.

"Untuk dokter anak belum mau bicara soal ganja medis dan cerebral palsy. Arahan internalnya demikian, mohon maaf," ujar Kepala Humas IDAI, Elizabeth, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (9/7/2022).

Terpisah, Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada, Prof Dr Zullies Ikawati, memaparkan dalam kasus yang viral untuk cerebral palsy dengan kejang epilepsi, gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja. Ia menjelaskan ganja medis bisa jadi alternatif, namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan.

Baca Juga

"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan atau tidak memberikan respons yang baik," papar Prof Zullies.

Meski demikian, menurut Prof Zullies, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, yakni dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas.

Prof Zullies menjelaskan bahwa tanaman ganja, semua tanaman dari genus Cannabis, semua bagian tanamannya, dan hasil olahannya termasuk dalam narkotika golongan I. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan.

Menurut Prof Zullies, yang dapat dilegalkan atau diatur merupakan senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif. Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk narkotika golongan satu atau tiga.

Prof Zullies juga menyoroti akan ada potensi penyalahgunaan ganja yang besar jika tanaman tersebut dilegalisasi. Dia mengacu pada narkotika lain seperti morfin yang saat ini dapat diresepkan sebagai obat, sementara tanaman penghasilnya, yakni opium, tetap masuk dalam narkotika golongan I yang tidak dapat dijadikan terapi pengobatan.

"Kita bisa mengacu pada narkotika lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tapi opiumnya, tanaman penghasilnya, tetap masuk golongan I karena potensi penyalahgunaannya besar," katanya.

 

Dalam kesempatan terdahulu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr M Adib Khumaidi SpOT mengatakan, penggunaan ganja medis saat ini masih memerlukan pengkajian mendalam. Itu penting demi memastikan keamanan dan keselamatan pasien.

Ganja medis. - (Republika)

"Kita harus benar-benar mengkaji ini karena setiap apa pun yang diberikan kepada kita, apalagi yang sifatnya obat, pasti akan ada namanya efek samping dan itu tetap harus jadi perhatian kita," kata Adib usai pembukaan Konferensi Asosiasi Dokter Medis Sedunia di Jakarta, Senin (4/7/2022).

Adib menjelaskan, obat baru harus berbasis pada bukti klinis. Menurut dia, perlu dikaji apakah obat tersebut dapat dijadikan obat utama, obat pendukung yang diberikan bersamaan dengan obat lain, atau obat alternatif jika pengobatan sebelumnya tidak berhasil.

"Ini yang harus kita pahami karena dalam penatalaksanaan sebuah penyakit itu ada yang namanya standar emas, mana yang harus kita obati dan mana pengobatannya. Semuanya melewati proses berbasis bukti, jadi kita harus benar-benar mengevaluasi dalam bentuk riset, karena kepentingan kita saat ini adalah keselamatan pasien," jelas Adib.

 

 
Berita Terpopuler