WHO akan Bagikan Vaksin Cegah Penyebaran Cacar Monyet

WHO tengah mengembangkan inisiatif untuk akses yang adil ke vaksin cacar monyet.

CDC via AP
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sedang merancang mekanisme pembagian vaksin baru untuk mencegah penyebaran penyakit cacar monyet.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sedang merancang mekanisme pembagian vaksin baru untuk mencegah penyebaran penyakit cacar monyet. Penyakit tersebut diketahui telah menyebar ke negara-negara nonendemik, termasuk Eropa dan Amerika.

Baca Juga

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan, saat ini lembaganya sedang mengembangkan inisiatif untuk akses yang adil ke vaksin dan perawatan penyakit cacar monyet. Mekanismenya diharapkan siap dalam beberapa pekan mendatang.

Vaksin cacar diperkirakan 85 persen efektif melawan cacar monyet. Direktur WHO untuk Eropa Hans Kluge menyampaikan kekhawatirannya tentang penyebaran cacar monyet di Benuar Biru. “Eropa tetap menjadi pusat wabah yang meningkat ini, dengan 25 negara melaporkan lebih dari 1.500 kasus atau 85 persen dari total global,” ungkap Kluge.

Pada saat bersamaan, Kluge pun prihatin dengan beberapa negara kaya yang berusaha memborong lebih banyak vaksin cacar tanpa mendiskusikan pasokan untuk Afrika, wilayah endemik cacar monyet. Dia mendesak para pemerintah melakukan pendekatan pemberantasan cacar monyet tanpa mengulangi kesalahan pandemi. Kendati demikian, Kluge tidak mengabaikan kemungkinan bahwa negara-negara seperti Inggris yang saat ini memiliki jumlah kasus cacar monyet terbesar di luar Afrika, akan menerima vaksin melalui mekanisme WHO.

Keputusan WHO untuk merancang mekanisme pembagian vaksin dipertanyatakan sejumlah pakar asal Afrika. Mereka mengkritisi mengapa kebijakan demikian tidak pernah diterapkan untuk negara-negara di Afrika tengah dan barat. “Tempat untuk memulai vaksinasi apa pun harus di Afrika dan bukan di tempat lain,” kata Plt Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika Dr. Ahmed Ogwell.

Dia mengingatkan, saat ini Afrika masih berjuang melawan wabah cacar monyet. Tahun ini sudah ada 72 kematian di sana, termasuk 1.500 kasus yang dicurigai. Menurut Ogwell, kondisi di Afrika lebih kritis jika dibandingkan dengan negara-negara kaya yang telah melaporkan penemuan kasus cacar monyet.

Direktur Kebijakan dan Advokasi di Nigeria Health Watch Dr Ifeanyi Nsofor turut mengkritisi kebijakan pembagian vaksin cacar WHO. Dia berpendapat, langkah itu merupakan perpanjangan ketidakadilan yang dialami Afrika selama pandemi Covid-19. “Kami memiliki ratusan kasus cacar monyet di Nigeria dari 2017 hingga sekarang dan kami hanya menanganinya sendiri. Tidak ada yang membahas kapan mungkin ada vaksin yang tersedia untuk Afrika,” ujar Nsofor.

 

Awal pekan ini, kelompok advokasi Public Citizen mengirim surat ke Gedung Putih. Mereka menanyakan apakah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan merilis 20 juta vaksin cacar yang dijanjikan AS pada 2004 untuk digunakan WHO dalam keadaan darurat, seperti serangan biologis. Ditanya tentang komitmen tersebut, seorang pejabat senior AS mengungkapkan, pemerintahan Biden sedang "menjajaki semua opsi" guna melanjutkan upaya mereka menghentikan cacar monyet di AS dan secara global.

Pejabat itu mengatakan AS telah mengembalikan lebih dari 200 ribu dosis vaksin cacar ke pabriknya. Dengan demikian, vaksin itu akan tersedia untuk orang lain. Pejabat tersebut menolak untuk mengatakan apakah AS menganggap wabah cacar monyet saat ini sebagai keadaan darurat yang menjamin pelepasan 20 juta vaksin yang dijanjikan.

Francois Balloux, seorang ahli penyakit menular di University College London, mengatakan, upaya vaksinasi di negara-negara kaya harus mendorong perbaikan strategi respons cacar monyet di Afrika pada masa mendatang. “Ini benar-benar harus menjadi prioritas untuk memvaksinasi orang di Afrika, di mana ada jenis yang lebih buruk yang sebenarnya telah membunuh orang,” katanya seraya menambahkan bahwa lebih banyak limpahan cacar monyet kemungkinan besar terjadi di masa depan. 

Dia menekankan, Afrika tetap perlu menjadi prioritas. “Apa pun vaksinasi yang terjadi di Eropa, itu tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Balloux.

 

 

 
Berita Terpopuler